Jalanan panjang ditanami pohon pinus berjajar rapi. Suasana pedesaan yang sangat menyejukkan kedua mata Rakana. Pasalnya baru kali ini dia mendatangi perdesaan. Hidup di kota yang penuh hingar bingar kenikmatan dunia membuatnya tertegun melihat kenyamanan suasana desa.
"Kita makan dulu ya," ajak Salman dengan penuh perhatian. Rakana tampak mengkhawatirkan. Wajah babak belur dan sedikit pucat. Belum lagi kedua matanya terlihat sayu dengan bibir mengering. Salman sangat iba jadinya.
Rakana tak menyahut, dia masih memikirkan perkataan ayahnya yang membuat hatinya sedih. Dengan tanpa perasaan dia diusir dari rumah yang selama ini menjadi tempatnya berteduh.
"Hei, jangan bengong. Ayo turun." Salman lebih dulu turun dari mobil dan berjalan memutar ke samping. Membukakan pintu mobil untuk Rakana. Anak itu masih diam dengan tatapan kosong. Jaket denim belel yang dikenakannya dihempaskan kebagian jok belakang mobil. Rasanya panas sekali seperti hatinya.
"Ayo, laperkan? Kamu boleh makan sepuasnya deh. Om yang traktir," goda Salman supaya anak itu mau makan.
Dengan langkah malas, Rakana mengikuti Salman yang sudah memasuki area restoran. Terpampang nama Bumi Aki di gapura restoran yang bergaya khas sunda. Mereka duduk lesehan di saung yang paling dekat dengan danau buatan.
Seorang pramusaji berpakaian adat sunda pun mendatangi mereka dengan membawa buku kecil dan pulpen. Salman langsung memilih makanan yang akan mereka makan siang ini.
"Kamu mau pesan apa, Ka?" tanya Salman pada Rakana yang sibuk main cacing di gawainya.
"Rakana?" tegur Salman kembali.
Anak laki-laki itu melirik sebentar sambil berujar, "terserah."
"Yaudah, Kang, saya pesan dua nasi tutug oncom, karedok, ayam goreng, lalapan sama teh hangat tapi gak manis." Pramusaji itu mencatat dengan serius dan tersenyum sekilas sebelum pergi.
Salman memperhatikan sekeliling yang ternyata benar-benar masih asri. Saung-saung makan yang terbuat dari bambu beratap injuk menjadi ciri khas sunda.
"Ka, ucapan Ayah kamu jangan dimasukkan dalam hati, ya. Ayah kamu itu hanya terbawa emosi." Rakana masih terfokus dengan cacing alaska yang sibuk mencari poin. Menoleh pada Salman pun tidak.
"Ka, Om hanya berpesan nanti di pesantren jangan buat ulah lagi. Om gak mau hal sama terjadi lagi. Ayah kamu itu ingin kamu jadi anak saleh."
"Ayah ingin kamu memperbaiki diri, belajar tanggung jawab, karena nanti kamu yang akan menggantikan Ayah sebagai pimpinan perusahaan," ujar Salman dengan lembut.
"Terserah, aku masih marah sama Ayah jadi gak usah sebut-sebut kata Ayah," ketus Rakana. Dia terlihat kesal ketika cacing yang dimainkannya kalah.
Pramusaji datang dengan teman-temannya yang membawakan makanan yang dipesan Salman. Rakana diam dengan melihat setiap pergerakan pramusaji yang meletakkan satu persatu piring ke atas meja.
"Silahkan," kata pramusaji dan kembali ke tempat kerjanya.
Salman mencuci tangan di air kobokan yang sudah disediakan. Begitupun, Rakana. Dia mengikuti apa yang dilakukan Omnya ini. Rakana makan dengan lahap tanpa membaca basmallah. Masa bodoh dengan doa. Otaknya hanya berpikir jika dia harus kenyang karena traktiran sayang kalau dibiarkan.
Nasi tutug oncom terlihat menggoda terlebih aroma kencur sangat dominan. Belum lagi ayam goreng bumbu khasnya menggugah selera. Salman tersenyum melihat anak sahabatnya ini makan begitu lahap.
"Nah, gitu. Makan yang banyak. Badan kok kurus kering, malu-maluin aja." Salman menambahkan ayam goreng ke piring Rakana.
"Kenapa ngelihatin? Ayo makan." Salman kembali menyuapkan nasi tutugnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Rakana ✔ (Cetak)
SpiritualPergaulan bebas adalah pola hidup Rakana. Hidup tanpa beban dan bebas sebebasnya. Selalu membuat onar sampai di keluarkan dari sekolah. Tingkah Rakana tidak baik membuat Ayahnya kesal dan berurusan dengan pihak sekolah. Berakhir pengusiran Rakana da...