"Ody, " suara itu... suara yang telah lama tak terdengar, suara yang telah lama ia rindukan, kini terdengar memanggilnya. Lembut, halus, menenangkan. Melihat kesekeliling taman, tapi tak ada rupa dari suara tersebut. Sekali lagi mencoba mencari, tetap sama, tak ada wujudnya. Kosong, sepi, menakutkan.
"Ody," kembali lagi terdengar tapi kali ini wujud itu hadir dari balik pohon berjalan kearahnya, wajahnya cantik bersinar.
Perlahan setetes air mata yang sedari tadi ditahan jatuh, disusul dengan tetesan lainnya. Tubuhnya telah direngkuh oleh pelukan hangat wanita itu, wanita yang dia rindukan hadirnya, Mamanya. Pelukan itu semakin erat, dan terbalaskan sudah pelukan itu."Mama," lirihnya "Ody rindu." Suaranya lirih, bergetar, sambil terus menangis sesenggukan dipelukan sang Mama.
"Mama juga," suaranya lembut. Ibunya tak menagis, tapi netra itu berka-kaca, mengecup rambut putrinya, mengelus kepala dan bahu putrinya, seraya tersenyum, mencoba menenangkan. " kamu harus kembali, papa nungguin kamu, ayo Mama antar" sambungnya.
"Kenapa sama papa ma? " mendongak melihat sang Mama lalu sedikit melonggarkan pelukan tapi tangan itu masih melingkar di pinggang sang mama.
" Papa sedih, nunggu kamu gak pulang pulang," tangan itu memebelai wajah putrinya dan senyumnya masih sama menenangkannya, tak ada yang berubah. Perlahan kaki itu melangkah entah kearah mana, tetapi perlahan semuanya menggelap, sangat gelap. Ibunya sudah tak menemaninya, dia sendiri. Ada setitik cahaya di depan sana. Perlahan kakinya berjalan kesetitik cahaya itu, perlahan-lahan setitik cahaya itu berubah menjadi terang benderang hingga semua pandangannya putih.
"Mama," suaranya serak dan lemah nyaris tak terdengar.
****
Setahun udah terlewati. Semuanya berbeda. Sekarang sepi, gak ada lagi yang ngusik gue, gangguin gue sama sikap usilnya, marahin gue dengan suara cemprengnya, sikap songongnyapun udah gak ada lagi.
Sekarang semua berbalik, kalau dulu gue yang pendiam sekarang gue yang paling banyak ngomong. Kalau dulu dia berisik, pecicilan, cerewet, songong, sekarang dia yang jadi paling kalem.
Iya. Dia sekarang jadi orang yang pendiam, kalem, tapi gue gak suka. Semua perubahannya sekarang, gua gak suka kalau yang dia lakuin cuma tidur doang.
Koma, satu kenyataan yang paling gue benci. Satu tahun koma, buat gue takut kapan aja dia bisa ninggalin gue sendiri. Gue takut dia ninggalin gue disaat banyak kesalahan yang gue perbuat, disaat kata maaf gue belum didengar dia secara langsung dan dia belum maafin gue.
Satu tahun yang gue jalani sia-sia, gak bermakna. Yang cuma gue isi dengan sekolah, kerumah sakit, makan, tidur. Cuma itu doang. Lihat sekarang gue udah kayak orang bego yang ngomong sendiri.
Tangan yang dulunya hangat saat gue genggam sekarang dingin, bibir yang selalu bergerak gak capek-capek cerita sekarang diam, senyum yang selalu merekah cerah sekarang terkatup rapat, matanya yang selalu bersinar menenangkan sekarang terpejam terus menerus sampai lupa untuk terbuka. Pipi dia yang chubby sekarang udah tirus. Gue gak suka.
"Bangun dong Love, gue kangen sama lo," gak sadar suara gue udah serak nahan tangis. Masih sama kayak yang sebelum-sebelumnya, dia gak ada jawab. Kalau dulu dia gue giniin pasti udah kegirangan dia. Kalau seandainya dia denger gue bilang kangen saat keadaan dia baik-baik aja, pasti dia udah meluk gue.
"Cepet sadar ya, gue butuh lo dan akan selalu butuh lo sampai kapanpun," terakhir gue kecup tangannya lalu gue juga kecup keningnya. Kebiasaan gue selama dia koma.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shaquille
Random"Kamu tau Ametis?" tanya Aqil kepada gadis yang tengah ia pandangi di sampingnya ini. "Enggak, emang itu apa?" Love menggelengkan kepalanya dan membalas tatapan Aqil. "Ametis itu batu permata yang dapat tembus cahaya, warna cahaya yang dihasilka...