Angin

230 78 14
                                    

Tujuh tahun terakhir ini, bukanlah tahun-tahun yang mudah untuk di lewati Agra. Hidupnya terlalu monoton dan tak banyak tawa di hari-harinya. Harapan di hidupnya tak banyak, hanya satu. Sebuah keajaiban, keajaiban yang selalu ia yakini, bahwa itu pasti akan terjadi nanti. Menunggu adalah salah satu cara yang masih ia lakukan sampai kini walaupun ia sebenarnya tau bahwa hal itu sangat menyiksa dirinya dan entah kapan ia mengakhirinya. Apa boleh buat? Kita berencana, tapi Tuhan juga mempunyai rencana.

Agra kini sedang berada di sebuah lapangan. Lapangan yang hanya menyisakan sedikit kisah namun sangatlah berarti baginya. Ia duduk di bawah pohon yang kini sudah semakin besar. Keadaan di sekitar lapangan itu pun sudah banyak sekali yang berubah. Ah iya, jangan lupakan tulisan itu. Ia masih setia menemani pohon itu tumbuh walaupun kini kata demi katanya sudah sedikit sulit untuk di baca. Rumah yang pemiliknya selalu ia tunggu pun sudah berubah menjadi sebuah butik. Sedangkan rumahnya, kini berubah menjadi sebuah panti.

Cuaca minggu sore ini sangatlah mendukung keinginannya. Tidak sia-sia ia seperti orang gila yang berada di situ berjam-jam, di tatap oleh banyak orang dengan tatapan yang aneh. Tidak apa, asalkan keinginannya terpenuhi. Agra kemudian bangkit dan menuju mobilnya yang berada di pinggir lapangan. Mengambil kamera polaroid di bagasi mobil itu. Setelahnya ia menuju ke tengah lapangan, duduk di sana, persis seperti tujuh tahun yang silam. Oh tidak, tidak persis. Dulu ia ada seseorang yang menemaninya secara tiba-tiba, berbeda dengan keadaan yang sekarang.

Angin berhembus lembut, membuat Agra merasakan sangat damai dan tenang. Ia lantas mengangkat kameranya untuk mendekatkan kamera itu ke wajahnya. Cukup sekali potret, hasilnya sudah sesuai dengan apa yang ia harapkan. Kemudian ia kembali mendekati pohon tadi. Ia membuka tasnya dan mengambil buku serta pulpen, tak lupa juga lem kertas untuk menempelkan foto tadi di buku itu.

Agra menuangkan sedikit lem dan langsung menempelkan foto itu pada kertas. Foto yang sangat indah baginya, menampakkan sebuah butik dengan gaun-gaunnya yang indah. Langit di foto itu pun juga sangat mendukung hasil jepretan Agra. Langit yang sedang di hiasi warna jingga, warna yang selalu ia tunggu. Karena gadis kecil tujuh tahun yang lalulah, kini ia sangat menyukai senja. Dan juga membuatnya selalu merindukan sosok itu.

Suasananya masih sama seperti tadi, ia masih di temani angin dan senja. Dan pastinya selalu di temani oleh sebuah kerinduan. Agra lantas membuka tutup pulpen dan mulai menuliskan rangakaian kata di samping foto itu.

Hai Senja, coba kini kau bertanya kepada angin, apakah ia bisa patah hati? Sejauh ini ia tak pernah menjawabnya. Coba kau bertanya padaku, bisakah aku patah hati? Sejauh ini kau membuatku sama seperti angin.

-Aditya Anugerah


Tiba-tiba rintik hujan turun, Agra segera menutup bukunya itu dan memasukkannya kembali ke dalam tas. Ia mengambil kamera di sampingnya dan menjinjing tasnya, lalu ia segera berlari kecil menuju mobil. Masuk ke dalamnya dan meletakkan tas serta kamera di kursi samping kemudi. Kemudian Agra menyalakan mesinnya dan mulai menjalankannya meninggalkan lapangan itu.

°°°

Hari minggu ini, akhir pekan Kayla di habiskan bersama Vyola berjam-jam di toko buku. Vyola benar-benar membeli sepuluh novel. Kayla sangat bosan berada di dalam sana. Sedangkan Vyola, ia nampak sangat bersemangat memilih sepuluh novel. Setelah Vyola memilih-milih kesepuluh buku. Ia membawanya ke kasir.

"Semua buku ini mbak?" Tanya si tukang kasir, kaget.

"Ah iya mbak, ini gak banyak kok. Lagian ada yang mau bayarin" jawab Vyola dengan tawa sambil melirik Kayla yang menghela nafas. Si tukang kasir itu nampak menghitung harga sepuluh novel Vyola.

"Semuanya satu juta dua ratus lima puluh ribu mbak, tapi mbak dapat potongan harga. Jadinya cukup bayar satu juta seratus ribu saja" jelas si tukang kasir. Vyola lalu menyikut Kayla yang dibalas dengan tatapan tajam mata Kayla. Kayla kemudian membuka tasnya, dan mengambil uang di dalamnya, lalu memberikan uang itu ke kasir. Vyola tersenyum senang.

"Mbak bisa gak kalau bukunya di antar ke alamat rumah saya? Ini berat lho mbak" tanya Vyola kepada tukang kasir.

"Tentu saja bisa mbak, cuma bayar ongkir lima puluh ribu kok mbak. Mbak bisa tulis alamat rumahnya di sini" tukang kasir itu memberikan kertas dan pena, agar Vyola menuliskan alamat rumahnya. Setelah Vyola menuliskan alamat rumahnya, ia mengembalikan kertas dan pena itu kepada tukang kasir tadi. Vyola kemudian mengambil uang lima puluh ribuan di saku celananya, dan memberikan uang itu ke kasir untuk ongkir.

"Makasih ya mbak, saya tunggu di rumah" kata Vyola, tukang kasir itu kemudian mengangguk sambil tersenyum. Lalu Vyola menarik tangan Kayla agar keluar dari toko buku itu.

Kayla dan Vyola kemudian pergi ke sebuah cafe yang tidak jauh dari toko buku tadi. Mereka segera memilih tempat duduk, dan memanggil pelayan.

Tak lama setelah memesan makanan yang mereka pilih, makanan itu pun datang. Kayla nampak malas untuk makan. Makanannya tidak habis, beda dengan Vyola. Habis bersih tidak ada sisanya lagi.

Tiba-tiba sebuah ide terlintas di benak Kayla. Ia kembali memanggil pelayan, Vyola bingung.

"Lo mau ngapain lagi?" Tanya Vyola.

"Kok lo kepo sih Vy" jawab Kayla di sertai senyuman jahil.

"Mbak saya pesan ini tapi di bungkus ya" kata Kayla kepada pelayan itu dengan menunjuk ke sebuah menu makanan. Pelayan itu mengangguk dan menuliskan pesanan Kayla.

"Oh iya mbak, nanti di antar ke alamat ini ya" Kayla menyodorkan ponselnya, pelayan itu pun segera menyalin alamat yang tertera di ponsel Kayla.

"Ada lagi?" Tanya pelayan itu, Kayla hanya menggelengkan kepalanya.

"Total semuanya dua ratus ribu mbak" kaya sang pelayan. Kayla menyodorkan uang pas kepada pelayan itu. Pelayan itu pun kemudian pergi menjauh dari Kayla dan Vyola.

"Di antar ke mana Kay" tanya Vyola.

"Kepo" jawab Kayla judes kemudian ia memainkan ponselnya. Vyola menghela nafas.

"Lo marah Kay? Lo gak ikhlas beliin gue novel tadi?" Tuduh Vyola.

"Enggak marah kok, ikhlas juga" jawab Kayla, tatapannya tak lepas dari layar ponsel itu.

"Ya udah kalau gak marah, kuy kita pulang. Kan pesanan lo nanti di antar" bujuk Vyola. Kayla hanya mengangguk. Kemudian mereka beranjak pulang meninggalkan cafe itu.

°°°

Agra mematikan mesin mobilnya ketika sampai di depan rumah. Ia segera keluar dari mobil dan masuk ke dalam rumahnya. Saat Agra ingin menaiki tangga untuk menuju kamarnya. Tiba-tiba saja mamanya bersuara.

"Lho kok udah mau naik aja, gak mau makan makanan yang kamu pesan dulu?" Tanya Nia. Agra mengernyit bingung.

"Pesen makanan?" Tanya Agra menyakinkan dirinya. Nia menganggukan kepala.

"Agra gak ada pesan makanan apapun mah" kata Agra.

"Lah, terus itu siapa yang beli dong? Yakin kamu gak pesen?" Tanya Nia sekali lagi, kini dia yang terlihat bingung. Agra mengangkat bahunya, tanda ia tak tau.

"Lebih baik buang aja deh mah, gak tau juga asalnya dari mana" usul Agra.

"Iya juga ya, siapa tau ada racunnya" kata Nia, lantas ia langsung berlari ke arah dapur dan membuang makanan itu. Agra hanya tertawa pelan. Kemudian ia melanjutkan langkahnya menaiki tangga menuju kamarnya.


P E N T I N G ! ! !

Aku mau kasih tau kalian sesuatu dulu nih.
Sebelum kalian lanjut baca ke part selanjutnya, coba kalian baca ulang dulu yang part ke tiganya ya. Aku ada perubahan sedikit di situ. Takutnya kalau kalian gak tau nanti bisa jadi pusing baca ke depannya wkwk:)
Sorry banget ya, jadinya kalian harus baca ulang. Dan please tolong baca dulu ya:)

Bengkulu, 10 April 2020.

Langit & SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang