Angin semilir menerpa wajah Melody hingga menerbangkan rambutnya. Melody menatap matahari yang mulai turun dari atap rumah Aqil, menikmati sejenak pemandangan yang terpampang."lo tau Ametis itu apa?" tanya Aqil kepada gadis yang tengah ia pandangi di sampingnya saat ini.
"Enggak, emang itu apa?" Love menggelengkan kepalanya dan membalas tatapan Aqil. Sudah cukup lama, sejak kejadian itu keduanya jarang berjumpa maupun bertegur sapa. Aqil yang sibuk dengan segala persiapan ujian nasional dan Melody yang liburan ke kota kelahirannya untuk menjenguk makam ibunya.
Sejenak Melody menatap Aqil, lalu kembali menatap matahari yang tertutup awan namun semburat cahayanya begitu cantik, oren kemerah-merahan.
"Ametis itu batu permata yang dapat tembus cahaya, warna cahaya yang dihasilkannya begitu indah. Sama seperti lo, makhluk terindah ciptaan Tuhan." Ucapan Aqil mendapatkan atensi penuh dari Melody. Aqil masih saja menatap Melody.
"Aqil tau kan hub_" belum selesai Melody berkata Aqil sudah menyela.
"Gue tau, gue gak ada maksud apa-apa." Melody mengangguk mengiyakan. Merapikan rambutnya yang berterbangan, Melody kembali berbicara.
"Aqil ... mau lanjut masuk universitas mana?"
"Masih ragu."
"Kenapa?"
"Gue mau sekolah di luar negri aja." Ya, Aqil ingin menjauh untuk mencoba menghapus bayang-bayang Melody yang selalu memenuhi pikirannya. Karena dia tau, memikirkan itu hanya membuatnya sadar pada kenyataan yang sanggup membuat dirinya sesak. Melody, bukan gadisnya, tapi gadis adiknya, Zena. Dia harus mencoba merelakan Melody untuk Zena.
"Dimana?"
"Antara di Inggris sama Amerika."
"Oh, mau ambil fakultas apa?"
"Bisnis."
"Semangat, semoga berhasil." Melody mengangkat kedua tangannya menyemangati Aqil dengan senyum cerah yang mengembang di bibirnya. Kalau begini bagaimana bisa Aqil segera merelakan Melody dengan Zena. Baru di senyumin Melody saja jantungnya sudah berdetak tak karuan. Selalu saja, adanya Melody di dekatnya, bisa membatasi ruang geraknya. Kehadiran gadis itu, selalu bisa membuatnya mati gaya, ingin melakukan apa saja harus serba dia pikirkan dulu. Entah sejak kapan dia seperti itu yang terpenting dia tidak mau imegenya jelek didepan Melody, sebisa mungkin dia terlihat seperti sosok yang sempurna dihadapan gadis itu walau nyatanya masih saja dia sering gagal.
"Coba ambil beasiswa?"
Aqil mengangguk. "Iya. Doain gue dapet ya."
Melody tersenyum hingga membuat matanya menyipit. "Pasti Aqil bisa." Aqil ikut tersenyum mendengarnya.
"Nanti selam gue di luar negri, lo baik-baik ya sama Zena." Aqil mengelus puncak kepala Melody seraya tersenyum. Melody mengangguk mengiyakan.
"Kalau gak ngerti pelajaran tanya Zena aja." Melody mengangguk, mendengarkan dengan seksama apa yang Aqil katakan. "Terus duduknya nanti sebangku aja sama Zena."
"Iya cerewet!"
"Dikasih tau jangan ngeyel ya." Aqil mencubit pelan pucuk hidung Melody.
"Iya Ayah," ucap Melody mengejek Aqil yang menurut Melody mirip seperti Ayah yang pernah menasehatinya.
"Ekhem." Suara deheman itu membuat Melody membalikkan badannya mencari asal suara. Dibelakang sana Zena berjalan menghampiri mereka berdua sambil membawa nampan berisi minuman dan cake.
"Romantis banget. Gue ganggu ya." Melody tersenyum mendengar sindiran yang cukup halus dari Zena.
"Zena cemburu ya?" tanya Melody menaikkan alisnya menggoda Zena.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shaquille
Random"Kamu tau Ametis?" tanya Aqil kepada gadis yang tengah ia pandangi di sampingnya ini. "Enggak, emang itu apa?" Love menggelengkan kepalanya dan membalas tatapan Aqil. "Ametis itu batu permata yang dapat tembus cahaya, warna cahaya yang dihasilka...