5

6.6K 578 52
                                    

Ayah Rakana sudah tidak bisa diam lagi. Dia pikir harus secepatnya bertindak sebelum putra kesayangannya semakin bebas dan nakal. Dia menghubungi Salman, sahabat sekaligus asistennya.

"Malam, Man. Tolong kamu carikan pesantren untuk Rakana, ya. Saya udah kesal sekali, hari ini dia dikeluarkan dari sekolah. Setelah kemarin ikut tawuran dengan sekolah lain." Ayah menyandarkan punggungnya di sandaran kursi kerjanya. Sejak kembali pulang dari luar kota, pikiran dan fisiknya sangat lelah membereskan masalah yang ditimbulkan Rakana.

"Baik. Kalau bisa besok pagi ya, Man. Lebih cepat lebih baik. Iya, terima kasih, Man." Handphone berwarna hitam diletakkannya kembali di atas meja kerja. Sejenak dia lupa akan laporan yang harus diperiksanya.

Jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam. Rumah besarnya ini sepi, apa seperti ini perasaan Rakana saat dirinya ditinggal kerja? Kesepian sepanjang hari seorang diri tanpa teman. Hanya Bi Asih dan Mang Sarip teman mengobrol Rakana.

"Ayah tak tahu lagi, Nak. Kamu sudah membuat Ayah kecewa. Maafkan Ayah jika tindakan Ayah ini salah di mata kamu, Ayah melakukan ini hanya ingin kamu berubah menjadi lebih baik lagi," ujar Ayah dengan memejamkan mata.

●DEAR, RAKANA●

Rakana belum mabuk, dia kali ini berada di luar kelab malam. Duduk sendirian sambil menatap bulan. Melihat bulan itu sama saja mengobati rasa rindunya terhadap Bundanya. Sejak kecil Rakana tidak melihat Bundanya karena Tuhan mengambilnya cepat saat kecelakaan hebat melihatnya dirinya juga. Rakana kecil cedera otak sampai amnesia beberapa hari. Secara perlahan sang Ayah memberitahukan jika Bundanya tidak bisa diselamatkan. Rakana kecil menangis sesegukan bahkan beberapa kali hilang kesadaran.

Menginjak SMP, Ayahnya mulai sibuk. Kerja ke luar kota sampai berbulan-bulan meninggalkan Rakana sendirian. Dan kini semuanya masih sama. Hubungan keduanya renggang dan tak berjalan dengan baik. Rakana sibuk tawuran dan Ayah sibuk kerja. Tidak ada waktu saling memberi kabar, saling sapa maupun bertatap wajah. Tidak sama sekali.

"Bun, maafkan Rakana. Rakana jadi anak nakal. Gara-gara Rakana Bunda pergi. Kecelakaan itu ... Raka gak inget sama sekali." Rakana memejamkan matanya. Mencoba menggali ingatan yang dirasa masih tersisa. Akan tetapi, semakin dia mencoba mengingatnya tidak satu pun bayangan yang terbayang. Gelap.

"Bahkan Rakana gak inget wajah Bunda," lirih Rakana sembari mencengkeram rambutnya. Dia tidak sadar menitikkan air mata. Rasanya ada sesuatu yang hilang dan kosong dari lubuk hatinya.

"Loh, kok di luar. Ayo, Tante temenin ya." Seseorang berpakaian serba terbuka menghampiri Rakana. Diusap punggung Rakana dengan lembut dan membisikkan kata-kata menggoda. Rakana tak menolak, dia pun menyetujui ajakan si tante penggoda

●DEAR, RAKANA●

Pukul empat dini hari, Ayah terbangun karena rasa haus mendera tenggorokannya. Langkahnya terhenti ketika melihat pintu kamar putranya terbuka lebar. Ayah kira, Rakana sedang beribadah. Rasa amarahnya tersulut kembali saat melihat botol minuman keras, minuman kaleng dan puntung rokok berserakan di lantai.

"Ya Tuhan, Rakana!"

Rakana yang duduk bersandar pada tempat tidur hanya tersenyum lebar. Suara Ayahnya selalu menjadi hiburan tersendiri baginya. Entah kenapa beberapa hari ini suara Ayah menjadi hal yang dibencinya. Padahal dulu, dia ingin sekali mendengar suara Ayahnya.

Ayah berjongkok di depan Rakana, mencengkeram dagu putranya hanya sekedar memeriksa kondisi putra tunggalnya itu. Mata sayu memerah, mulut bau alkohol dan menghitam dan hawa panas tubuh Rakana. Kondisi Rakana seperti ini membuat hatinya tersakiti. Ayah mana yang tega melihat putranya hancur oleh minuman dan rokok.

Dear, Rakana ✔ (Cetak)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang