"Papa!"
Biyu terpaku begitu melihat sosok sang papa ketika ia membuka pintu.
"Hello, Son." Arsena menyapa dengan senyum iblisnya.
Sosok yang sangat tidak Biyu harapkan kehadirannya kini berada tepat di depannya. Cowok itu menelan ludah dengan kasar. Jantungnya berdetak brutal. Ada perasaan takut yang menggelayuti batinnya. Terutama tentang Dewa yang hadirnya kini telah ia terima dan Biyu sudah berjanji untuk menjaganya.
"Kau tidak mempersilahkan Papamu ini untuk masuk." Suara sena kembali terdengar.
Bertahun-tahun tidak berjumpa membuat Biyu merasa sedikit canggung. Papanya juga nampak kurus dari terakhir kali mereka bertemu. Ada perasaan marah yang timbul dalam diri Biyu saat mengingat kelakuan Arsena yang tega meninggalkan mamanya begitu saja setelah mamanya depresi karena kepergian Bening. Biyu tau Sena begitu menyayangi Bening dan kehilangan Bening sama saja kehilangan separuh nyawanya. Tapi, sebagai pria dewasa bukankah hal yang Sena lakukan itu tidak lah benar. Apalagi saat itu usia Biyu juga masih sangat kecil. Ia juga kehilangan dan butuh kekuatan dari kedua orang tuanya, tapi nyatanya yang ia dapatkan malah sebaliknya. Biyu seperti terbuang dan terlupakan.
"Siapa, Mas?" Dewa muncul dari balik tembok matanya masih fokus pada game yang tengah ia mainkan di ponsel.
Abi tak menjawab. Lidahnya kelu, masih kaget dengan kehadiran Arsena yang tanpa diundang sebelumnya.
"Halo, Dewa!"
Tubuh Dewa menegang. Meski sudah bertahun-tahun tidak bertegur sapa dengan sosok Sena, tapi Dewa masih begitu hafal dan ingat betul dengan suaranya.
Kepala Dewa mendongak untuk memastikan jika alat pendengar yang ia gunakan masih berfungsi dengan sempurna.
Degup tak wajar dalam dada langsung terasa. Wajahnya pias, ia tak kalah kagetnya seperti Biyu.
"Om, Sena." Dewa bergumam pelan. Karena keadaan yang memang sepi dan telinga Sena masih berfungsi lelaki itu dapat mendengarnya.
"Oh, masih ingat dengan Om ternyata. Om kira kamu akan lupa."
Apa katanya, lupa? Bahkan sampai mati pun Dewa tidak akan pernah lupa dengan apa yang telah lelaki ini lakukan pada hidupnya dulu.
Karena tak kunjung dipersilahkan masuk akhirnya Sena melenggang begitu saja. Meneliti setiap inci rumah termasuk foto-foto keluarga milik Danu, adiknya.
"Di mana, Danu? Kurang ajar sekali dia kakaknya datang tidak disambut dengan hangat." Biyu memalingkan wajahnya tak sanggup melihat Dewa yang sudah berkaca-kaca.
"Papa ngapain ke sini?" tanya Biyu mengalihkan.
"Hanya sedang mencari tempat untuk pulang."
"Dewa, di mana Danu?" tanya Sena kembali.
"Ayah, Bunda dan Aa sudah pergi." Dewa menunduk. Takut pada sosok Sena dan juga sedih ketika mengingat jika ia tak lagi punya siapa-siapa selain Biyu.
Jika benar Sena datang ke sini untuk menjemput Biyu pulang, bagaimana dengan nasibnya ke depan. Dewa belum sanggup jika harus tinggal sendirian. Tepatnya, Dewa sudah terlanjur nyaman dengan kehadiran Biyu yang datang sebagai pengganti Andaru.
"Pergi ke mana?" Alis Sena saling bertaut tak paham akan maksud dari jawaban Dewa. Pergi seperti apa yang Dewa maksud.
"Bertemu Tuhan."
Refleks langkah kaki Sena yang ingin mendekati Dewa berhenti. Ada sengatan dalam dadanya yang terasa menyakitkan. Bagaimana pun Danu tetaplah adiknya dan rasa kehilangan itu tetap ada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bother
Teen FictionDewa bahkan tidak pernah meminta apapun pada Tuhan. Bahkan ketika ia di tuding sebagai pembunuh ia hanya diam. Ketika di bully dia hanya diam. Ketika dunia tak menginginkan dirinya ada dia juga diam. Tapi, untuk yang satu ini bolehkah dia egois. Bo...