CHAPTER 14

1.5K 64 0
                                    

Di atas sini gue menikmati angin yang berhembus kencang, memandangi banyak nya gedung gedung yang menjulang tinggi.

Gue memejamkan mata sambil memegangi pembatas yang tinggi nya sepinggang, "Kenapa sih? Kenapa gue harus lagi ngulangin kejadian ini?"

Gue mulai membuka suara, mengingat kembali memori tahun lalu saat masih di sekolah lama. Dibully oleh kakak kelas karena pernah pacaran dengan cowok yang jadi incaran ciwi-ciwi.

"Gue pindah kesini cuman mau ketenangan, gue cuman mau sekolah layak nya anak SMA lainnya."

Entah mengapa rasanya lega bisa ngomong semua unek-unek yang selama ini gue pendem. Akbar melangkah maju mendekati gue, "kisah SMA ga se-flat itu, hidup kita juga ga se-flat itu. Pasti ada aja ombak nya, kita manusia pasti ngerasain yang nama nya seneng dan sedih."

"Hari ini mungkin lo emang lagi sedih, tapi pernah ga lo inget lo pernah bahagia?"

Gue menoleh ke arah Akbar yang sedang menatap langit, rambut nya di terpa angin membuat ketampanan nya meningkatkan, di tambah dengan kedua tangan yang di masukkan ke dalam saku.

Bener bener bikin gue ga bisa kedip.

"Tapi, kayak nya hidup gue tuh emang sial banget ya? Gue dari kecil ga pernah bahagia."

Akbar menoleh ke arah gue, membuat gue memalingkan wajah ke arah lain.

"Kalo mau cerita gue siap dengerin."


"Hidup gue sama sial nya kayak lo," gue duduk di samping Akbar sambil melipat kedua kaki.

"Waktu kecil, gue kecelakaan. Koma selama 1 tahun bikin gue lompat kelas dan gak ngerasain yang nama nya sekolah TK."

"Kelas 1 SD gue ngerasa paling bodoh karna belum bisa baca, gue di kucilkan sama temen temen yang lain. Katanya gue aneh," Gue terkekeh pelan sambil menatap langit, "gue dulu takut banget sama petir, dan itu juga yang bikin anak anak makin bilang gue aneh. Karna setiap ada petir, gue pasti ngumpet di kolong meja sambil nangis. Padahal wajar kan anak kecil takut petir?"

Akbar mengangguk.

"Gue cuman pengen punya temen, Bar. Gue cuman pengen ngerasain gimana jadi anak SMA kayak yang lain. Gimana ngabisin umur 17 tahun layaknya orang lain."

"Gue mau hidup tenang, punya banyak temen, gue gak mau punya musuh."

Tangan Akbar menggapai pundak gue, menepuk nepuk nya selama tiga kali "Syukur kalo lo udah bisa ceritain semua nya, sekarang lo bisa sedikit lega, 'kan?"

Gue mengangguk sambil tersenyum

Jari Akbar bergerak mengapus sisa air mata yang menggenang di pelupuk mata gue, "Gausah nangis, dasar cengeng."

Seketika senyum gue pudar, menatap Akbar sambil menautkan kedua alis, "kayak nya gue pernah denger seseorang yang ngomong kayak gitu ke gue?"


"Yah rame banget,"

Gue mengeluh sambil melihat ruko telur gulung yang rame nya masyaallah.

"Mana mendung mau ujan lagi," gue melihat ke arah langit yang sudah menghitam.

Akbar melepas helm nya lalu turun dari motor, "Mau kemana?" Tanya gue ikutan turun.

"Beli telor gulung, lo duduk aja depan minimarket biar gue yang antri,"

Belum sempat gue menolak, Akbar telah lebih dulu berlari ke arah pedagang itu dan mulai mengantri. Gue pun mengikuti perkataan Akbar untuk duduk di salah satu bangku yang di sediakan di minimarket.

Sambil terus menunggu gue memperhatikan Akbar yang masih mengantri, "Dia ga capek apa berdiri terus?"

Gue tersenyum lebar setelah mengatakan itu, menoleh ke arah samping untuk melihat isi dari minimarket itu. Tapi ada yang bikin fokus gue teralihkan, yaitu ada Nadia di sana.

"Nadia? Sejak kapan dia jadi pegawai di sini?"

Alis gue menyatu setelah melihat dirinya menggunakan seragam minimarket, "Dia kerja paruh waktu?"


"Bar, Bar nepi dulu sebentar gerimis,"

Akbar menepikan motornya di halte bus depan sekolah TK, di sana gue turun dan menepuk nepuk rok serta rambut gue yang sedikit basah.

Fokus gue teralihkan saat melihat seorang anak kecil yang jongkok di depan gerbang sekolah nya, kerutan di dahi gue tercetak jelas.

"Bar, bentar ya."

Gue berlari menyebrangi jalan untuk menghampiri bocah kecil yang masih menggunakan seragam sekolah nya itu.

"Hallo,"

Bocah itu mendongak dan tersenyum lebar, lesung di pipi nya membuat gue ikut tersenyum

"Kenapa masih di sini? Kok belum pulang, udah mau hujan lho."

"Lagi nungguin Mama jemput,"

"Nungguin nya di sana aja yuk, biar ga kehujanan."

Gue menggenggam tangan mungil nya untuk menyebrangi jalan, ia tampak terburu buru karna gerimis mulai turun dengan deras.

Kini hanya kami bertiga yang duduk di halte bus, dengan bocah kecil tadi yang duduk di tengah tengah gue dan Akbar.

"Dek, nama nya siapa?" Tanya Akbar

"Letta," jawab nya dengan suara gemas.

Tiba-tiba saja gue teringat dengan telur gulung yang gue simpan di tas, dengan cepat gue pun mengeluarkan telur gulung itu dan memberikannya pada Letta.

"Dek, mau telur gulung ga? Nih kakak tadi abis beli di depan sana,"

Letta dengan senyum yang mengembang pun mengangguk girang, gue pun menyerahkan semua telur gulung yang gue beli pada nya.

"Makan bareng bareng ya kak," ucap nya sambil memberikan gue dan Akbar satu tusuk telur gulung.

Akbar yang merasa gemas pun mengacak ngacak rambut nya, "Iya iya, ehh tapi Kakak mau tanya dong."

"Tanya apa?" Ucap Letta dengan mulut yang sibuk mengunyah.

"Kenapa jam segini belum pulang? Emang sekolah nya jam berapa?"

"Letta sekolah jam 12 Kak, terus sekarang lagi nunggu Mama jemput."

"Baru tau gue anak TK ada yang masuk sift siang juga, maklum gue ga pernah TK."

Waktu terus berjalan dan hujan semakin deras, air mulai menggenang dan menimbulkan cipratan cipratan kecil.

Hingga kemudian ada sebuah mobil hitam yang berhenti di depan kami, ternyata itu Mama nya Letta.

"Mama!!" Letta berteriak dengan girang sambil menghampiri Mama nya yang keluar dengan menggunakan payung.

Gue tersenyum kecil pada Mama nya Letta ketika Letta berceloteh banyak tentang gue.

"Makasih ya kalian udah jagain Letta, maaf kalo ngerepotin ..."

Gue dan Akbar sama sama menggeleng, "Eh engga engga, gapapa kok malah saya seneng karna punya temen kayak Letta,"

"Yaudah kalo gitu, saya sama Letta pamit pulang ya. Kalian berdua pulang nya hati hati ya, tunggu hujan nya reda ..."

"Kakak! Letta pulang dulu ya, makasih telor gulung nya, enak lho. Nanti kapan kapan main sama Letta lagi yaa, dadah ..."

Gue melambaikan tangan sambil tersenyum melihat Letta yang sudah duduk di dalam mobil dengan membuka kaca nya.

"Lucu banget ya anak TK kayak Letta,"



To be continued ...

MY PERFECT BOYFRIENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang