14

4.8K 555 84
                                    

Saat sujud terakhir di sunahkan dilakukan dengan durasi lama. Ketika itu mintalah tiga hal yaitu taubatan nasuha, meninggal dalam keadaan baik dan dikuatkan iman Islam. Tiga hal itu yang Yasir ucapkan tadi.

Rakana terdiam sendirian di tangga lorong dekat toilet. Bukan tanpa alasan dirinya duduk di sana. Karena ini sudah masuk jadwal beristirahat dan mandi. Ke empat temannya sudah pergi entah kemana, dirinya terlambat mandi akibat dihukum lagi.

"Ntar kesambet," kata Ustaz Taqy yang kini ikut duduk disamping Rakana.

"Lagi mikir, aja," ketus Rakana. Pandangannya menatap lurus ke depan. Otaknya mencoba berpikir, tapi tidak mendapatkan jawaban. Hidup di pesantren dengan berbagai santri yang berbeda daerah membuatnya belajar. Belajar menerima perbedaan sifat dan kebiasaan. Namun, ada satu pertanyaan yang membuatnya bingung.

"Dari wajahnya kayak yang bingung. Gak dapat uang bulanan, ya," cibir Ustaz Taqy dengan nada sinis yang dibuat-buat.

Yang dicibir tidak memberikan reaksi apapun. Malah sebaliknya, dia menatap wajah Ustaz Taqy dengan serius. Tatapan mereka kembali bertemu lebih dekat seperti waktu itu. Ada gelanyar aneh menghinggapi hatinya Ustaz Taqy.

"Menurut lo, kenapa Bilal bin Rabah sekuat itu? padahal udah disiksa habi-habisan. Lalu Mushab bin Umair juga. Bukannya hidup enak-enakan, malah ikut berperang."

Sejenak Ustaz Taqy terdiam,  kini dia paham kenapa santri usilnya ini diam sejak tadi. Setidaknya film yang beberapa jam diputar menyentil hatinya Rakana. Ada harapan jika hati kecil itu masih berfungsi sebagai mana mestinya.

"Itu karena satu. Mereka paham Islam. Hebatnya keimanan para sahabat sebenarnya terletak pada Islam itu sendiri. Saya pernah singgung kamu soal Islam kan? Para sahabat kebanyakan menemukan Islam dengan cara berpikir, bukan seperti kita yang mengikuti orang tua."

"Para sahabat menemukan keimanannya melalui berpikir. Nah, berpikir soal apa sampai para sahabat begitu kokoh keimanannya? Para sahabat bukan sembarang berpikir, mereka berpikir soal penciptaan."

Rakana terdiam, sebenarnya dia tak mengerti ucapan Ustaz Taqy. Tapi, dia membutuhkan jawabannya. Karena hatinya terasa kosong. Sekaligus penasaran kenapa para sahabat rela bertaruh nyawa.

"Rakana, kamu memiliki otak. Coba gunakan dengan berpikir yang ada di dunia ini. Selain manusia, ada juga alam semesta dan kehidupan. Pikirkan ketiganya tentang keterkaitan ke tiga hal tersebut dengan sesuatu hal yang ada sebelum kehidupan dan sesudah kehidupan," kata Ustaz Taqy dengan merangkul pundak kurus Rakana.

"Jika ketiga pertanyaan itu terjawab, maka keimanan kamu akan sekuat Bilal bin Rabah dan sahabat lain."

"Nyebelin banget sih, lo. Keintinya aja deh, otak gue gak nyampe. Gue nanyakan buat tahu jawabannya, bukan disuruh berpikir," kesal Rakana. Dia melepaskan rangkulan Ustaz muda itu.

Ustaz Taqy hanya tertawa kecil dan menggelengkan kepalanya. Lucu sekali Rakana ini, di kondisi tertentu bisa menjadi baik, di sisi lain bisa menyebalkan tingkat dewa.

"Maka dari itu, berpikirlah dengan cemerlang, jangan berpikir dangkal yang gak akan memuaskan hati," kata Ustaz Taqy dengan mengacak-ngacak rambut hitam Rakana.

"Lepasin tangan lo!" Rakana menepis tangan Ustaz Taqy yang masih betah di atas kepalanya.

"Wohhh, apa ini?" Ustaz Taqy memegang sesuatu di kepala Rakana.

"Bekas jahitan. Udah, ah. Ngobrol sama lo gak memuaskan. Males mikir," ketus Rakana berdiri dan masuk ke bilik toilet untuk melanjutkan niat awalnya.

Ustaz Taqy terdiam. Dia masih menatap pintu toilet. Ada sesuatu yang mengusiknya. Namun, dia tak mau berangan-angan lebih tinggi. Dia takut jika tebakannya benar, hubungannya dengan Rakana akan canggung dan berakhir saling menjauh.

Dear, Rakana ✔ (Cetak)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang