7

6.1K 586 57
                                    

Pondok Pesantren Darul Hikam tertera di atas gerbang besar terlihat menjulang tinggi. Tembok bercat putih berdiri kokoh dengan pintu gerbang besi hitam. Tidak ada celah untuk mengintip. Rapi dan tersembunyi. Berbeda sekali dengan sekolah Rakana, walaupun pagarnya tinggi tapi ada celah untuk siswanya membolos. Mobil Om Salman berhenti tepat di depan gerbang.

"Tunggu sebentar ya," kata Om Salman yang kedua tangannya sibuk membuka sabuk pengaman. Rakana diam saja. Dia tidak berniat untuk menjawab Om Salman. Dia hanya menghela napas panjang. Tidak diduga dan direncanakan, jika nasibnya akan seperti ini. Di buang sang Ayah begitu saja.

Om Salman bertanya kepada satpam dan kembali lagi kedalam mobil. Dia kembalikan menyalakan mobil dan melewati pos satpam yang ada di dalamnya.

"Terima kasih, Pak." Salman tersenyum dibalas senyum oleh Pak Satpam.

Rakana masih saja tidak menyahut. Anak itu diam saja sejak pulang dari restoran. Ada setitik rasa khawatir dari Salman untuk Rakana. Tidak biasanya anak itu akan diam seribu bahasa seperti ini.

"Kamu baik-baik aja kan?" tanya Salman sembari menyusuri jalan lurus yang di kanan kirinya ditanami berbagai bunga.

"Hmm."

Salman kembali berkata, "nanti jaga diri di sini ya, belajar yang bener."

Lagi, Rakana tidak menyahut. Kedua matanya menatap ke luar. Melihat pohon mangga, pohon rambutan, pohon ceri, pohon pepaya, dan pohon manggis berjajar tak beraturan di taman setelah taman bunga. Ternyata gedung pesantrenya lumayan jauh dari gerbang tadi. Setelah melewati taman bunga, pohon buah, kini mereka sampai di area parkiran. Salman lebih dulu yang ke luar dari mobil disusul Rakana yang sudah mengenakan jaket denimnya. Tidak lupa tas hitam besar digendongnya.

Mereka berdua berjalan beriringan. Di kiri mereka ada mesjid besar yang ramai oleh para santri. Bangunan mesjid ada dua lantai, di depan mesjid ada taman bunga dan pohon ceri lagi. Ada bangku-bangku kayu di bagian tempat tertentu. Rakana bisa melihat aktifitas para santri secara langsung. Meski jaraknya jauh, dia yakin jika para santri tengah membaca Alquran.

Mereka sampai di gedung besar dengan satu lantai. Di sana banyak kaligrafi besar dan lambang nama Allah dan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi Wa Sallam yang dipajang di dinding.

"Assalaamu'alaikum," salam Salma saat bertemu dengan salah satu santri di sana.

"Wa'alaikumussalam," jawab santri dengan tersenyum ramah.

"Mohon maaf, Pak Kiai ada?" Rakana sudah membayangkan wajah Pak Kiai yang dimaksud Om Salman. Pasti sudah tua renta dengan janggut putih, rambut beruban, memakai kaca mata tebal dan selalu berpakaian serba putih.

"Ada, mari saya antar." Santri itu berjalan di depan Salman dan Rakana yang masih terdiam.

Mereka melewati lorong panjang dengan kanan kirinya ruangan terbuka. Lagi dan lagi, Rakana jatuh cinta dengan kesejukkan tempat ini. Langkah perlahan mereka sampai di ruangan bertuliskan K.H. Jabir. Dengan mengetuk pintu tiga kali dan mengucapkan salam, pintu kokoh itu terbuka menampilkan seorang pria berpeci putih dengan pakaian koko dilapisi jas dan celana panjang hitam. Pria itu di perkirakan berusia seperti ayahnya Rakana.

"Maaf, Kiai. Ini ada tamu." Santri itu tak berani menatap wajah Pak Kiai yang dihormati seluruh santri.

"Silahkan masuk, Mar. Tolong panggilkan Ustaz Taqy ya." Suara Pak Kiai terdengar tegas dan berat di telinga Rakana. Anak laki-laki itu menatapnya datar saja seolah-olah tak peduli.

Salman menarik tangan Rakana untuk masuk ke dalam ruangan. Mereka di persilakan duduk. Pak Kiai duduk di depan mereka dengan memberikan senyuman.

"Anda yang menghubungi saya kemarin malam?" Pak Kiai bertanya dengan menegakkan punggungnya.

Dear, Rakana ✔ (Cetak)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang