"AKBAR!" Sherli berteriak dari bangku nya, ia berlari menghampiri Akbar lalu menonjok bahu nya, "LO! BENER BENER YA LO, MINTA MAAP SANA."
"Apaan sih Sher, main tonjok aja. Kalo gue ga mau minta maaf, lo mau apa? Hah?!"
"Gue patahin tulang leher lo, gue remukin tulang kering lo, mau lo?" Sherli melotot menatap Akbar.
"Buset psikopat anjir," Roni berbisik pada Axsel, namun suara nya terdengar hingga ke telinga Sherli, "Tulang lo mau gue patahin juga?"
Bungkam.
Roni langsung bungkam, bersembunyi di belakang Axsel.
Namun tiba-tiba saja, ada satu guru laki laki masuk, ia membawa beberapa buku di tangan nya dengan kacamatanya yang ia taruh di atas kepala botak nya, "aya naon yeuh?"¹
Dia pak Handoko, guru seni budaya.
"PAK AKBAR PAK!" Sherli menunjuk-nujuk Akbar, "DIA NGUSILIN KIRANA PAK!"
"Engga pak! Ah lo ngadu-ngadu nih main nya," Akbar mendorong bahu Sherli pelan.
Lalu ia meringis menatap pak Handoko yang sudah berkacak pinggang, "ga salah lagi pak, hehe. Tapi bukan saya doang pak, tuh Roni sama Axsel juga ikutan." Akbar menunjuk dua teman nya yang ada di belakang Sherli
"Dih lo yang ngajakin bajing!"
"Tau dih, kita 'kan cuman ambil aer doang di WC. Mana bau lagi WC nya."
"Euy sudah-sudah atuh, Akbar buru maneh minta maaf. Ulah kitu atuh ka perempuan teh,"² kata pak Handoko "Kamu murid baru, ya?"
Tanyanya dengan aksen sunda, gue pun hanya mengangguk walau sama sekali ga ngerti ucapan sebelumnya.
"Kalau begitu, daripada kamu kedinginan, mending kamu teh beli baju dulu di TU, atau pinjam punya teman, ya?"
"Saya pinjam—"
"GAUSAH!" Sherli menyela ucapan gue, "biar Akbar yang tanggung jawab buat beliin Kirana seragam baru."
Kalimat yang di luncurkan oleh Sherli membuat Akbar melongo, "dih? Mana bisa—"
"Apa? Mana bisa apa? Cepetan anterin ke TU atau tulang lo beneran gue patahin, ya?"
Ancaman dari Sherli rupanya manjur untuk Akbar, dia langsung nurut dan menarik tangan gue untuk ikut bersama nya.
Sepertinya dia merajuk. Terlihat dari cara dia menarik tangan gue, benar benar udah kayak narik kambing Qurban.
"Saya ijin pak," Pamit nya pada pak Handoko sebelum pergi.
Dia masih saja menarik tangan gue, berjalan dengan langkah cepat membuat gue sesekali terselengkat kaki sendiri.
"LEPASIN!"
Buset udah kayak sinetron indosiar gak tuh?
Gue melepas cekalan tangan Akbar, "gue bisa jalan sendiri, ga usah lo tarik tarik. Di pikir gue kambing kurban apa?"
"Abisan kesel banget gue—"
"Kesel apaan lo? Yang lebih kesel tuh gue."
"Buset kalem dong, lo anak baru tapi kelakuan udah kayak preman. Dimana mana, orang tuh jaga sikap dulu supaya dicap anak baik. Lah elo?—"
"Apa? Kenapa gue?!"
"Tuh kan belom juga selesai ngomong udah di sela, kebiasaan," Akbar melenggang pergi meninggalkan gue.
Kedua tangannya masuk ke dalam saku celananya, ia bersiul siul di lorong yang sepi ini, "Kalo masih mau berdiri di situ gue ga bakal tanggung jawab."
Seketika gue langsung melotot dan mengejar dirinya yang sudah berjalan dua meter dari tempat gue berdiri, "ck ga gentle banget sih."
Gue berjalan di sampingnya menjajarkan langkah besarnya, namun kemudian Akbar berhenti melangkah, menoleh ke arah gue dengan kedua alis terangkat, "coba ngomong sekali lagi, gue mau denger ngomong apa lo barusan."
"Enggak. Gue cuman asal ngomong doang."
Udah cukup deh cukup, gue ga mau lagi ribut sama yang nama nya Akbar.
Cukup lama kami masih diam di sini, hingga tiba-tiba saja ada angin yang berhembus lumayan kencang, membuat dingin menusuk seluruh badan gue.
"Sssshh dinginnn," gue mengusap ngusap lengan gue agar sedikit lebih hangat.
"Ayok ah jalan, gue bisa mati kedinginan kalo kayak gini," gue jalan mendahului nya, namun secara tiba-tiba Akbar mencekal lengan gue.
Gue berhenti dan menoleh ke belakang, menatap ke bawah lalu ke atas, "apa?" Satu alis gue terangkat.
"G-Gu huft ... Gue mau minta maaf."
Satu kalimat yang meluncur dari bibir Akbar membuat gue membeku, apa? Akbar minta maaf? Seriusan?
"Ga usah minta maaf kalo lo ngulangin kesalahan yang sama."
"Tapi gue serius minta maaf sama lo, kenapa sih? Tinggal bilang ’Di maafkan’ aja apa susah nya?"
"Okey, Dimaafkan."
•
•BRAKK
Gue merebahkan tubuh gue di atas kasur, masih dengan seragam yang gue pakai, gue menatap langit-langit kamar.
Hari yang berat.
"Huhfftt baru pertama masuk aja udah begini," keluh gue
"Rasa nya gue pengen pindah lagi aja lah."
Baru saja gue memejamkan mata, terdengar suara notifikasi chat dari Handphone gue. Gue berdecak kesal sambil mengambil handphone yang gue taruh di saku baju.
Untung handphone gue ga rusak ke siram air loh :)
Sherli Mey :
| Kiran?
| Udah nyampe rumah, kan?Udah, Kenapa? |
Sherli Mey :
| Gapapa, nanya aja.
| Eh iya btw tadi Akbar udah minta maaf?Udah kok, tenang aja. |
Gue udah ga ada masalah |
lagi sama dia.Sherli Mey :
| Bagus deh, tapi ...
| Kenapa tu anak minta id line lo?
| Lo beneran udah maafan kan?Loh? Minta id line gue? |
Buat apaan? |
Gue beneran udah baikan |
sama dia kokSherli Mey :
| Gue gatau, dia maksa maksa nih.Asli rasanya gue mau nyekek yang namanya Akbar.
Ting!
Bener aja, ga lama setelah itu gue dapet notifikasi chat masuk dari Akbar. Karna gue tipe orang yang ga bisa ngartis, gue langsung buka lah tuh chat nya.
| Test
| Haloo?
| Apa nomer ini tidak mau membalas pesan saya?Apa sih apa? |
Ganggu banget deh || Gapapa, lagi gabut aja.
Heran gue, sehari aja lo |
ga gabut bisa ga? || Gak bisa.
| Udah bawaan dari lahir begini.
| Kenapa? Mau protes?Dih? Stress lo. |
Ngomong sendiri. |You blocked this contact.
To be continued...
AN :
¹Ada apa nih?
²Sut sudah-sudah dong, Akbar cepat kamu minta maaf. Jangan gitu dong sama perempuan tuh.

KAMU SEDANG MEMBACA
MY PERFECT BOYFRIEND
Fiksi Remaja❝Tuhan memang baik ya, dia bisa mempertemukan kembali aku dan kamu yang sudah terpisah sejak awal bertemu.❞ Apakah ini bisa disebut dengan takdir? Ini cerita pertama saya. Maaf kalo sedikit absurd dan tidak jelas, apalagi kalau ada typo dan kata yan...