28. So long

943 207 127
                                    

Author note:

Sebelumnya, aku nggak mau maksa para pembaca ku buat ngasih vote sama komen di cerita ku ini..

Kalau nggak mau vote yaudah, kalau mau vote alhamdulillah :)

Tapi sebagai penulis kecil, aku juga pengen di apresiasi sama kalian hehehe..

Satu vote dan komen dari kalian aja udah bikin aku semangat nulis. Percaya deh, bahagianya penulis sesederhana dan sesimple itu:)

Terimakasih ya karena selalu luangin waktu buat baca cerita ini sampai sekarang. Aku sayang kalian! ❤

***





Berdua dengan Haechan di depan pelataran gereja yang sepi, aku menatap kosong ke arah jalan setapak yang tampak becek karena hujan.

Hari mulai gelap, tapi hujan masih belum berhenti. Aku mendongak, menatap langit yang masih belum berhenti menurunkan hujan.

Setelah hampir dua puluh menit aku menangis sesenggukan di pelukan Haechan, mata ku tampak bengkak sampai bagian depan baju Haechan sedikit basah karena air mata ku. Aku jadi merasa bersalah pada nya.

"Jangan nangis lagi," ujar Haechan. "Mata kamu bisa bengkak."

Tangannya terulur merapikan rambut ku yang sedikit berantakan, lalu turun untuk menghapus air mata ku.

Pasti sekarang wajah ku terlihat sangat menyedihkan. Atau bahkan Haechan sudah muak melihat ku yang lemah seperti ini.

"Maaf..." ucapku merasa bersalah.

Hanya itu kata yang bisa ku ucapkan. Aku seperti kehilangan suara ku.

"Jangan minta maaf, kamu nggak salah apa-apa," Haechan menatapku sendu.

"Dari mana kamu tahu aku ada disini?" tanya ku.

"Dari Herin, sebelumnya aku nggak tahu kalau ibu mu----ah, maaf," Haechan buru-buru menghentikan ucapan nya.

"Aku cuma khawatir," suara Haechan memelan, nyaris tak terdengar.

Aku terdiam, menatap lurus ke arah makam yang sepi. Rasanya seperti mimpi, ini ironis dan sulit untuk ku terima. Terlalu tiba-tiba dan menyakitkan. Siapapun pasti tahu bagaimana rasanya menjadi aku.

Sangat sakit.


Aku ngerti ini semua memang nggak mudah buat kamu. Tapi semuanya udah terjadi, keadaan dan juga takdir maksa kamu buat rela," ucap Haechan, "pelan-pelan, setiap orang butuh waktu untuk terbiasa. Kamu pun juga begitu."

Ini beda, bukan perasaan suka, tapi aku terhenyak mendengar ucapan Haechan.Dia benar, aku harus rela.

Tapi merelakan tidak semudah membalikkan telapak tangan, nyatanya sangat sulit dan menyakitkan.

"Aku nggak punya siapa-siapa lagi sekarang," ucapku, lirih.

"Nope, kamu nggak pernah sendirian dan jangan pernah bilang begitu," jawab Haechan.

Dari jarak sedekat ini, dapat ku lihat raut wajah Haechan yang tampak serius namun tenang. Rambutnya sedikit basah karena sempat terkena hujan.

"Aku tahu rasanya," cicit Haechan, "aku juga kehilangan kedua orang tua ku sejak kecil."

 [✔] You Who Come To MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang