17. a letter from father

1.2K 228 287
                                    

Sudah lama semenjak aku bekerja sebagai perawat Na Jaemin di rumah sakit jiwa, rasanya jarang sekali aku bisa sarapan berdua dengan ibu ku seperti sekarang.

Biasanya aku harus menginap di rumah sakit. Tapi karena belakangan ini kondisi Jaemin semakin baik, ku putuskan untuk pulang ke rumah.

Berbicara tentang Park Hansu, tidak ada kabar lagi dari nya setelah kemarin aku mengirimkan pesan untuk nya. Dia bahkan tidak membalasnya.

Mungkin laki-laki itu tidak benar-benar serius dengan ucapannya? Entahlah, yang terpenting dia tidak berbuat sesuatu pada Jaemin.

Ya, ku harap begitu.

"Gimana pekerjaan kamu sekarang? Apa sangat sulit?" ibu ku membuka suara di sela-sela kegiatan makan kami.

Aku mengangguk pelan, "sejauh ini baik-baik saja, kok. Ibu nggak usah khawatir."

"Syukurlah," ibu tersenyum hangat,"Sebenarnya, ada sesuatu yang mau ibu beri tahu sama kamu," ucap Ibu ku.

Aku mengernyit, "oh ya? Apa?"

"Ayah kamu ngirim surat buat kamu. Sebenarnya sudah lama dari seminggu yang lalu. Tapi ibu baru bisa kasih tahu kamu sekarang karena ibu tahu, pasti kamu nolak surat dari ayah kamu," jelas ibu ku.

Aku berdeham pelan dan berdiri dari duduk ku. Membawa piring kotor ke wastafel dan mencucinya tanpa menjawab ucapan ibu ku.

Rasanya sangat sakit saat membahas tentang ayah.

"Jiyeon," panggil ibu ku. "Kamu-----"

"Buang saja surat dari ayah," aku memotong ucapan ibu ku dengan cepat.

Ibu menghampiri ku, "ibu tahu kamu benci sama ayah kamu. Tapi meskipun begitu, dia tetap ayah kamu."

'Dia tetap ayah kamu'

Aku bergeming tanpa suara.

 

"Sejak kapan aku punya ayah yang sama sekali nggak pernah anggap aku sebagai anaknya? Bahkan dia nggak pantas di sebut ayah," sahut ku.

Berbicara tentang ayah seperti ini, rasanya seperti membuka kembali memori menyakitkan yang sudah susah payah ku kubur selama ini.

Tanpa sepatah kata, ku ambil tas ku di atas meja dan melangkah pergi.


"Ayah kamu sudah meninggal tiga hari yang lalu."


Ucapan ibu ku membuat langkah ku tiba-tiba berhenti. Aku membeku di tempat ku berdiri.


"Ibu tahu kalau selama ini ayah kamu nggak pernah bisa jadi ayah yang baik buat kamu. Tapi ibu nggak pernah mengajari kamu buat benci sama ayah kamu sendiri." Ibu menghampiri ku yang sudah berdiri di ambang pintu.





Aku terdiam di tempat ku.

Lalu, ibu menyodorkan sebuh amplop padaku, "ini surat dari ayah kamu. Dia mau minta maaf sama kamu," katanya.

Aku masih diam tidak menjawab. Lebih tepatnya, enggan untuk membuka suara.

"Untuk kali ini saja, lupain semua kelakuan buruk ayah kamu dulu. Setidaknya terima surat ini sebagai permintaan terakhir darinya." ibu mengelus bagian belakang kepala ku dengan pelan.

Seperti ada sesuatu yang keras menghantam tubuh ku, aku benci perasaan ini. Perasaan dimana aku masih di hantui oleh kejadian di masa lalu ku.

Dengan ragu, ku ambil surat yang ibu berikan.

"Kamu nggak harus baca isi suratnya sekarang. Tapi ibu harap setelah kamu baca surat dari ayah kamu, kamu bisa datang ke makam nya," ibu mengelus lembut rambut ku.

 [✔] You Who Come To MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang