Aku sedikit mempercepat langkahku menuju halte bus. Sesekali ku lirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiri ku yang kini menunjukkan pukul tiga sore.
Dari kejauhan, dapat kulihat bus yang kutunggu rupanya sudah tiba. Dengan cepat aku berlari karena takut tertinggal dan untungnya, aku berhasil naik sebelum akhirnya bus mulai melaju meninggalkan halte.
Ku sandarkan kepala ku di sandaran kursi bus. Aku menghela nafas panjang sambil menatap ke luar jendela. Hari ini sangat melelahkan.
Pernah tidak kalian melewati hari yang menurut kalian sangat berat untuk di lalui? Rasanya seperti waktu berjalan lebih lambat dari biasanya.
Aku pernah, hari ini.
Alasannya karena aku baru saja di pecat dari pekerjaan paruh waktu ku.Ngomong-ngomong, kalian belum tahu nama ku bukan? Baiklah, biar kuceritakan sedikit tentang ku pada kalian.
Namaku Kim Jiyeon. Aku asli keturunan korea tanpa darah campuran. Tinggi ku biasa saja tidak semampai seperti gadis lainnya. Aku baru saja menginjak umur dua puluh tahun tepat dua minggu yang lalu. Aku masih muda, asal kalian tahu.
Aku kuliah di salah satu universitas korea di jurusan psikolog. Aku anak tunggal dan orang tuaku sudah bercerai saat aku masih kelas satu SMA. Jadi sekarang aku hanya tinggal berdua dengan ibu ku.
Kalau kalian bertanya kenapa aku harus bekerja paruh waktu? Kenapa tidak minta saja pada ibu ku?
Jawabannya karena aku tidak ingin membebani ibu ku. selama ini ia sudah bekerja keras untuk mencukupi segala kebutuhan ku. Maka dari itu, aku selalu mencari lowongan pekerjaan paruh waktu untuk tambahan uang jajan dan biaya kuliah ku.
Tapi hampir setiap aku bekerja paruh waktu, tidak ada yang bertahan lama karena aku selalu berakhir di pecat. aku selalu keteteran membagi waktu hingga kadang datang terlambat.
Heol, Mereka pikir kuliah sambil kerja itu mudah?
Sepertinya sampai disini dulu cerita ku karena bus yang kunaiki sudah sampai di tempat tujuan ku.
Setelah turun dari bus, aku berjalan sekitar sepuluh menit dan berhenti di salah satu cafe. Tempat dimana aku sudah berjanji untuk bertemu seseorang.
Lonceng kecil yang terpasang di pintu cafe berdenting saat aku masuk. Rupanya pengunjung cafe tidak terlalu ramai hari ini.
Mataku menyapu ke segala penjuru cafe untuk mencari keberadaan seseorang yang tadi kumaksud. Tidak lama kemudian, kulihat seorang gadis dengan kedua dimple di pipinya tengah melambaikan tangannya kearahku.
"Lama banget," celetuk nya saat aku sampai.
Kulirik jam tangan ku. "Padahal cuma terlambat sepuluh menit,"
Gadis dengan nama lengkap Seo Herin itu terkekeh. "Berarti aku yang kecepetan sampai nya hehehe."
Aku berdecak pelan, untung dia temanku.
"Oh iya mau minum apa? Tenang aku yang traktir," ucap Herin sambil membolak-balik halaman menu.
"Aku terserah kamu aja,"balasku.
"Oke," Herin mengangguk dan mulai memesan minuman pada salah satu pelayan cafe.
"Ngomong-ngomong gimana? Udah dapat pekerjaan baru?" Tanya Herin yang kini beralih menatapku.
Aku menggeleng dan menghela nafas. "Belum, jaman sekarang nggak gampang buat nyari pekerjaan paruh waktu."
Sudah hampir dua tiga bulan aku tidak dapat pekerjaan dan sekarang aku hanya jadi pengangguran berstatus mahasiswi.
"Ck, lagi pula kenapa kamu selalu di pecat sih?" decak Herin.
Aku hanya mengangkat kedua bahuku. Tidak tahu harus menjawab apa.
"Gimana kalau kamu kerja di rumah sakit tempat ku kerja?" ujar Herin tiba-tiba.
Aku mengernyit. "Maksud kamu rumah sakit jiwa?"
Herin mengangguk antusias. "Iya, kebetulan disana ada lowongan pekerjaan buat perawat baru soalnya yang dulu udah berhenti satu minggu yang lalu."
Aku baru ingat kalau selama ini Herin bekerja sebagai perawat di salah satu rumah sakit jiwa. Ia memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliah dan berakhir dengan bekerja sebagai perawat.
Tapi aku salut dengannya karena tidak semua orang mau bekerja sebagai perawat di rumah sakit jiwa yang setiap hari di kelilingi oleh orang-orang dengan gangguan jiwa.
"Nggak ah, mana mungkin di terima," tukas ku. "Lagi pula aku nggak punya pengalaman buat jadi perawat."
"Kata siapa? Aku yakin kamu pasti di terima secara kamu kuliah di jurusan psikolog. Setahuku itu bakal berguna banget nantinya," ujar Herin.
Aku diam. Tapi tetap saja aku tidak punya bakat di bidang itu. Apalagi untuk merawat pasien dengan penyakit mental. Membayangkan saja aku sudah tidak kuat.
"Gajinya juga lumayan banyak, kamu yakin nggak mau?" Herin terus menjejaliku dengan bujukannya.
"Tapi aku nggak yakin kalau aku bisa kerja jadi perawat disana," aku menghela nafas. "Kalau aku juga harus kuliah siapa yang bakal gantiin ngurus pasien ku nantinya?"
Mendengar perkataan ku, Herin tiba-tiba tertawa padahal menurut ku tidak ada bagian yang lucu. "Tenang, aku yang bakal gantiin selama kamu ada jadwal kuliah," katanya.
Aku terdiam, dan menimbang-nimbang apa sebaiknya kuterima saja tawaran Herin atau tidak. Masalahnya adalah bagaimana kalau nanti aku di pecat lagi? Atau pasien disana ganas-ganas.
Tapi mengingat kondisi ku saat yang sedang butuh uang membuatku juga tidak bisa untuk menolaknya. Aku tidak bisa berlama-lama menjadi pengangguran.
Seandainya kedua orang tuaku tidak bercerai, mungkin sekarang aku tidak usah pusing memikirkan bagaimana cara mencari uang dan hanya fokus dengan kuliah ku. Tapi tidak ada gunanya menyesali sesuatu yang sudah terjadi karena itu percuma saja.
"Jiyeon, kok malah diam?" Herin mengibaskan tangannya di depan wajahku.
"A-ah? Apa? Gimana?" Gagapku karena terkejut.
"Gimana? Kalau kamu mau biar aku ysng bantu bilang sama pihak rumah sakit nantinya," ujar Herin.
Aku menghela nafas. Tidak ada pilihan lain. Lagi pula tidak ada salahnya untuk mencobanya bukan?
"Oke, aku mau," ucapku akhirnya yang di balas dengan sebuah senyuman dari Herin.
---tbc
Gimana? Lanjut nggak nih? :)
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔] You Who Come To Me
Fanfiction❝Kim Jiyeon terpaksa menerima tawaran pekerjaan sebagai perawat disalah satu rumah sakit jiwa karena faktor keuangan. Namun setelah itu, ia bertemu dengan Na Jaemin, salah satu pasien rumah sakit jiwa yang harus Jiyeon rawat karena gangguan mental...