23. Keraguan

13 3 0
                                    

Zena tidak menyangka bahwa yang dikatakan tempat rahasia oleh Reni adalah sebuah panti sederhana. Reni membawanya kesebuah panti asuhan yang cukup sederhana.

"Ayo kak masuk," ucap Reni dengan ramahnya mengajak Aqil masuk.

"Kakak pasti bingung kan, kenapa aku ajak kesini? Aku rindu adik-adik aku dan juga mau ngenalin kakak baru untuk mereka."

"Siapa?"

"Kak Aqil lah! Siapa lagi?" jawab Reni tertawa riang.

"Aku dulu berasal dari sini terus diadopsi sama Ayah Bunda aku yang sekarang ini." Aqil mengangguk mendengarnya.

"Sering banget kesini?"

"Iya, kalau senggang aku cukup lama mampir."

"Ayo masuk kak." Aqil mengangguk mengikuti. Suasana di dalam panti sangat ramai dengan anak-anak kecil yang berkeliaran serta beberapa anak dewasa yang menjaga mereka. Rena membawa Aqil berkenalan dengan pengurus panti dan penghuni panti. Banyak anak yang menyambut Aqil dengan antusiasnya sampai berebutan untuk diakui adik oleh Aqil, mereka juga berebutan siapa duluan yang mengajak Aqil untuk ikut bermain yang pada akhirnya Aqil mengajak mereka bermain bersama. Aqil tertawa melihatnya, dia mengajak mereka bermain, belajar, bercerita sampai sore barulah Aqil pamit pulang yang disambut dengan ketidak relaan adik-adik panti.

"Mereka lucu banget, liat gak tadi mukanya pas kakak pamit pulang? Gak rela gitu." Reni tertawa mengingat beberapa anak yang cemberut dan tak rela saat Aqil pulang, sangking asiknya mereka bermain.

"Iya, lucu banget ya, imut-imut. Itu tadi yang besar kelas berapaan?"

"Ada yang SMP, ada juga yang SMA kelas satu sampai duan gitu lah." Aqil menganguk. "Oh iya, kalau nanti aku ajak kesini lagi kakak mau gak?"

Aqil menatap Reni sesaat ketika dia memakai helm. "Boleh, yuk naik." Setelah Reni memakai helm dan naik di jok belakang, Aqil menjalankan motornya membelah jalanan menembus sang waktu yang sudah mulai beranjak larut.

***

"Papa kenapa?" Melody masuk ke kamar Papanya, dilihatnya wajah Sang Papa yang suntuk sekali.

"Gak papa, cuma capek aja." Alif tersenyum menenangkan putrinya. "Ada apa? Ada masalah di sekolah?" Melody menggeleng.

"Sama sekali gak ada masalah sama sekolah."

"Sahabat kamu? Mereka jaga kamu kan?"

"Mereka amanah Pa. Tapi, kan, mereka punya urusan masing-masing, apalagi semalam lagi sibuk lomba, gak enaklah Melody selalu nyusahin mereka."

"Mereka gak keberatan kok sayang."

"Iya Melody tau. Tapi, Melody yang gak enakan. Jangan gitu banget lah Pa, Melody bisa sendiri kok. Kalaupun memang butuh bantuan mereka, Melody bakalan kasih tau mereka kok."

"Papa cuma khawatir kalau kamu kemana-mana sendiri tanpa mereka, makanya Papa menitip kamu sama sahabat-sahabat kamu."

"Papa tenang aja, mereka pasti bakal jagain Melody." Alif mengangguk, dia tau itu. Tapi, bagaimana bisa dia berhenti mengkhawatirkan putrinya, satu-satunya permata yang memang harus dijaganya.

"Melody mau jenguk Mama." Setelah Melody mengatakan itu, sempat senyap untuk beberapa menit, lalu Alif menatap Melody dan menepuk tempat disebelahnya menyuruh Melody duduk.

"Kangen ya sama Mama?" Melody mengangguk, menghembuskan nafas dia bersandar di bahu Papanya.

"Pa."

Alif mengelus lembut rambut putrinya yang sekarang sudah bertambah panjangnya. "Hm."

"Papa gak akan selingkuh dari Mama kan?"

"Selingkuh?" tanya Alif bingung.

"Iya, Papa gak akan nikah lagi kan?"

"Gak akan sayang." Alif menghembuskan nafasnya, tangannya mengelus bahu anaknya mencoba menenangkan dan berusaha agar putrinya percaya atas apa yang diucapkannya.

"Melody takut, Papa bakalan selingkuh dari Mama, nikah sama perempuan lain."

"Gak mungkinlah." Alif mencoba mencairkan suasana dengan kekehan kecilnya yang malah terkesan menyedihkan.

"Mungkin aja Pa, Melody gak tau kedepannya omongan Papa ditepati atau gak."

Alif menangkup kedua sisi wajah putrinya untuk menatapnya, dia berusaha tersenyum menenangkan dirinya dan putrinya. "Dengar ya ... Papa cuma milik Mama dan kamu, bukan yang lain." Mengelus pipi putrinya, Alif mencoba meyakinkan Melody. Alif juga mencoba meyakinkan hatinya hanya untuk Sang istri dan anaknya, karena sepertinya dia juga mulai meragukan itu.

"Melody masih coba percaya Pa. Melody gak tau isi hati Papa juga apa yang Papa pikirin, apa yang Papa rencanain kedepannya. Melody itu gak suka kalau Papa terlalu dekat sama perempuan lain. Melody selalu takut, Melody selalu mikir apa Papa mulai lupain Mama? Mulai mau ninggalin Mama? Apa Papa masih setia sama Mama. Melody takut Papa bakalan ninggalin Mama dan Melody." Satu hal yang tidak pernah Alif bayangkan bahwa Melody bisa seperti sekarang ini, meluapkan apa yang selama ini di resahkannya. Karena, selama ini Melody tidak pernah memiliki jalan pikiran seperti yang dia ucapkan seperti ini. Tidak pernah Melody menyinggung ke setian dirinya dengan istrinya yang diragukannya. Walaupun manja, tapi Melody tidak pernah sedih hanya karena memikirkan dirinya yang akan melupakan istrinya, atau mungkin,selama ini dia tidak tahu? Mungkin saja selama ini Putrinya selalu memikirkan itu tapi tidak pernah dia ketahui.

Alif mengecup kening putrinya. "Percaya sama Papa ya?"

"Melody cuma percaya sama Tuhan." Melody menggeleng.

"Iya terserah kamu aja."

***

"Kenapa baru sampai?" tanya Alia, bunda Aqil. "Melody aja udah pulang dari tadi tuh, Bunda tadi yang ke sana antar makan malam."

Yah, Aqil sampai rumah saat jam menunjukkan pukul setengah delapan. Tadi saja dia pulang dari panti jam setengah tujuh dan mampir dulu makan malam bersama Reni, setelah itu lanjut lagi mengantar Reni pulang kerumahnya. Aqil saja sudah mengendari motor ngebut untuk sampai rumah agar Bundanya tidak khawatir, karena dia lupa mengabari Bundanya.

Aqil menyalin tangan Bundanya, mengacak rambut, Aqil pergi kedapur untuk minum.

"Aqil tadi pergi sama teman Bun."

"Makan dulu yah, udah malam, nanti kamu lupa lagi."

"Aku udah makan di luar tadi Bun." mendengar itu, Alia yang baru saja mengeluarkan makanan dari lemari mengangguk mengerti lantas memasukkan kembali makanan kedalam lemari.

"Ya sudah, mandi sana. Mau Bunda buatin teh?"

"Boleh, jangan pakai gula ya Bun."

"Iya Bunda tau." Aqil pun bergegas menuju kamarnya untuk segera membersihkan badannya yang lengket dan gerah. Mengibas-ngibaskan seragamnya agar angin masuk yang berakhir menjadi membuka seragamnya, bertelanjang dada.

"Bau." Suara itu mengagetkan Aqil yang tengah membuka pintu kamarnya. Menoleh kebelakang Aqil menemukan sosok yang mengejutkannya tengah nyengir.

"Melody?" Aqil bingung, sejak kapan gadis itu dibelakangnya? Seperti hantu saja tiba-tiba datang dan tiba-tiba menghilang.

"Bukan, aku hantu." Melody menundukkan kepalanya agar rambut panjangnya menutupi wajah, berniat menakut-nakuti Aqil yang malah mendapatkan jitakan kuat dari Aqil. Melody meringis kesakitan.

"Sakit tau!" Melody mengelus-elus bekas jitakan Aqil.

"Gak usah aneh-aneh, nanti setannya malah nempelin ngajak temanan." Mendengar itu Melody menjadi ketakutan.

"Ih, jangan nakutin!" Melody meninggalkan Aqil yang geleng-geleng kepala melihat tingkah gadis itu. Siapa yang nakutin? Bukannya gadis itu yang mencoba menakutin? Kok jadi dia yang disalahkan?.

***

ShaquilleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang