8

5.6K 533 30
                                        

Rakana berjalan pelan di belakang Ustaz Taqy. Tinggi mereka hampir sama, hanya bobot tubuh saja yang berbeda. Ustaz Taqy terlihat lebih berisi dibandingkan Rakana yang kurus. Lorong panjang di bangunan bertingkat bercat putih bersih membuatnya bergidik ngeri. Seperti rumah sakit yang penuh mistis.

"Sebentar lagi salat asar, nanti sampai kamar langsung istirahat." Ustaz Taqy bersuara. Rakana hanya bersiul tak acuh pada sosok ustaz muda di depannya.

"Jangan terlambat, jika terlambat akan dikenakan hukuman." Rakana masih bersiul tanpa melihat Ustaz Taqy. Sejenak perjalanan mereka hanya ditemani siulan Rakana.

"Ish, nga ...." suara Rakana terhenti ketika Ustaz Taqy berbalik menatap wajahnya tajam. Kedua bola matanya seolah-olah berbicara. Rakana hanya diam dengan menatap balik Ustaz Taqy dengan tajam.

Ngapain sih nih orang? Batin Rakana saat Ustaz Taqy tak berkedip sedikit pun.
Lampu di luar otak Rakana menyala, senyum tipis tercetak di bibir yang menggelap akibat rokok.

Rakana memajukan wajahnya sampai hidung mancungnya bertemu dengan ujung hidung Ustaz Taqy.

"Gue sadar diri sih, ya namanya orang ganteng plus tajir kelihatan auranya," bisik Rakana dengan wajah culasnya.

"Pede sekali, saya menatap wajah kamu karena ini ...," Ustaz Taqy menekan lebam di rahang kanan Rakana.

"Ini juga." Ustaz Taqy menekan lagi luka yang lain.

"Iya-iya, udah ah! Sakit tahu!" Rakana memundurkan wajahnya dengan tangan kanannya memukuli tangan Ustaz Taqy yang akan menekan lukanya yang lain.

"Jadi anak laki tuh jangan jago hajar aja, ini juga harus jago." Ustaz Taqy menunjuk-nunjuk kepalanya Rakana. Jelas, Rakana kesal luar biasa.

Nyesel gue batin Rakana dengan mengeluarkan cokelat dari saku jaketnya. Dia memakan dengan lahap tak peduli jika Ustaz Taqy masih memperhatikannya.

"Kenapa? Mau cokelat juga?" tanya Rakana dengan menggoyang-goyangkan cokelat di tangan kanannya.

"Makan tuh duduk, makan sambil berdiri itu tidak baik, merusak pencernaan. Nabi menganjurkan ...." Ustad Taqy berhenti ketika Rakana meringis kesakitan sambil meremas perutnya. Bahkan cokelat yang di pegangnya jatuh begitu saja di lantai.

"Kenapa? Sakit?" Ustad Taqy memegang pundak Rakana memastikan jika anak itu baik-baik saja.

"Perut gue sakit nih, mules, melilit dengerin suara lo itu. Jadi ...," Rakana menegakkan kembali badannya dengan angkuh. "jangan cermahain gue, urus aja hidup lo sendiri." Rakana menepuk-nepuk pundak Ustaz Taqy dengan keras. Tetapi tidak membuat Ustaz Taqy meringis.

Ustaz Taqy tersenyum manis lalu berujar, "kamu punya telinga kan?" Rakana mengangguk.

"Lo gak lihat? Nih telinga gue." Rakana menunjukkan telinga kanannya dengan jari telunjuknya.

"Kalau gitu, saya ucapkan selamat menderita wahai telinga. Mulai hari ini kamu akan selalu mendengar ceramahan saya," ucap Ustaz Taqy dengan menjewer kecil telinga kanan Rakana.

"Cih! Gue gak sudi." Tekan Rakana dengan sedikit mendorong bahu Ustaz Taqy.

"Itu pilihan kamu, suka maupun tidak ya terserah. Dengan begitu saya yakin, anak manja kayak kamu gak bisa ngapa-ngapain jauh sama orang tua. Di rumah boleh saja makan disuapin, tidur di telonin bahkan mau ke kamar mandi aja di temenin. Tapi jangan harap di sini bisa enak." Rakana diam, kedua tangannya mengepal erat, dan rahangnya mengeras. Sungguh, dia tak suka dinasehati.

"Kenapa? Mau panggil Ibu kamu? Atau Ayah kamu? Silahkan."

Tanpa sadar Rakana memukul rahang Ustaz Taqy. Pukulan itu tak main-main, Ustaz Taqy sampai terjatuh di lantai karena tak siap menerima pukulan Rakanan.

Dear, Rakana ✔ (Cetak)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang