4

6.5K 590 34
                                    

Kejadian kemarin membawa dampak besar. Ayah Rakana dipanggil ke sekolah hari ini. Dia sudah memperkirakan apa saja yang akan dibicarakan oleh pihak sekolah. Terlebih, ulah putra tunggalnya yang sudah kelewat batas. Ayah berjalan tegas ditemani Pak Usman yang tak lain sahabatnya. Keduanya berteman saat sekolah dulu sampai sekarang pertemanan mereka terjalin erat. Sayangnya, Pak Usman belum menikah di usianya sekarang yang menginjak empat puluh tahunan. Berbeda dengan Ayah Rakana sejak lulus kuliah dan menyandang gelar sarjana, ia sudah menikah. Namun, nahas. Usia pernikahannya tidak bertahan lama.

"Zid, kamu jangan terlalu keras sama Rakana, semakin dia dikerasin semakin berontak." Pak Usman memulai pembicaraan.

"Bukan gitu Us, tapi dia sudah kurang ajar sekali. Saya takut dipengaruhi teman-temannya." Pak Usman berhenti, dia tatap wajah lelah sahabatnya ini.

Pak Usman terkekeh sebentar lalu berkata, "teman yang mana? Rakana tidak punya teman di sekolah. Dia di jauhi karena sifatnya. Banyak orang tua yang mewanti-wanti anak mereka supaya berjauhan dengan Rakana."

"Yazid, Rakana butuh kamu disampingnya. Dia seperti remaja lain yang butuh perhatian bukan hanya uang. Kamu lihat dan perhatikan wajah-wajah siswa di sini." Ayah Rakana langsung memperhatikan sekelilingnya. Para siswa yang berlarian di lorong, bercanda tawa, saling bertukar kabar dan banyak kegiatan lainnya. Anak-anak itu terlihat bahagia.

"Mereka bisa tertawa bersama, menikmati masa SMA. Tapi tidak dengan Rakana. Dia sendirian, selalu menganggu temannya, ngeselin dan sebagainya. Tapi itu dia lakukan karena butuh kamu, Ayahnya."

"Kamu pernah lihat gak kapan Rakana tertawa bahagia? Makanan apa yang dia suka? Film apa yang sering dia tonton? Banyak hal yang bisa kamu lakukan sama dia, Zid. Saya aja yang bukan Ayahnya bahagia sampai hipertensi dijahili terus tiap hari." Pak Usman tertawa kecil.

"Itu menurutmu," kata Ayah sambil melanjutkan perjalanannya yang tertunda. Pak Usman hanya memandang sendu. Dia paham betul akan kesibukkan sahabatnya ini.

●DEAR, RAKANA●

Suara televisi terdengar keras sekali, suaranya menggema di setiap penjuru rumah. Channel AMTV yang menyajikan film-film bollywood tengah berlangsung. Rakana tengah memakan cokelat batangan menonton dengan serius. Wajahnya yang masih lebam membiru sudah diobati Bi Asih semalam.

"Bi! Ayo, nonton!" Rakana berteriak heboh saat sesi iklan telah selesai. Bi Asih yang masih mengenakan celemek berwarna merah pun tergopoh-gopoh menghampiri Rakana.

"Film apa Den sekarang?" tanya Bi Asih yang masih berdiri disamping Rakana.

"Mohabbatein, Bi. Film cinta-cintaan macem Rahul," kata Rakana sambil membungkus sepotong cokelat ke dalam saku celana pendeknya.

Mereka berdua terhanyut dengan setiap adegan yang diputar. Rakana berlari ke arah taman belakang dan mengambil jas hitam milik Ayahnya yang sedang di jemur.

"Den, itu baju Bapak masih basah," tegur Bi Asih. Rakana mengenakan jas kebesaran Ayahnya dengan bawahan celana kolor pendek. Kulit mulus pahanya pun sampai terlihat.

"Sebodoh, Bi. Ayo sini." Rakana mengambil wajan dari dapur dan sodet. Dia mengikuti adegan di dalam televisi. Shah Rukh Khan sedang memainkan biolanya. Dengan penuh penghayatan Rakana menjelma menjadi pemain biola dadakan. Dia menggerak-gerakan sodet di atas wajan seolah-olah memainkan biola.

Ek ladki thi dewani si
Ek ladke pe woh marti thi
Nazren jhuka ke
Sharma ke
Galiyon se guzarti thi
Chori chori chupke chupke
Chitthiyan likha karti thi
Kuch kehna tha shayad us ko
Jaane kis se darti thi
Jab bhi milti thi mujh se
Mujh se poocha karti thi
Pyaar kaise hota hai
Yeh pyaar kaise hota hai
Aur main
Sirf yeh keh pata tha
Fu.. umpp..

Dear, Rakana ✔ (Cetak)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang