CHAPTER 13

1.6K 64 1
                                    

Siang itu, di jam istirahat ke dua gue memasuki kantin bersama dengan Roni dan Axsel. Seperti biasanya, Kirey selalu sok sibuk dengan jabatan nya sebagai ketua kelas.

Sedangkan Sherli dan Akbar, mereka selalu menyontek tugas yang akan datang.

"Lo mau pesen apa? Biar gue pesenin," Roni masih berdiri di samping meja.

Gue yang sudah duduk pun mendongak, "Gue Pop ice aja deh. Nih duit nya," Gue menyerahkan satu lembar uang sepuluh ribuan pada nya.

"Gue juga sama," Axsel yang duduk berhadapan dengan gue pun memesan.

"Duit nya mana? Jangan pake duit gue mulu anjir, utang lo yang kemaren belom di lunasin."

"Yaelah anjir Pop ice cuman goceng, lo jangan begitu napa ama temen."

Gue pun melerai pertengkaran mereka, "Eh udah udah ngapa jadi pada ribut sih. Pake duit gue aja Ron,"

Roni pun mengangguk dan meninggalkan meja, keheningan tercipta diantara gue dan Axsel. Maklum, gue belum akrab akrab banget sama nih anak.

"Ran, Kiran, kalo semisal temen gua nih si Akbar suka sama lo gimana? Lo mau nerima dia kagak?"

"H-hah?" Gue mendadak canggung di tanyain soal itu sama Axsel.

"Eum, kalo dia nya emang beneran serius gue bisa nerima dia. Tapi gue rasa, gue belum pantes sama dia."

"Kenapa?"

"Gue sekolah di sini belum ada sebulan anjir, mau di kata apa sama anak anak?"

Axsel terkekeh pelan, lalu tak lagi bertanya. Hingga Roni datang dengan nampan berisi tiga cup Pop ice.

"Makasih Roni," gue mengambil pesanan gue dan menyeruput isi nya.

Roni duduk di sebelah Axsel, gue mengaduk ngaduk isi gelas sambil ngedumel di dalem hati.

Sherli mana sih ah, lama banget anjir.

Namun ternyata bukan Sherli yang datang, melainkan Nadia. Ia berdiri di samping meja sambil melipat kedua tangan. Memandang gue dengan pandangan marah.

"Nad? Kenapa?" Gue bertanya dengan takut takut karna tatapan nya.

"Nad? Jangan berdiri aja, duduk sini—"

Nadia menempelkan jari nya di bibir, menyuruh Roni untuk diam. Ia memandang gue dengan senyum smirik nya.

"Sekarang gue udah ga mau sembunyi sembunyi lagi, gue bakal blak-blakan ke lo tentang semua nya."

Nada bicaranya angkuh membuat gue meneguk ludah.

"Gue gak suka sama lo. Gue si hodie hitam yang selama ini lo cari, dan gue juga yang udah ngirim SMS itu ke lo. Sekarang, lo udah tau kebusukan gue, apa mau lo?"

Gue sedikit tak percaya dengan apa yang barusan keluar dari mulut Nadia.

"Jadi selama ini—"

"Iya! Gue yang selama ini ganggu hidup lo, gue gak suka sama lo, gue benci sama lo. Sejak lo dateng ke sekolah ini, lo ngerusak semua nya."

Suara nya makin meninggi membuat satu kantin memfokuskan perhatian pada meja gue, Roni dan Axsel pun kebingungan dengan situasi ini.

"Sekarang Akbar lebih milih lo daripada gue, Akbar lebih perhatian sama lo daripada gue, lo tau? Seberapa lama gue dapetin perhatian dari dia? Setahun lebih gue ngincer tu anak tapi nihil. Gue ga pernah dapet,"

"Dan sekarang, giliran gue mulai deket sama dia. Lo dateng dan ngerusak semua nya. Kenapa sih lo harus masuk ke sekolah ini?!"

Gue berdiri dan menghadap ke arah Nadia, "Sorry gue gak tau. Gue gak tau kalo selama ini lo suka sama dia, kenapa dari awal lo ga bilang sama gue?"

"Kalo gue bilang pun ga akan ngerubah apa apa, Akbar tetep lebih perhatian sama lo."

"KENAPA HIDUP LO SELALU ENAK HAH?! GUE LIAT LO SELALU BAHAGIA! KENAPA GUE ENGGAK?! KENAPA GUE GAK BISA KAYAK LO?!"

"UDAH MUAK GUE LIAT LO BAHAGIA TERUS! GUE IRI SAMA LO! GUE IRI KARENA LO BISA DAPETIN AKBAR, SEDANGKAN GUE ENGGAK!"

"GUE IRI KARENA LO HIDUP ENAK, KENAPA GUE GAK BISA?! KENAPA GUE HARUS HIDUP SUSAH KAYAK GINI?!"

Gue menghela nafas panjang, mengangguk singkat lalu menepuk pundak Nadia, "Oke makasih karna lo udah jujur, gue hargai kejujuran lo."

"Tapi, lo ga bisa seenak nya mencap Akbar sebagai milik lo. Gue juga bisa milikin Akbar."

Setelah nya gue berjalan meninggalkan Nadia yang emosi nya sudah di ujung tanduk, dengan kesal ia merampas minuman gue dan menyiram tepat di punggung gue.

Hal itu membuat satu kantin menutup mulut nya, Axsel dan Roni sampai bangkit dari tempat duduk nya dan memandang marah pada Nadia.

"Nad! Lo apa apaan sih?!" Axsel menggebrak meja

"Gausah gitu bisa gak sih?! Lo itu bukan bocah. Jadi jangan gini lah, jijik gue liat nya." Roni ikut menimpali

Sedangkan gue sendiri, hanya diam di sana sambil menunduk. Membiarkan minuman dingin itu menyentuh punggung gue.

Gue membalikkan badan dan menatap ke arah Nadia yang sedang mengatur nafas nya "Nadia, biarpun gue masih baru di sekolah ini bukan berarti gue takut sama lo."

Kini kesabaran gue sudah di ujung batas, gue udah ga bisa tahan lagi sama kelakuan Nadia yang udah injek injek harga diri gue di depan banyak orang.

Nadia melangkah maju dengan tangan terkepal kuat, Axsel dan Roni keluar dari meja dan berusaha menahan Nadia. Namun terlambat, dia sudah lebih dulu menjambak rambut gue dengan kedua tangan nya.

Gue hanya diam di sana sambil tersenyum lebar, melihat betapa marah nya diri nya.

"MATI AJA LO JALANG SIALAN!"

Jambakan nya semakin kuat, membuat gue memejamkan mata menahan sakit. Hanya Axsel dan Roni yang bisa membantu melerai pertengkaran ini.

Hingga akhirnya Nadia berhasil di tahan oleh Roni dan gue di bawa keluar dari kantin sama Axsel.

Gue berjalan dengan senyum lebar, mata gue berair menahan tangis dan rambut gue acak acakan.

"Lo gapapa Ran?" Axsel masih setia di samping gue.

Gue berhenti lalu menoleh ke arah nya, "Makasih, tapi sekarang gue gak baik baik aja."

Lagi lagi gue tersenyum, "Xell, salah ya gue sekolah disini? Padahal gue 'kan ga ada niat apa apa,"

"Gue cuman mau belajar dan dapet temen, gue mau punya temen. Apa itu salah?"

Gue menitikkan air mata sambil menunduk, "Gue mau sekolah layak nya anak SMA yang lain Xell, gue mau hidup tenang. Gue ga mau punya musuh hiks hiks ... "

Gue menghapus air mata gue lalu mendongak dan tersenyum ke arah Axsel, "Tapi gapapa, mungkin gue hidup emang cuman buat di musuhin," gue terkekeh sambil geleng-geleng kepala.

Hingga gue menoleh ke depan setelah mendengar langkah derap kaki. Dan ternyata itu Akbar, Kirey dan Sherli.

Mereka berlari menghampiri gue, Akbar dengan segala kekhawatiran nya langsung memeluk gue sesaat setelah gue tersenyum pada nya.

"Maaf, Maaf harus nya gue sama lo tadi."

Gue memejam kan mata sambil tersenyum, mengusap ngusap punggung Akbar yang memeluk gue secara tiba-tiba.

"Gapapa, lo ga salah."

Akbar melepaskan pelukannya lalu merapihkan rambut gue yang berantakan.

"Gue mau ngomong berdua sama lo, bisa?"



To be continued ...

MY PERFECT BOYFRIENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang