Gundukan tanah itu masih merah. Bunga-bunga mawar juga masih bertebaran di atasnya. Sendu langsung terasa nyata. Dia gagal. Judha masih setia pada posisinya. Tak beranjak sedikitpun dari sisi Dewa.
Perih menjalar di hatinya. Harusnya dari awal dia paham tentang sakit yang anak itu rasakan. Tentang sepi yang mencoba anak itu hilangkan.
Kecelakaan yang terjadi malam itu begitu menamparnya. Ia merasa kesal karena sedikit terlambat menyelamatkan keduanya. Suara benturan waktu itu masih terekam nyata. Ya, Judha, Pesona, Wawan dan Jhewa datang menekan perasaan sedih yang menghantam dada. Di bantu orang-orang mereka mengangkat tubuh Dewa yang telah bersimbah darah menuju mobilnya dan segera membawa anak itu ke rumah sakit terdekat. Tangis mereka pecah tak tertahankan. Sakit sekali rasanya.
Malam sunyi di lorong rumah sakit Judha menyandarkan tubuhnya, Pesona duduk tepat di depan pintu dengan pandangan kosong, Jhewa berdiri dengan perasaan campur aduk sedangkan Wawan dengan setia duduk di samping Pesona, cowok itu juga tak kalah sedih. Judha menangis tersedu. Amanat Andaru tak bisa Ia jaga dengan betul-betul. Doa tak hentinya terucap dari bibirnya. Berharap Tuhan memberinya satu lagi kesempatan untuk berjumpa dengan Dewa.
"Jud, Abi gimana?" Pesona bertanya dengan suara serak.
Judha tersentak, bisa-bisanya dia melupakan Biyu. Bukankah seharusnya cowok itu ada bersama Dewa? Tapi, kenapa Dewa hanya sendiri? Kemana Abimanyu?
Judha berdiri tangannya merogoh saku celana dan mencari nomor Biyu di sana. Masih sama, hanya jawaban dari operatorlah yang ia terima.
Judha menggeleng dan kembali meluruhkan tubuhnya di lantai. Kini pikirannya terbelah menjadi dua. Antara Dewa dan Abimanyu.
"Wan, Bokap lo belum ngasih kabar?" tanya Judha.
Sebenarnya Wawan sudah mendapat kabar dari sang ayah sejak mereka di perjalanan menuju rumah sakit tadi. Tapi, ia ragu untuk bilang kepada mereka.
"Emhhb, kayanya kita harus ke gedung kosong yang tadi mau kita tuju deh, Jud," kata Wawan dengan raut tak terbaca membuat ketiga temannya penasaran.
"Maksud, lo?"
"Persis kaya perkiraan lo. Biyu sama Dewa di sekap sama Om Sena di sana."
Judha berdiri menghampiri Wawan yang terlihat semakin gelagapan. Judha yakin ada yang cowok itu sembunyikan darinya.
"Wan,"
"Jud, Biyu ...."
Kedua cowok itu berlari membelah dingin malam ini. Jantung Judha seperti tak lagi berada ditempatnya. Ketika Wawan mengatakan sesuatu yang tak pernah ia duga sebelumnya.
Judha menerobos masuk melewati police line yang sudah terpasang di sekitar gedung ketika mereka baru saja sampai di sana.
Tubuhnya kaku. Oksigen benar-benar menguras dadanya. Ini seperti mimpi baginya. Kata seharusnya pun terus berkeliaran di kepala. Kalau saja ia tak terlambat dan mengabaikan pesan Biyu semua tak akan sampai seperti ini. Ya, andai saja. Tapi, nyatanya semua sudah terjadi dan Judha tak bisa lagi berbuat apa-apa selain menyesali takdir.
Di sana dapat ia lihat Sena yang menangisi Biyu. Dipeluknya tubuh Biyu dengan erat. Jika ditanya siapa yang paling menyesal di sini? Mungkin jawabannya adalah Sena.
Biyu, kehilangan nyawa karena dua luka tembakan di dada. Tepat menusuk pada jantungnya.
Sena digiring polisi guna pemeriksaan lebih lanjut. Lelaki itu terus memberontak dan tidak ingin di pisahkan dengan Biyu.
Judha luruh di samping tubuh kaku Biyu. Cowok itu menunduk dalam. Entah sudah berapa kali dalam sehari ini ia menangis. Jujur ia tak pernah membenci Biyu. Sejahat apapun Biyu dulu, mereka tetaplah saudara.
"BANGUN! BANGUN, BI!" serunya sambil menggoyang tubuh Biyu.
"Bangun, Bi. Nanti, kalau Dewa bangun gue harus bilang apa. Cukup Andaru, lo jangan pergi dulu. Gue mohon." Wawan membuang muka dan menghapus kasar air mata yang mengalir di pipinya.
"Dewa masih butuh lo, Bi. Kita semua masih butuh lo. Bangun, Bi. Gue mohon bangun."
Lelah, Judha tak tau lagi harus menghadapi hari ini dengan cara apa lagi. Bagaimana dengan ibu Biyu dan Dewa setelah ini.
Judha kembali memandang kosong gundukan tanah di depannya. Abimanyu tidak mendengarkannya. Suaranya tak lelaki itu hiraukan. Nyatanya ia tak mau kembali berjuang dan menyerah begitu saja. Dia memilih pergi dan meninggalkan luka bagi teman dan orang-orang terdekatnya.
"Jud, ayo Dewa nungguin kita." Pesona menuntun Judha untuk kembali ke rumah sakit.
Dewa koma dan entah sampai kapan anak itu akan kembali membuka matanya. Sekarang yang bisa mereka lakukan hanya berdoa dan memohon keajaiban dari Tuhan.
Lo boleh pergi, Bi. Tapi, gue mohon jangan ajak Dewa pergi juga dari sini.
Bentar tarik napas dulu. Alhamdulillah extra part atu kelar. Besok ane kasih lagi yee.
Thank's to reading see you.
Say good bye to Abimanyu 🤧
KAMU SEDANG MEMBACA
Bother
Teen FictionDewa bahkan tidak pernah meminta apapun pada Tuhan. Bahkan ketika ia di tuding sebagai pembunuh ia hanya diam. Ketika di bully dia hanya diam. Ketika dunia tak menginginkan dirinya ada dia juga diam. Tapi, untuk yang satu ini bolehkah dia egois. Bo...