Chapter - 11. New Version

1.2K 182 8
                                    

HAPPY READING 📖

-----------------------------------------

Pulang terlambat dengan tangan kosong, ia langsung menuju toko roti. Yang ia bawa hanya raga beserta kunci loker, dompet, ponsel, di saku celana. Selebihnya, ia pulang layaknya anak nakal yang bolos sekolah. Terlambat pulang juga karena memindahkan beberapa barangnya ke loker agar ia pulang tidak terbebani.

Tasnya? Ia buang. Ia tak yakin tasnya tidak akan bersih karena baunya yang menyengat. Lebih baik ia mengganti yang baru daripada tersiksa dengan bau tak sedap. Ia yakin baunya tidak akan hilang selama berminggu-minggu. Membersihkannya juga pasti sangat sulit karena benda-benda kotor telah lengket.

Untung saja bukunya diletakkan di loker oleh Zach and The Gang. Ternyata mereka masih punya otak untuk tidak membiarkan bukunya dikerumuni sampah. Dan ia cukup bersyukur dengan itu. Jika tidak, beberapa buku akan ia beli lagi. Kalau sempat itu terjadi, ia akan meminta mereka untuk mengganti semua kerugian yang mereka lakukan. Ia tak mau tahu!

Sampai ke toko roti, ia tak perlu lagi meletakkan ini-itu. Ia hanya perlu memakai maskotnya dan melakukan pekerjaannya. Urusan tas, ia akan membelinya ketika selesai bekerja. Sesimpel itu. Yang ia khawatirkan tadi hanyalah isi bukunya di dalam tas dan kedua adalah beberapa barang di dalamnya.

Melakukan tugasnya seperti biasa, ia kembali mendapati Zach yang berbaring di kursi taman. Memang anak itu! Sudah tahu itu kursi umum malah berbaring. Dan baru ia sadari Zach sering ke tempat ini. Entah memang ini tempat langganannya atau apa, tapi semenjak ia mengenal Zach, ia sering melihat wajah itu terduduk di taman atau membeli roti.

Ia berniat mengganggu. Setiap menggunakan maskotnya, ia tidak akan berhenti mengganggu Zach. Biarkan, ia akan membalas melalui maskot ini.

Ia mengetuk kepala Zach yang menutupi matanya menggunakan lengan kanan—membangunkan manusia satu ini dan memperbudaknya lagi.

Zach menggeram lalu membuka paksa matanya yang terasa berat seperti ada besi yang menimpa apalagi kepalanya. Tidurnya terganggu dan percayalah itu cukup membuatnya marah. Mendapati maskot yang beberapa hari juga sempat membuatnya marah, tidak mungkin ia marah lagi.

Ia berdecak malas lalu tersenyum paksa. "Ya?"

Kylie tertegun. Dari mata memerah Zach, ia mendapati bahwa pemuda itu benar-benar kelelahan. Ia bahkan mulai goyah untuk memperbudak atau mengganggu Zach.

Tak ingin akal sehatnya menolong Zach, ia langsung menyodorkan brosur itu.

Sempat ia lihat Zach memejamkan mata sekilas. Zach mengambil brosur itu dan mulai membagikannya pada orang-orang tanpa kata. Mood Zach sepertinya sangat buruk dan ia akui Zach tidak terlihat bersahabat membagikannya.

Ia sadar, beberapa kali ia memberikan brosur, matanya selalu menangkap Zach yang hanya sekadar membagi tanpa senyuman. Bahkan terkesan paksa membantunya.

Sepanjang waktu membagikan brosur yang berjalan biasa saja, ia duduk di sana sembari menghibur beberapa anak kecil yang lewat. Zach ikut duduk di sebelah kirinya dan bersandar di bangku taman sembari memejamkan mata.

Sialan! Ia benar-benar melihat gurat kelelahan dari wajah Zach. Jujur ia penasaran, tapi gengsi. Ah, tidak apa, kan, bertanya?

Ia mengetuk bahu Zach.

"Ya?" Zach menelengkan kepala sembari mengangkat alis. Baru saja ia mau memejamkan mata, tapi maskot ini malah mengganggunya lagi.

Kylie melepaskan sarung tangan boneka yang digunakannya dan mengeluarkan ponsel dari saku celananya lalu membuka aplikasi note dan mengetik sesuatu.

'Kau kenapa?'

Zach membacanya dan tersenyum tipis. "Tidak apa-apa."

Kylie kembali mengetik dan memperlihatkannya. 'Tidak mungkin. Dari gurat wajahmu kau sepertinya kelelahan.'

Membaca perhatian kecil itu, tak bisa ia elakkan senyum yang berkedut di bibirnya. "Hanya sedikit kelelahan."

'Karena?' Sial, kenapa ia menjadi ingin tahu tentang Zach? Masa bodoh. Ia memang penasaran dan mengorek sedikit tentang Zach agar suatu hari nanti ia bisa membongkar semua kedoknya jika berani mempermalukannya lagi. Licik, bukan?

"Entahlah. Aku hanya memiliki banyak masalah akhir-akhir ini." Dari cara Zach menjawab ia sudah tahu bahwa Zach tidak ingin menceritakan masalahnya. Oke, ia akan menunggu. Mungkin tidak hari ini, tapi besok, lusa, atau beberapa minggu ke depan jika bertemu dengan Zach lagi.

Ia menelisik wajah Zach dan baru menyadari bagian pipi yang ia tonjok ternyata membiru. Pura-pura bodoh, ia menunjuk ke bagian membiru itu.

Mengerti dengan apa yang ditanyakan maskot itu, Zach tersenyum lebar. Ia mengira maskot ini begitu perhatian hingga memperhatikannya sedetail ini. Dengan senyum menawannya, ia berkata, "Ah, ini karena temanku yang menampar."

Kylie mengulum senyum lalu bertanya kenapa melalui gerakan tubuhnya.

"Karena aku mengganggunya. Dia juga sangat menyebalkan jadi aku dan kedua temanku mengganggunya. Tapi ternyata dia tidak selemah yang aku bayangkan. Bahkan sakitnya masih terasa." Mendengar pengakuan itu, Kylie tersenyum bangga. Rasakan pembalasannya! Padahal ia sudah meminta mereka tak mengganggunya, tapi masih saja diganggu.

Kylie mulai mengetik dan menunjukkannya lagi. 'Karena apa kau mengganggunya?'

Zach tertawa kecil. Mengingat hanya alasan bodoh yang ia lakukan untuk mengganggu Kylie, ia malu untuk mengatakannya pada maskot ini.

"Ah, tidak apa. Hanya masalah kecil." Masalah kecil? Benarkah masalah kecil? Meletakkan sampah di tasnya itu masalah kecil? Zach benar-benar ingin ditonjok lagi! Bagaimana bisa dengan mudahnya Zach mengatakan itu hanya masalah kecil?

Ia tak berniat lagi bertanya. Marah karena Zach menganggap sepele. Dasar anak nakal! Kalau memang nakal tetap nakal! Kesadaran untuk berubah saja tidak ada di otak Zach dan ia cukup marah.

"Siapa namamu?"

Ditanya nama secara tiba-tiba, Kylie kalang kabut di dalam. Ia harus memutar otak memikirkan nama apa yang cocok dijadikan samaran. Terpikir boneka doraemon yang menjadi perisai ia dapat berbincang dengan Zach, akhirnya ia bisa menemukan nama.

Jarinya mengetikan beberapa huruf dan Zach tanpa sadar mengejanya.

"Dora?" Kylie mengangguk mantap.

"Namamu Dora?" Kylie memutar bola mata. Untuk apa Zach mengulangi pertanyaannya? Jelas-jelas ia mengangguk mantap. Terpaksa ia mengangguk lagi.

"Itu nama aslimu?" Masih sempat berpikir, akhirnya Kylie menggeleng.

"Oh, siapa nama aslimu?" Kylie menggeleng kuat.

"Kau tidak mau memberitahukannya padaku?" Kylie menggeleng lagi.

Zach malah tertawa dan memberikan menepuk jidatnya. "Aku lupa kalau kita masih orang asing. Kau masih ingat namaku, kan?"

Kylie mengangguk. Entah kenapa berhadapan dengan Zach di versi begini ia malah suka. Ia merasa memiliki teman di situasinya bekerja dan tentu saja ia masih sakit hati dengan perlakuannya. Sayang, untuk sekarang, sakit hati pun tidak lagi ia rasakan ketika berhadapan dengan Zach versi hangat, kalau di sekolah mungkin ia akan memakinya dan selalu dongkol dengan Zach versi menyebalkan.

Obrolan mereka semakin jauh. Beberapa perihal kecil khas perkenalan antara orang asing, mereka lakukan. Bahkan sampai tak menyadari bahwa langit mulai gelap.

.

.

.

TO BE CONTINUED

Silver Lining ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang