Chapter - 24. Hate Him

1.3K 145 8
                                    

HAPPY READING 📖

-----------------------------------------

Membujuk Tory untuk memaafkannya tidaklah mudah. Ia menyadari Tory mulai marah ketika gadis itu tidak mau berbicara dengannya saat ia mengantarnya ke kelas. Ia sadar setelah pertengkaran itu, hubungan mereka memburuk.

Ia baru menyadari bahwa Tory memendam kemarahannya sendiri. Gadis itu terkesan pendiam jika dibandingkan dengannya, dan ketika keunek-unekkannya sudah dikeluarkan, betapa tajamnya mulut itu menghina dibandingkan dirinya.

Sungguh, ia tidak tahu lagi harus bagaimana apa agar hubungannya dengan Tory bisa seperti semula. Semuanya sudah didasari oleh kesalahpahaman dan ia tahu Tory tetap tidak akan mendengar.

Sepanjang pembelajaran, ia sama sekali tidak fokus. Sialnya, hari ini Tory juga tidak sekelas dengannya. Sulit untuk melupakan masalah ini apalagi ia yang memulai. Jika permasalahannya berhubungan dengan Zach and The Gang, ia sama sekali tak peduli. Ini Tory, sosok yang benar-benar tulus berteman dengannya dan salah satu korban bullying.

"Fuck!" umpatnya tertahan sembari membuka buku. Kesal. Ia sangat kesal dan berharap pelajaran sains ini segera berakhir.

***

Ia mencari Tory di koridor kelas, namun tak menemukannya dan ketika ia sudah berada di luar sekolah, ia melihat Tory memasuki mobil sembari mengusap pipi. Bahunya merosot dan embusan napasnya menjadi pertanda bahwa ia mulai putus asa. Ia yakin gadis itu tidak memasuki kelas karena buku-bukunya telah dirobek oleh Zach and The Gang. Ia yakin juga hubungannya dengan Tory sudah sangat rusak.

Ia meratapi mobil Tory yang menjauh dan mulai berjalan menuju toko roti. Ia sangat tidak bersemangat hari ini. Nomor ponsel Tory pun tidak ada. Sulit untuk berkomunikasi dengannya. Shit! Ia menyesal melakukan itu! Ia menyesal telah masa bodoh! Semuanya ia sesali sekarang.

***

Menghibur orang-orang pun tidak ia lakukan. Brosur yang ia bagikan hanya ia kerjakan setengah hati, tidak sepenuhnya. Beruntung ia dalam maskot dan orang lain tidak mengetahui bagaimana bentuk wajahnya yang masam ini. Jika tidak, mungkin banyak orang yang mendelik sinis karena tidak becus bekerja.

Ia duduk sembari menggoyang-goyangkan tangan agar tidak terlalu kentara bahwa ia sedang tidak bersemangat. Setidaknya ada yang ia lakukan agar tidak mengganggu pikiran karena memakan gaji buta.

Tepukan dari bahunya menyadarkannya dari lamunan tak berguna. Ia mendapati Zach tersenyum lebar di belakangnya ketika ia menolehkan kepala.

"Hai!" Zach melambaikan tangan dan ia yang sedang malas, kembali ke posisi semula—tak menanggapi sapaan Zach.

Zach lagi, Zach lagi, dengkusnya dalam hati. Melihat Zach, ia benar-benar muak. Sepertinya ia harus menelan pahit-pahit bahwa sok baik di depan Zach saat waktu begini, mengutuknya tanpa sadar. Ia menyesal karena Zach harus menghampirinya dan sok beramah-tamah. Bayangkan ia harus menjawab apa yang cowok itu tanya dan merespon apa yang dia katakan. Semuanya menjadi rumit dan ia sadar ini kesalahannya.

"Kau sedang apa?" Zach beranjak duduk di sampingnya dan merangkulnya mendekat. Ia mendelik sinis dan berusaha menjauhkan tubuhnya dari tubuh Zach.

What the fuck is he doing?! geramnya. Tangannya terkepal dan ia ingin meninju wajah itu lagi karena geram setengah mati. Tingkahnya benar-benar sesuka hati.

"Kau—" Ucapan Zach terputus tatkala dering ponsel memecah semua keinginannya saat ingin bertanya pada maskot satu ini. Ia sudah mengambil ancang-ancang untuk mengajaknya berkencan, namun sepertinya harus ditunda.

Ia mengambil ponsel dari saku celana lalu melihat nama yang tertera di layar ponsel. Ia menggeser tombol hijau kemudian mendekatkannya ke telinga.

"Hei, baby." Mendengar sapaan Zach yang hangat kepada sosok penelpon, ia berdecih dalam hati. Sempat ia lihat nama yang tertera di sana. Selena beserta emot love dan ia tahu bahwa Selena pasti kekasih Zach. Ternyata benar rumor tentang Zach yang seorang pemain. Lihat saja, begitu lihai bibir itu mengucapkan sayang. Ia yakin gadis yang di sana terlonjak kegirangan karena mendapat perlakuan manis Zach.

Ia mencoba tak fokus pada Zach, suara Zach tidak mau ia dengar karena ia sudah kesal parah padanya. Sayang sekali Zach datang ke sini, padahal ia sama sekali tak ingin berbicara pada siapa pun.

"Please, don't cry. Aku akan segera ke sana sekarang. Jangan menangis lagi, Okay. Tenang saja, aku akan membelikanmu itu lagi. Biarkan apa yang mau dia katakan dan jangan didengar!" Rasanya ia ingin melempar sesuatu ke mulut Zach. Sumpah, manis sekali mulut itu merayu. Ia benci pada manusia semacam ini! Pandai mengumbar mulut manis, namun memiliki sifat terburuk yang pernah ada.

"Sst, don't cry, Sel." Zach berdiri dan pergi tanpa mengucapkan apa pun padanya. Yang semakin memupuk rasa bencinya kepada cowok itu, selain nakal dan pemilik sifat terburuk, ternyata Zach juga tak sopan. Ah, memang kalau dasarnya buruk, memang sudah buruk. Jadi tak heran sikap Zach yang semakin arogan membuatnya enek. Bahkan ingin mengubah bentuk wajah itu menjadi tak berbentuk dan hancur agar tidak terlalu membusungkan dada—sombong. Ia ikrarkan dalam hati bahwa ia membenci Zach. Sangat membencinya. Semua permasalahan sekolah dimulai karena Zach.

Kepergian Zach meninggalkan kejengkelan yang luar biasa. Tiba-tiba ingatan tentang kejadian tadi merasuki kepalanya tanpa permisi. Bulu kuduknya meremang. Zach yang mengatakan maaf dengan posisi menempel pada lehernya sama sekali menganggu pikiran.

Ia menggeleng kepala. Membuang pikiran itu jauh-jauh. Ia tidak bisa memikirkan itu terus-menerus karena menimbulkan hal yang tidak-tidak. Ia terus merinding apalagi merasakan bagaimana napas Zach menerpa lehernya dan memeluknya lama hingga mereka ia memutuskan pergi tanpa kata.

Sekarang, Zach yang meninggalkannya pergi tanpa kata dan tidak meliriknya. Sama seperti yang ia lakukan.

.

.

.

TO BE CONTINUED

Silver Lining ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang