028 - wound determinant

39 8 0
                                    

Kata orang, mencintai bukan harus memiliki, tetapi banyak orang beranggapan bahwa mencintai harus dimiliki.
Tak sedikit orang, yang tak bisa membedakan cinta dengan obsesi.
Tapi kini, seorang teruna berparas tampan sedang berada di fase, mencintai tetapi tak bisa memiliki.

Lelaki itu bernama lengkap Nanda Abimanyu, lelaki yang kini mencoba melawan rasa sakitnya. Lelaki yang sedang berusaha tetap bertahan, lelaki yang sangat mencintai seorang gadis, namun tak pernah menuntut si gadis untuk membalas perasaannya.

Lelaki lemah ini, hanya ingin menjaga gadis pujaannya. Hanya untuk sementara, jika untuk selamanya, ia rasa sangat tak berdaya mengingat kondisinya kini.

Tepat saat ini, kondisi lelaki itu kembali melemah sehingga membuatnya tak sadar selama dua hari. Susah payah ia terbangun, tetapi sangat sukar rasanya.
Ia hanya ingin terbangun untuk melihat Shinta seorang. Hanya Shinta.
Hanya gadis itu yang menjadikan sebuah alasan Nanda untuk segera tersadar.

Masih banyak yang belum ia ungkapkan pada Shinta, ia masih ingin melihat tawa indah Shinta, ia masih ingat betul tentang sebuah senyuman yang selalu ia ukir. Selalu terpatri dalam ingatannya, karena terlalu sukar untuk mencoba melupakannya.
Senyum cantiknya terlihat jelas, sehingga membuat Nanda perlahan tersadar dari tidurnya.

Perlahan ia membuka kedua matanya, wajah seseorang yang sangat ia hindari jika dengan keadaan seperti ini.
Sementara seorang dokter sedang memeriksa keadaan Nanda yang baru saja tersadar. Tapi itu tak membuat tatapan lekat milik lelaki itu terputus dari tatapan sang gadis dengan seragam sekolahnya itu.

"Keadaan pasien masih melemah, mohon jangan terlalu banyak melakukan kegiatan apapun. Kalau begitu saya permisi.." pamit seorang dokter itu, lalu berjalan mengeluari ruang rawat pasiennya.

Nanda masih belum mengalihkan perhatiannya dari wajah seorang gadis dengan kedua mata sembabnya. Nanda terkekeh kecil, jarinya bergerak untuk menyeka air mata Shinta. "Jangan nangis, gue jadi gemes."

Dua orang lainnya datang menghampiri Nanda. Lelaki itu sudah tak terkejut dengan Aryan dan Syera, karena kedua adik tingkatnya itu yang selalu menjaganya di rumah sakit.

"Udah gue bilangin jangan sok-sok ke sekolah dulu, udah tua batu banget." kesal Syera membuat sudut bibir Nanda terangkat, sangat samar.

"Gue cuma pingin jemput Shinta.." jawab Nanda membuat Aryan berdecih kecil.

Shinta mengusap hidungnya yang telah mengeluarkan sedikit ingus akibat tangisannya tadi. "Ada yang bisa jelasin?. Apa cuma gue yang gak tau apa-apa?," tanya gadis itu.

Aryan menggigit bibir bawahnya, sedikit ragu jika ia mengungkapkan sebuah fakta mengenai kakak kelasnya itu. Tetapi ia kembali teringat pesan Nanda yang menyuruhnya untuk tetap merahasiakan penyakitnya, sebelum Nanda sendiri yang memberi aba-aba.

"Nanda suka ugal-ugalan tiap malem, makanya masuk angin mulu. Padahal udah gue kerokin, tapi ternyata gak mempan juga.." ungkap Aryan berbohong, setelah itu Shinta mengangguk paham tanpa rasa curiga. Gadis itu menatap sinis lelaki yang kini terbaring lemah di atas brankar rumah sakit. "Kakak sih, kalau di bilangin tuh nurut." omel Shinta, sementara Nanda hanya tertawa ringan melihat wajah kesal sang pujaan hati.

Nanda menghela napasnya kasar setelah mengingat-ingat tentang kejadian yang berawal memang berkat suatu kesalahannya, memilih kabur untuk menjemput Shinta dengan kondisi yang masih lemah. Sejam kemudian, ia kembali datang ke rumah sakit dengan kondisi yang semakin memburuk.

Sementara di sisi lain, Shinta tengah bersyukur, karena hampir dua puluh empat jam lebih gadis itu terus menunggu perkembangan dari Nanda. Bahkan Shinta sudah beranggapan bahwa Nanda memiliki penyakit berbahaya. Tetapi melihat kondisinya yang tetap stay santuy, membuat Shinta bernapas lega. Tak perlu ada yang harus ia khawatirkan selain hatinya.

Shinta melirik sebuah jam yang terpajang di tembok ruangan, telah menunjukkan pukul lima sore. Gadis itu menghela napasnya pelan, karena ia harus mengunjungi sebuah butik untuk mempersiapkan pakaian pernikahan Mamanya beserta Ayah Nathan.

"Aku pulang ya, nanti malam aku datang lagi." ucap Shinta yang di angguki Nanda sebagai akhir dari percakapan mereka.

Shinta melangkah pergi meninggalkan ruang rawat kakak kelasnya itu. Sementara di sisi lain, ketiga manusia yang masih berada di dalam ruangan itu bisa bernapas lega.

***

Gadis itu kini hanya mampu terdiam seraya melihat-lihat beberapa wujud gaun yang benar-benar sangat cantik.
Sembari menunggu giliran untuk mencoba gaun, Shinta memilih untuk memakan roti yang ia beli di kantin sepulang sekolah tadi.

Tak lama kemudian, Shinta dengan reflek mendongakkan kepalanya ketika menyadari bahwa si pengguna ruang fiting adalah Nathan.
Tampan dan sangat berkharisma, sangat sepadan di tubuhnya.

"Gimana, bagus gak?." tanya Nathan mencoba untuk bersikap layaknya seorang teman yang sebentar lagi akan menjalin persaudaraan.

Shinta mengangguk yakin seraya tersenyum. "Bagus banget, pas." jawab gadis. Begitupun juga dengan Nathan yang memuji penampilan calon saudari tirinya itu ketika Shinta telah mencoba pakaiannya sendiri.

Gaun sederhana yang cantik dengan balutan kain sutra yang menambah kesan mewah dan menawan. Lelaki itu cukup tersenyum simpul, ketika sadar bahwa gadis di depannya itu tak akan pernah bersanding sebagai mempelai bersamanya di suatu hari nanti.

Mira melangkah mendekat kearah sang putri, menatap lekat darah dagingnya ketika putrinya lebih terlihat cocok sebagai mempelai wanita. Sementara Henry tersenyum seraya mengusap wajah putri dari calon istrinya itu. "Kamu pakai pakaian apapun memang selalu cantik."

Shinta terkekeh kecil dengan pujian yang di berikan padanya. Lantas, gadis itu segera mengingatkan Mira agar menyiapkan satu set pakaian untuk Rama.

"Nanti pulang bareng gue, ada yang mau gue omongin. Please, don't deny it for now. Gue tunggu di restoran depan," bisik Nathan kemudian lelaki itu melangkah keluar dari butik. Sementara Shinta hanya bisa menatap punggung lelaki itu yang semakin menjauh dari netranya, sembari menarik napasnya perlahan untuk sejenak berpikir lalu menghembuskan napasnya dengan tekad yang sudah mantap.

Merasa bahwa bertemu Nathan hanya berdua, adalah suatu momen yang Shinta hindari. Gadis segera menyusul lelaki itu tak lupa ia kembali menggunakan pakaian semulanya.
Gadis itu berlari kecil memasuki restoran di seberang sana, kemudian netranya menangkap sesosok lelaki berhoodie abu yang tengah menyeruput kopinya di meja paling pojok, lantas Shinta segera menghampirinya.

Kini Nathan dan Shinta tengah berhadap-hadapan, terlihat dari sorot mata lelaki itu yang masih mengharapkan sebuah keajaiban dari Tuhan. Masih mengharapkan sebuah rencana indah yang sudah Tuhan susun dalam hubungannya. Nathan berdehem ringan, mencoba membuka arah pembicaraan seraya menetralkan detak jantungnya yang semakin berpacu cepat tak karuan.

"Maaf, selama ini kita saling suka tapi gue malah ngecewain lo, gue gak memberikan kepastian buat lo. Maaf, akhir dari kisah kita hanya sebatas ini..." ucap Nathan.

Shinta mengangguk berusaha tetap tenang walau keringat dingin hampir membasahi keningnya. "Ini bukan salah gue atau lo, tapi ini takdir. Kalau kita emang pada awalnya saling cinta tapi takdir memutuskan untuk tak bersama, kita bisa apa?." jedanya. "Lagi pula, kita masih bisa sahabatan..bahkan saudaraan," sambung gadis itu dengan suara yang terdengar bergemetar, masih berusaha tegar walau rasanya sakit, sungguh sakitnya menusuk seperti jarum pentul.

Nathan mengangguk paham. Lagi pula, apa yang bisa ia lakukan kali ini?. Rencananya hancur sehancur-hancurnya, hubungan percintaannya kandas. Yang mana harus ia perbaiki?, bahkan serpihannya tak tersisa.

"Gue punya alasan buat yang lalu.." ucap lelaki itu pelan.

"Yang lalu biarlah berlalu, Than. Biarlah itu menjadi sebuah kenangan, sebuah pelajaran, agar nantinya kita bisa memperbaiki di hubungan yang berikutnya," jawab Shinta sebelum dirinya memutuskan untuk beranjak dari duduknya, dan pergi meninggalkan Nathan.

Lelaki itu tertawa miris, apa dengan kepergian Shinta menjadi pertanda bahwa hubungannya memang benar-benar selesai?.

"Gue punya alasan buat menjalin hubungan dengan Karlina. Tapi alasan itu mungkin udah gak ada gunanya karena pada akhirnya kita memang gak melangkah bersama lagi. Tapi bagaimana pun juga, gue mau meluruskan ini semua. Gue harap lo segera tau secepatnya..." batin Nathan.

Dear My Best [✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang