20

5.2K 592 38
                                    

Awan awan menghitam
Langit runtuhkan bumi
Saat aku tahu kenyataan menyakitkan

Mengapa semua menangis
Padahal ku selalu tersenyum
Usap air matamu
Aku tak ingin ada kesedihan

Burung sampaikan nada pilu
Angin terbangkan rasa sedih
Jemput bahagia diharinya
Berikan dia hidup

Tuhan terserah mau-Mu
Aku ikut mau-Mu Tuhan
Ku catat semua ceritaku
Dalam harianku

Dalam lelapnya, alunan lirik lagu membuat Rakana ikut bernyanyi, lagi sewaktu kecil yang sering dinyanyikan Mama saat dirinya sakit. Lagu yang dinyanyikan Melly Goeslaw ini menjadi pengantar tidur, wajib dinyanyikan.

"Nak, bangun?" Rakana tersenyum, suara lembut mengapa indera pendengarannya.

"Ma," ucapnya pelan.

Rakana masih terbuai mimpi, alam sadarnya mengajaknya berkeliaran tak tentu arah. Dalam mimpi, Rakana berada dikamarnya bernuansa biru. Seluruh dinding dihiasi animasi bintang dan matahari.

Ucapan lembut di kepalanya mengusik acara tidurnya. Perlahan kedua mata dengan kantung mata menghitam itu terbuka. Silau matahari yang masuk lewat jendela pertama kali dilihatnya. Lalu, usapan lembut di kepalanya terhenti.

Wajah Ustad Taqy terlihat lega. Dia tersenyum lembut. Rakana terpaku ketika usapan itu begitu hangat. Semua yang dilihatnya ternyata mimpi. Dia mengira jika itu Mamanya. Mama yang dirindukannya. Mama yang dilupakan wajahnya. Tetapi, kenyataan tidak berpihak padanya.

Ustad Taqy tertegun. Kedua mata Rakana terlihat sayu dengan berkaca-kaca. Bahkan siap meneteskan air matanya. Dengan cepat, Ustad Taqy menghapus air mata dengan ibu jarinya.

"Kenapa? Ada yang sakit?" tanya Ustad Taqy lembut.

Rakana hanya bisa diam. Lalu tertawa kecil. Dengan cepat dia menghapus air matanya. Ustaz Taqy membantu Rakana untuk duduk. Dengan menyiapkan beberapa banyak sebagai sandaran.

"Dasar anak nakal. Kalau pingsan tuh kasih tahu. Bikin khawatir aja!" Ustaz Taqy duduk kembali di kursi kayu.

"Namanya juga sakit. Mana tahu bakalan pingsan," jawab Rakana pelan. Badannya masih terasa lemas.

"Umi tadi sampai kaget, lihat kamu jatuh pingsan di depan pintu toilet. Gak elit banget, kasihan Adik saya," ucap Ustad Taqy sambil memberikan air putih hangat dicampur dengan urusan jahe.

Pintu kamar terbuka, ada Umi dan perempuan berhijab yang tengah menunduk. Rakana langsung tersenyum lebar. Dia tidak menyangka akan ada perempuan lain di rumah ini. Keberuntungan berlipat ganda. Ini yang lembut dan Adik perempuan cantik, rasanya Rakana akan betah tinggal di sini.

"Bagaimana, Nak? Apa yang sakit? Perlu Umi panggilkan dokter?," tanya Umi. Ada sirat kekhawatiran dari anda bicaranya. Bolehkah Rakana bahagia?

"Gimana? Mau panggilin dokter?" kini Ustad Taqy yang bertanya. Rakana cepat-cepat menggeleng. Dengan sekuat tenaga dia mencoba duduk tegak, meskipun perutnya masih terasa kram. Malu jika dilihat oleh adiknya Ustaz Taqy.

"Gak usah, Tante Umi. Saya baik-baik aja kok. Tadi hanya sakit perut. Mag,  perut kosong," jawabnya dengan cengengesan.

"Ya Allah, kamu belum makan? Taqy, kenapa tidak bilang kalau santrimu ini belum makan?" tegur Umi dengan tegas.
Rakana yang melihat kesempatan langsung menjulurkan lidahnya pada Ustaz Taqy. Saling memandang tajam kembali terjadi dan semua itu terekam jelas oleh Adik Ustaz Taqy.

"Maafkan Taqy, Mi. Tapi Rakana biasa puasa. Kadang saking rajinnya, dia puasa sampai satu  minggu penuh," jawab Ustaz Taqy dengan tersenyum manis.

Dear, Rakana ✔ (Cetak)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang