Gelap dan lembab. Hawa dingin jelas terasa di malam sepi ditemani suara katak. Lorong panjang yang lama terbengkalai terasa semakin mencekam. Cocok sekali untuk dijadikan tempat uji nyali.
Suara langkah pasti terdengar menggema. Muncullah laki-laki berseragam SMA yang rapi lengkap dengan jas almamater berwarna merah marun. Dia memasuki lorong semakin dalam. Di dalam sana sudah ada beberapa siswa yang sedang mabuk-mabukan terlihat botol-botol minuman berantakan di sekitaran mereka. Asap rokok bersatu padu dengan asap api dari tong sampah berbahan besi yang sengaja mereka nyalakan.
Serentak semua siswa berdiri saat anak laki-laki berseragam rapi itu menyerang mereka tanpa aba-aba. Perkelahian pun terjad tanpa jeda. Nyari mati, satu lawan dua puluh orang bukannlah langkah seimbang.
●DEAR, RAKANA●Suasana kantin terlihat sepi hanya beberapa penjual yang beraktifitas menyiapkan dagangannya. Hanya satu siswa dengan santainya melahap sepiring naskol alias nasi tongkol yang di patok harga 5000 perpiring dengan bonus kerupuk dan kuah sayur. Wajah tampannya yang dihiasi lebam dan bibir sobek tidak menyurutkan rasa laparnya. Salahkan saja ayahnya yang tak memberikannya makan dari semalam.
"Gak sarapan lagi, Ka?" Tegur Mang Sarip sang penjual bubur ayam yang kebetulan berada di samping kedainya Bu Sari -penjual nasi tongkol.
"Hmm." Siswa bernama Rakana Zidam itu kembali mengunyah makanan yang sedikit lagi habis.
"Bu Sari jangan keseringan ngasih makan anak orang. Raka mah sering gak bayar makanannya," ucap Mang Sarip yang sengaja dikeraskan. Tidak hanya dikenal badungnya saja, tapi Rakana dikenal sebagai tukang utang.
Rakana tersendat makanannya sendiri. Butiran nasi tak sengaja masuk ke lubang hidungnya dan memperparah perih akibat tersendat. Mang Sarip hanya tertawa melihat Rakana tersendak sama sekali tak merasa iba.
"Astagfirullah, Mang. Kasihan Rakanya atuh." Bu Sari penjual nasi tongkol langsung membantu memberikan air putih untuk Rakana meredakan batuknya.
"Ah ... , leganya." Rakana tersenyum dan mengucapkan terima kasih kepada Bu Sari.
"Mang Sarip julid amat sama saya? Ada masalah? Dendam sama saya, Pak?" Rakana menatap tajam Mang Sarip.
"Iya, kamukan usil banget jadi anak." Tak acuh Mang Sarip. Rakana tak peduli juga, saat ini yang terpenting adalah perutnya.
"Rakana!" Teriakan khas Pak Usman terdengar di semua penjuru kantin. Untuk kedua kalinya, Rakana tersendat makanannya sendiri.
"Ikut Bapak!" Pak Usman langsung menarik kerah jaket denim Rakana dari belakang. Badan Pak Usman yang tinggi besar menang besar dibandingkan Rakana yang tinggi kurus.
Rakana masih terbatuk-batuk akibat tersendatnya namun, Pak Usman tak peduli. Dia terlanjur kesal dengan tingkah Rakana, siswanya yang luar biasa nakal. Rakana membungkuk saat Pak Usman melepaskan cengkramannya.
"Rakana, Bapak sudah bilangkan jangan berulah lagi. Sekarang masuk kelas!" Pak Usman mendorong Rakana ke dalam kelas yang sejak sepuluh menit yang lalu sudah mulai pembelajaran. Semua siswa kelas Rakana menahan tawa karena teman nakalnya itu kembali dimarahi.
"Santuy dong, Pak. Sakit nih." Rakana mengusap punggungnya yang menjadi korban. Pak Usman menatap jengah Rakana yang mulai mencari perhatian.
Sepeninggal Pak Usman, Rakana berjalan santai ke arah bangkunya. Dengan senyuman manis saat menatap teman perempuan yang menatapnya juga, sedikit mengedipkan mata dan memajukan bibirnya seolah-olah memberikan kecupan jarak jauh.
Dugh..
Rakana mengusap belakang kepalanya yang menjadi korban ke ganasan Bu Mayang, bu guru cantik yang baru saja menikah beberapa hari yang lalu.
"Sudah cukup tengilnya. Mana tugas yang Ibu berikan minggu lalu?" Rakana merubah ekspresinya dengan serius.
"Tugas? Ah, tenang Bu. Rakana Zidam siswa teladan sudah mengerjakan tugas kok." Rakana berjalan cepat ke arah bangkunya. Mengambil buku yang sudah tak berbentuk dari dalam tasnya.
"Ini, Bu." Rakana menyerahkan bukunya dengan bangga.
"Rakana, tugas mata pelajaran agama. Ibu menugaskan untuk mencatat sejarah runtuhnya daulah ustmaniyah? Bukan mencatat rukun Islam." Sontak semuanya tertawa mendengar ucapan Bu Mayang.
"Bu, daulah ustamaniyah tanpa rukun islam gak akan terwujud," jawab Rakana dengan sikap yang tak sopan.
"Ya Allah, ayo ikut Ibu. Yang lain tolong kerjakan tugas halaman 23 sampai 27. Di kumpulkan di meja Ibu," ujar Bu Mayang yang langsung menggiring Rakana keluar kelas.
Wajah Rakana yang babak belur akibat perkelahian semalam masih terasa kebas. Terlebih punggung dan perutnya yang membiru yang sama sekali tidak di obatinya. Rakana terdiam saat bu Mayang menganjaknya ke UKS.
(SEBAGIAN TELAH DIHAPUS)
"Ya Allah, Yazid. Anakmu persis sepertimu waktu muda." Pak Usman berdiri dan berniat pergi ke kantin untuk membayar utang Rakana. Sekecil apapun utang piutang harus segera diselesaikan. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW.
“Semua dosa orang yang mati syahid akan diampuni kecuali utang.”
●DEAR, RAKANA●

KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Rakana ✔ (Cetak)
SpiritualPergaulan bebas adalah pola hidup Rakana. Hidup tanpa beban dan bebas sebebasnya. Selalu membuat onar sampai di keluarkan dari sekolah. Tingkah Rakana tidak baik membuat Ayahnya kesal dan berurusan dengan pihak sekolah. Berakhir pengusiran Rakana da...