4. stigma

1.6K 322 275
                                    

Ternyata benar apa kata Herin tadi kalau suasana rumah sakit akan menjadi ramai saat sore hari.

"Jiyeon kalau kamu masih syok istirahat dulu aja," Herin membuka suara. Gadis itu memberiku segelas air.

Aku menggeleng, "Nggak apa-apa, kamu nggak usah khawatir."

Herin menghela nafas pelan, ia terlihat khawatir, "Yaudah tapi kalau ada apa-apa langsung hubungi aku, oke?"

Aku mengangguk.

Dalam hati aku merasa sedikit tidak enak karena sudah menyebabkan kekacauan di hari pertama bekerja.

Namun apa boleh buat, ini semua di luar dugaan ku.

Herin beralih menatap Mark yang sedang tertidur di samping nya. Laki-laki itu melipat kedua tangannya di atas meja.

"Mark, bangun hey!" Herin menoel pipi Mark dengan telunjuknya. "Kamu datang kesini di suruh kerja. Bukan malah tidur!" sarkas Herin.

Mark yang sedang tertidur pulas dengan posisi duduk kini mengangkat kepalanya. "Berisik! Iya-iya bentar lagi nih."

Dengan masih terkantuk-kantuk, Mark menguap dan beranjak berdiri. Kasihan, pasti dia kecapean.

"Nyenyak banget ya tidurnya?" tanya ku saat melihat kantung mata Mark yang terlihat hitam.

Seperti orang yang tidak tidur selama berhari-hari.

Mark mengangguk. "Maklum, tadi malem nggak tidur karena habis duge--mpphh!"

Belum sempat Mark menyelesaikan ucapannya, Herin buru-buru membekap mulutnya.

"Kebiasaan! Mulutnya licin banget," cercah Herin.

"Mmpph----Herimmpphh----" Mark berusaha melepaskan bekapan tangan Herin dari mulutnya.

Dengan langkah terseok-seok, Herin menyeret Mark secara paksa meninggalkan ruangan.

"Jiyeon aku pergi dulu!" Ucap Herin setengah berteriak.

Aku geleng-geleng kepala, tidak habis pikir dengan mereka berdua.

Setelah Herin dan Mark sudah pamit karena harus mengurus pasiennya. Ngomong-ngomong, aku juga ingin tahu seperti apa pasien yang mereka rawat.

Apa pasien nya se bar-bar Jaemin atau malah sebaliknya? Kita tidak pernah tahu kalau belum melihatnya langsung.

Aku menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan.

Aku harus pergi menemui Jaemin. Sejak tadi aku khawatir dengan kondisinya. Apa dia sudah sadar dari pengaruh obat biusnya?

Aku melangkah menuju kamar Jaemin menyusuri lorong rumah sakit yang di penuhi oleh para pasien. Sebagian dari mereka ada yang di dampingi oleh perawat masing-masing. Namun ada juga sebagian pasien yang hanya duduk sendirian.

Ada yang berbicara sendiri, tertawa sendiri, bahkan ada yang saling menggosip.

Aku benar-benar di buat kaget hari ini.

Saat aku sampai di depan kamar Jaemin, jantungku berdegup kencang. Ingatan tentang kejadian tadi tiba-tiba terputar kembali. Bagaimanapun juga aku masih sedikit shock.

Dengan pelan, ku buka pintu kamar Jaemin. Aku melangkah dengan pelan dan mendapati Jaemin yang masih terbaring tidak sadarkan diri.

Aku tidak tahu dia masih pingsan atau tidak.

Kutatap Jaemin yang masih terlelap. Wajahnya yang damai namun terlihat gelisah.

Tanpa ku duga, Jaemin mulai membuka matanya perlahan dan menatapku yang langsung membuatku terkejut.

"Kamu siapa?" Tanya Jaemin saat sudah sadar sepenuhnya.

"A-aku perawat kamu---" jawabku, "aku kim Jiyeon, kamu ingat aku, kan?" tanyaku.

Jaemin diam dan terlihat berpikir sebelum akhirnya menggeleng pelan, "Aku haus."

"Kamu haus? Ah--tunggu sebentar," ku ambil gelas kosong yang berada di atas meja samping bangsal dan mengisinya di dispenser. Ya, kamar ini terdapat dispenser.

"Ini di minum dulu," ujar ku dan untungnya Jaemin menurut.

"Terimakasih, nuna," ucap Jaemin sambil menyerahkan gelas kosong pada ku.

Alih-alih menjawab nya, aku malah kaget karena Jaemin memanggilku dengan sebutan nuna.

Tapi yang membuatku tidak kalah kaget adalah karena Jaemin benar-benar berbeda, tidak seperti tadi.
seseorang dengan gangguan bipolar disorder memang tidak mudah di tebak.

"Kamu butuh sesuatu? Atau kamu mau keluar?" tanyaku dengan hati-hati.

Jaemin menggeleng, "aku mau disini orang-orang di luar jahat."

"Dari mana kamu tahu kalau semua orang itu jahat?" tanyaku.

Jaemin tidak menjawab. Ia diam cukup lama.

"Kamu perawat baru ku?" tanya Jaemin alih-alih menjawab pertanyaan ku barusan.

"Iya mulai sekarang aku yang jadi perawat kamu disini, kamu mau, kan?"

"Tapi aku orang gila," ucap Jaemin tiba-tiba.

"Maka dari itu, aku mau kamu sembuh," ucapku jujur.

"Kalau aku nggak bisa sembuh?" Jaemin tersebut pedih.

"Kamu pasti sembuh," ujar ku.

Jaemin menggeleng kuat-kuat. "Aku nggak mau sembuh, aku mau tetap disini!"

"Kamu tenang dulu, tarik nafas dalam-dalam," tangan ku bergerak menyentuh pundak nya.

Jaemin menurut, ia menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan.

Raut wajah Jaemin yang menunjukkan kalau ia sedang berada di titik terendah, kesedihan, ketakutan, dan juga beban pikiran yang selalu mengganggu nya. Aku dapat membaca nya dengan jelas.

Jaemin mengangkat wajahnya menjadi menatap ku. "Semua perawat ku pergi dan mereka bilang kalau aku ini monster----"

"Jaemin, kamu bukan monster, kamu adalah diri kamu sendiri.. Kamu Na Jaemin," ucap ku.

"Na Jaemin? Aku?" Ujar Jaemin terdengar lirih.

"Iya, kamu Na jaemin dan kamu bukan monster," ucapku.

Kutatap wajahnya yang sendu. Sorot matanya yang terlihat menyimpan banyak luka. Meskipun aku tidak tahu seberat apa beban di dalam pikiran nya, namun aku bisa merasakan nya.

"Semua rasa takut dan cemas yang sekarang kamu rasain, kamu bisa berbagi semua keluh kesah itu sama aku," ku tatap Jaemin nanar.

Meskipun terdengar agak lancang dan mungkin saja Jaemin tidak akan mau, aku hanya ingin menjadi pendengar yang baik untuk nya karena aku tahu, seseorang dengan gangguan mental seperti Jaemin butuh tempat bercerita yang baik.

Dia butuh seseorang yang bisa ia percaya sehingga ia tidak merasa sendirian dan juga kesepian. Aku tahu betul rasanya.

"Tolong---" Jaemin berkata lirih. "Tolong selamatkan aku," sambungnya.

Seperti terdorong ke dalam lubang hitam, aku merasa sakit saat mendengarnya.

"Aku nggak tahu pasti apa yang udah terjadi di masa lalu kamu sampai kamu harus berakhir di tempat ini. Tapi yang pasti, mulai sekarang aku akan jadi perawat yang tulus buar rawat kamu," ujarku.

Aku menatap matanya lekat-lekat. "Aku janji... Na jaemin, kamu pasti bisa hidup bahagia nantinya."

Dan hari itu, dimana aku bertemu dengan Na jaemin, seseorang dengan gangguan mental yang ia miliki, aku berjanji untuk merawatnya dengan tulus.

Apa aku berada di keputusan yang benar atau malah sebaliknya?

---tbc

Ayo tinggalkan jejak yorobun:)

 [✔] You Who Come To MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang