Sepertiga malam adalah waktu mustajab. Waktu yang diberitahukan jika Allah turun ke bumi saat sepertiga malam. Maka banyak kaum muslimin berlomba-lomba menegakkan salat tahajud. Salat malam yang sangat besar keutamaannya dibandingkan salat lainnya.
Maka malam itu, untuk pertama kali dalam seumur hidupnya Yazid membangunkan Rakana. Setelah puas dihukum Pak Kiai, Yazid harus ikhlas menerima perintah dari Abinya. Perintah untuk membangunkan Rakana. Pintu kamar dibuka, Rakana tengah tidur pulas dengan suara mendengkur yang keras. Yazid sampai jijik mendengarnya.
"Kalau bukan Abi yang menyuruh, malas banget bangunin anak kayak kamu," gumam Yazid dengan wajah ketusnya.
Dengan tanpa perasaan, Yazid menendang kaki Rakana dengan keras. Sekali, tidak ada pergerakan. Kedua kali, tidak ada pergerakan juga. Dan ketiga kalinya, sukses. Rakana menggeliat tak nyaman.
"Bangun! Abi ngajak salat tahajud berjamaah!" seru Yazid.
Mendengar kata Abi, Rakana langsung terlonjak kaget. Dengan cepat dia menyibakkan selimutnya dan berdiri. Merapikan kaos dan celana panjang yang dikenakannya.
"Ah, sudah lewat lima menit. Ngapain gak bangunin gue dari tadi sih?" kesal Rakana.
Yazid yang masih berdiri di samping tempat tidur hanya memandang kesal. Harusnya dirinya yang kesal? Bukan Rakana.
"Bukannya bilang terima kasih!" geram Yazid yang berjalan keluar dari kamar tamu. Bisa-bisa dia dirasuki setan lagi dan berakhir memukuli Rakana seperti kemarin.
"Kalau bukan kakaknya Aisya udah gue habisin lo," desis Rakana yang memandang Yazid keluar.
🍀🍀🍀
Setelah salat tahajud, Rakana tidak bisa ke mana-mana. Pak Kiai mengajaknya tadarus bersama sampai azan subuh. Setelah azan selesai, mereka kembali salat subuh berjamaah. Namun, kali ini berbeda. Rakana diseret ke masjid kampung. Di mana Pak Kiai sebagai imam mesjid. Bukan tanpa alasan, karena Pak Kiai adalah tokoh ulama yang paling di segani di kampung ini.
Rakana sudah mulai mengantuk kembali, Ustaz Taqy bisa melihatnya secara langsung. Bagaimana anak itu menguap beberapa kali pas memasuki mesjid tadi."Gitu aja udah ngantuk? Gimana mau jadi imamnya Aisya?" ledek Ustaz Taqy.
Rakana yang merasa tersulut api akhirnya terpacu. Dengan semangat jihad, dia melangkah ke kamar mandi mesjid. Mencuci wajahnya beberapa kali dan kembali berwudu. Sialnya, kebiasaan membuang gas sembarangan tak terkondisikan.
"Wudu lagi," kesal Rakana. Dia kembali berwudu. Bagaimanapun buang gas itu membatalkan wudu. Mau tak mau, Rakana kembali mengulang wudunya kembali.
Saat memasuki mesjid, Rakana terdiam di ambang pintu. Mesjid yang luasnya tidak seberapa ini begitu sesak oleh warga. Rakana sedikit menggerutu yang niatnya ingin salat paling depan, posisi praktis terdekat dengan calon mertua kini berakhir paling belakang.
Dalam kekhusyukannya, Rakana menyerahkan diri sepenuhnya. Dia sadar diri, setelah penjelasan dari Ustaz Taqy kemarin. Jika manusia diciptakan hanya untuk menghamba, menyembah pada Allah semata. Maka dirinya hanya makhluk kecil yang tidak apa-apanya dibandingkan kuasa-Nya.
Setelah berdzikir, satu persatu warga beranjak dari mesjid. Rakana bisa melihat di depan sana sosok Pak Kiai tengah berbincang dengan salah satu warga dengan serius. Wibawanya seorang pemimpin sangat terasa. Adab ketika berbicara dengan yang lebih tua patut dicontoh.
Seandainya, Ayahnya begitu. Ayahnya yang mengajaknya berbincang-bincang hangat, Ayah yang membangunkannya untuk salat berjamaah, Ayah yang selalu menegurnya ketika salah, Ayah yang selalu sedia setiap saat. Bukan seperti Ayahnya yang sibuk kerja dan memberikannya harga berlimpah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Rakana ✔ (Cetak)
EspiritualPergaulan bebas adalah pola hidup Rakana. Hidup tanpa beban dan bebas sebebasnya. Selalu membuat onar sampai di keluarkan dari sekolah. Tingkah Rakana tidak baik membuat Ayahnya kesal dan berurusan dengan pihak sekolah. Berakhir pengusiran Rakana da...