30. Kembali Semula

5 1 0
                                    

Saat ini semua tengah berkumpul diruang keluarga rumah Alif. Aqil, Zena, Ayah Agil dan Bunda Alya duduk di sofa dengan pikirannya masing-masing. Alif sudah menceritakan semuanya mengenai kejadian semalam yang terjadi dengannya dan Melody ke Agil dan Alia. Begitu juga dengan yang dialami Aqil di taman tadi dan Zena pun ikut serta bercerita.

Mereka tahu pasti Melody kecewa. Tapi, saat itu Alif sendiri yang meminta agar tidak ada yang membahas Nada lagi yang lambat lain malah menjadi terkesan seperti melupakan sosok Nada. Barang yang mengingatkannya dengan Nada dan istrinya, semua dia simpan di tempat yang jauh dari jangkauan Melody. Hanya album foto itu saja yang tidak segera Alif kembalikan ketempat asalnya saat setelah mengenang masa-masa itu.

Kalau Melody menganggap tindakannya ini adalah bentuk melupakan, maka Alif akan menyatakan itu adalah sebuah pernyataan yang salah besar. Alif hanya belum sanggup selalu melihat foto yang membuatnya mengingat masa-masa dimana dia gagal menjadi suami maupun seorang ayah. Hanya sesekali, saat rindu tidak tertahan lagi barulah Alif membuka kenangan itu, membiarkan segala kenangan yang berusaha tidak dia kenang membanjiri kepalanya, menghanyutkannya ke masa-masa indah itu hingga masa-masa kelamnya. Kenangan yang sanggup membuatnya sadar bahwa dia adalah orang yang gagal.

Alif sadar bahwa tindakannya itu pasti mengecewakan Melody. Alif tahu dengan menutup semua akses yang bisa memicu kembalinya ingatan Melody dan memanfaatkan Melody yang hilang ingatan agar dia bisa sejenak tenang tanpa bayang-bayang rasa bersalah adalah hal yang salah. Melody punya hak untuk tahu.

Seharusnya setelah Melody menjalani masa pemulihan kala itu, Alif membantu Melody sembuh, membantu Melody mengingat, bukannya malah membiarkan Melody tidak mengingat apapun yang seharusnya perlu dia tau, bukannya malah membiarkan Melody dalam ketidak tahuan itu.

Melody pasti sangat kecewa pada keluarganya. Aqil, Agil dan Alia pun jadi terikut dalam Maslah yang dia buat. Seharusnya dia tidak egois kala itu, seharusnya dia ikuti saja apa kata Agil dan Alia kala itu.

Bagaimanapun Alif menyangkal, bagaimanapun alasannya, walaupun alasan demi kebaikan, tetap saja ini adalah cara salah yang Alif pilih. Bagaimanapun seharusnya Melody wajib tahu apa yang terjadi kala itu.

"Jadi ... gimana Al?" tanya Alia kepada Alif yang menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa seraya memijat pelipisnya.

"Aku yang salah. Coba aja waktu itu aku ikut apa kata kalian, pasti gak jadi kayak gini lagi."

"Gak usah larut dalam penyesalan, gak guna. Sekarang pikirin aja gimana caranya ngembaliin kepercayaan Melody." Agil melipat tangannya bersedekap.

"Akui kesalahan kamu. Minta maaf dan bantu Melody mengingat semua kenangannya Al." Alia menatap sahabatnya dengan perihatin. Alif mengangguk, menyetujui.

"Maaf buat repot." Alif menatap mereka satu-persatu.

"Gak usah sungkan. Kita keluarga." Ucapan Agil mendapat anggukan dari Alia.

"Pokonya, kamu harus tenang Al. Jangan pakai emosi ya." Alif mengangguk menyetujui ucapan Alia.

"Makasih." Agil dan Alia saling bertatapan seraya tersenyum mendengarnya.

"Kalian berdua gimana? Masih cek-cok?" tanya Alia kepada kedua anaknya. Zena tersenyum menatap Alia, sedangkan Aqil hanya menatap jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.

"Selesain baik-baik ya. Jangan pakai emosi dan ego, kalian saudara. Masa anak bunda pada gak akur? Mau sampai kapan diem-dieman terus? Bersikap dewasa ya, bijak dalam menyelesaikan masalahnya," ucap Alia menasehati kedua putranya. Walau Zena hanya putra angkat yang memiliki ibu angkat lain yaitu adik dari suaminya, tetap saja Alia menganggap Zena seperti anak kandungnya sendiri. Karena Alia lah yang mengasuh Zena semasa kecil selain Mama kandung Zena sendiri.

"Iya Bun." Zena tersenyum berusaha menenangkan Bunda yang khawatir.

"Aqil?" panggil Alia meminta jawaban pada anaknya itu.

"Iya Bun." Aqil menjawabnya dengan cuek dan masih menatap jam tangannya.

"Tau mana yang baik kan? Tau mana yang memang harus kembali pada tempatnya kan? Jangan egois ya, jagoan-jagoan Bunda." Alia tersenyum mencoba memberikan ketenangan dan atmosfer positif di ruangan itu. Zena membalas senyum Alia. Setidaknya, walaupun pernah melakukan kesalahan, kita masih berusaha memperbaikinya sesulit apapun itu. Tidak ada salahnya bercerita, membagi masalah dan meminta solusi dengan orang-orang yang kita sayangi. Saling berbagi dan bahu-membahu. Jangan terlalu mementingkan ego sendiri hingga menghancurkan rasa kekeluargaan. Karena letak kebahagian salah-satunya adalah pada keluarga dan letak kesedihan juga salah-satunya  pada keluarga, tinggal kita sendiri yang memilih mau mengubahnya menjadi bahagia atau tidak.

Memaksa juga bukanlah hal yang baik. Entah itu perasaan, saran, ataupun kehendak, itu bukanlah hal yang baik. Itu semua akan berimbas pada kehidupan sekarang maupun kedepannya nanti. Maka dari itu berpikirlah sebelum bertindak, singkirkan emosi, singkirkan ego. Pilihlah mengunakan logika dan juga hati, jika tidak selaras dengan keduanya maka pilihlah menggunakan salah-satunya dengan memikirkan akibat kedepannya bagi diri sendiri dan orang lain.

"Tetap kuat ya semuanya, jangan lupa bersyukur." Alia mengepalkan tangannya seraya tersenyum mencoba menyemangati yang mendapatkan senyuman dari mereka semua.

Yah, inilah Alia, sahabatnya yang selalu bisa menenangkan setiap orang yang ada di dekatnya. Jadi, tidak salah dulu istrinya selalu nyaman dan mengaggap Alia adalah kakaknya.

***

"Mama mau kamu akur sama Zena ya." Alia sekarang tengah berada dikamar putranya. Dia duduk di tepi kasur seraya menatap anaknya yang tengah menulis dimeja belajarnya. Aqil tidak menatapnya, namun dia yakin pasti putranya itu mendengarkan apa yang dia katakan tadi.

"Aqil," panggil Alia berusaha meminta perhatian putranya.

"Hm."

"Dengar apa yang Mama bilang?" Aqil mengagguk tanpa bersuara. "Paham?" Sekali lagi Aqil mengangguk tanpa mengeluarkan suaranya.

"Kamu marah?" Aqil diam, tidak menjawab. Dia terus menulis.

"Aqil."

"Ma," panggil Aqil yang membuat Alia mengangkat sebelah alisnya. Alif menatap Alia beberapa lama tanpa bersuara. "Berhenti, aku udah paham apa yang harus aku lakukan. Walaupun ke paksa."

"Aqil, jangan gitu dong."

"Mama selalu bahas Zena, Zena, Zena trus. Bosen tau gak." Aqil mengeluarkan decakan kesalnya, dia menatap buku dihadapannya.

"Karena kamu marah sama Zena. Mama gak mau kalian gak akur terus."

"Ya udah. Emang apalagi yang mau di masalahin? Soal Melody? Dia udah tau kan, kalau dia pacarnya Zena. Terus apalagi?" Aqil menatap Alia dengan kening berlipat.

"Kamu masih marah sama Zena."

"Iya aku marah sama dia."

"Marah karena?"

"Ya dia jadi sama Melody. Aku kan juga cinta sama Melody!" Aqil mendengus kesal.

"Dari awal kan emang mereka pacaran. Ya ... walaupun kayak gitu." Alia mengangkat bahunya.

"Iya yaudah. Kan mereka udah bersatu Ma, Aqil yang sendiri sekarang, puaskan?" ucap Aqil kesal.

"Loh, kok gitu?" Alia tertawa melihat tingkah putranya. "Kamu gak sendiri, kan ada Mama." Alia menarik turunkan alisnya mencoba menggoda putranya.

"Iya, terserah Mama. Udah ah, Mama keluar sana. Aku lagi galau, jangan digangguin!" Aqil mendorong pelan bahu Alia menuju pintu.

"Kamu ngusir Mama," ucap Alia sambil cengengesan.

"Iya!" sahut Aqil kesal.

"Jahatnya. Dasar anak durhaka!"

"Serah Mama. Udah sono!" Aqil mengibaskan tangannya mengusir Alia. Alia mendengus kesal seraya menghentakkan kakinya pergi meninggalkan Aqil.

"Nangisnya jangan kenceng-kenceng!" teriak Alia menggelegar menggoda putranya.

"MAMA!" ucap Aqil berteriak kesal yang membuat Alia tertawa kesenangan.

***

ShaquilleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang