22

4.8K 588 131
                                    

Ustaz Taqy beristighfar terus menerus. Rakana sudah diperiksa oleh dokter yang dipanggil Pak Kiai. Kini dia sedang istirahat karena ada luka dalam di lambungnya. Dokter  menyarankan jika harus tes darah dan laboratorium untuk memastikan ada tidaknya luka serius. Belum sehari menginap anak itu sudah hampir mati.

Yazid tengah berdiri di ruang tamu. Dia di hukum oleh Pak Kiai dan diberikan ceramah gratis tiada batasan waktu. Telinganya sudah panas mendengar ocehan Pak Kiai . Menyela tapi takut dosa. Dia tidak salah, dia hanya ingin melindungi adiknya dari Rakana. Preman kota yang sialnya memiliki magnet kuat bagi para perempuan.

Umi menemani Rakana yang kini tertidur setelah meminum obat. Dokter sengaja memberikan obat tidur supaya Rakana bisa beristirahat. Badannya sedikit panas, wajar saja karena panas terpengaruh dari luka lebam-lebam yang mulai terasa nyeri dan luka dalam mengalami infeksi.

Dengan telaten Umi mengompres kening Rakana dengan handuk kecil. Wajah anak itu masih lembam, Umi tidak menyangka jika Yazid putranya bisa melakukan kekerasan seperti itu. Dan fakta yang baru saja diungkapkan putra sulungnya jika Yazid memang sering terlibat perkelahian dengan Rakana di pondok.

Dari kamar tamu ini, terlihat jelas langit sore yang sudah mulai tampak. Dalam hati, Umi mendoakan Rakana. Biar bagaimanapun putranya yang salah. Sejak kecil Yazid memang sering beradu mulut. Namun, tidak pernah beradu bogem seperti itu. Yazid begitu menyayangi Aisya. Karena Aisya adik satu-satunya. Perempuan yang harus dijaga selain dirinya. Sikap overprotektif Ustaz Taqy dan Yazid memang begitu kental, terlebih di zaman sekarang banyak kriminalitas dan pelecehan terhadap perempuan.

"Mi, dia sudah bangun?" tanya Pak Kiai. Umi hanya tersenyum dan mengangguk.

"Bi, lukanya gak seriuskan? Bagaimana kita mempertanggung jawabkan sama orang tuanya?" tanya Umi kembali dengan kata berkaca-kaca. Dia seorang Ibu, pasti dia merasakan apa yang dirasakan Ibu Rakana jika anaknya terluka.

"Abi yang tanggung jawab. Nanti Abi menghubungi keluarganya," kata Pak Kiai dengan mengusap lembut kepala istrinya. Umi memeluk suaminya dengan erat. Ini pertama kalinya melihat Yazid seperti itu. Umi hanya takut, jika nanti Yazid tidak bisa mengontrol emosinya dengan baik.

"Ya sudah, biarkan dia istirahat. Ayo, Mi. Abi belum makan siang, jika Umi lupa." Umi langsung melebarkan matanya. Sungguh berdosa sekali, dia telah kalau menyiapkan kebutuhan suaminya. Hanya karena Yazid.

"Maafkan Umi, Bi. Umi lupa," sesal Umi. Pak Kiai hanya tersenyum dan mengecil kening istrinya penuh cinta. Untung saja Rakana tertidur. Jika tidak dia akan menggoda habis-habisan Pak Kiai.

🍀🍀🍀

Adzan magrib berkumandang. Bersamaan Rakana terbangun dari tidurnya. Sejenak dia terdiam menatap langit-langit kamar. Kilas kejadian tadi siang membuatnya bergidik ngeri sekaligus kesal. Yang namanya Yazid sama saja. Tukang pukul.

"Jangan melamun pas magrib. Ntar dibawa kolong wewe baru tahu rasa." Rakana mendengus kesal. Ustaznya ini memang tak tahu diri. Tidak tahukan jika santrinya sedang sakit? Tidak perhatian sekali.

"Terserah lo deh, gue lagi baik hati," ucapnya dengan pelan. Rakana berusaha mengubah posisinya. Dia ingin ke kamar mandi menuntaskan hasratnya. Sepertinya tidur tidak memberikan efek yang bagus bagi pencernaannya.

"Ngapain diam aja? bantuin kek? dasar Ustaz gak peka sama santrinya. Gimana mau punya bini? Lo sebagai laki-laki tingkat kepekaannya aja minus." Rakana terus saja berbicara tanpa tahu jika di sana juga ada Umi dan Pak Kiai yang berada di balik pintu.

"Bocah tak tahu diri. Sakit aja ngelunjak." Ustaz Taqy membantu Rakana berdiri. Tangan kananya Rakana dikalungkan di pundaknya. Ustaz Taqy mengira akan berat. Namun, dugaannya salah. Bobot badan Rakana mungkin setengahnya dari Yazid.

Dear, Rakana ✔ (Cetak)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang