Terlambat adalah hal yang sudah melekat pada diri Rakana. Dia tidak salat tahajud, salat subuh, bahkan masuk kelas juga terlambat. Rakana, dia misuh-misuh ketika Ustaz Taqy menasehatinya kembali.
"Kamu itu sudah enam belas tahun, sudah bisa berpikir mana yang baik mana yang tidak. Kamu punya otak, jadi gunakan dengan baik," seru Ustaz Taqy.
Kedua laki-laki itu tengah berada di ruangan Ustaz Taqy. Tadi pagi dia mendapatkan laporan jika santrinya terlambat lagi. Bukan hanya itu, Rakana juga tidak mengerjakan tugas SKI yang seharusnya hari ini dipersentasikan di dalam kelas.
"Udah? Gue laper mau ke kantin," keluh Rakana sudah memegangi perutnya yang perih.
"Belum. Saya masih perlu membicarakan jadwal pelajaran yang kamu langgar. Jadi, mulai hari ini jadwal kamu di rubah." Rakana yang mendengar hal itu langsung sumringah.
"Asik! Gitu dong, pasti lebih ringan, secara gue anaknya suka mageran," jawab Rakana dengan senyum lebar.
"Ringan kepala kamu! Semua jadwal akan di ganti, kamu akan bangun lebih awal dan berakhir jam juga paling akhir. Dengan kata lain, jam belajar tambahan." Ustaz Taqy memberikannya kertas jadwal baru.
Dengan cepat Rakana membaca seluruh isi dalam kertas tersebut. Membaca jadwal barunya saja sudah membuat Rakana mual, apalagi melaksanakannya. Lemas rasanya. Rakana tatap wajah Ustaz Taqy dengan memohon dan menangkupkan kedua tangannya di dada.
"Gue rela dipukulin sama lo, tapi jangan ditambah jadwalnya. Serius, gue bisa mati," Ucap Rakana.
Ustaz Taqy bisa melihat wajah nelangsa santrinya itu. Dia tahu apa yang dirasakan Rakana, hidup di pondok adalah sebuah pilihan yang memerlukan kematangan mental. Butuh mental yg kuat dan tangguh untuk menjalani keseharian yang padat.
"Kenapa memohon? Kalau gini kamu menyerah sebelum berperang. Dasar anak manja. Bisanya memohon, mageran dan melakukan segala hal yang senangnya aja," kata Ustaz Taqy dengan tersenyum licik.
Rakana yang awalnya berdiri malas-malasan kini merubahnya menjadi tegak. Mensejajarkan dengan Ustaz Taqy dan menatapnya tajam.
"Gue tarik kembali ucapan gue yang tadi. Terserah lo mau rubah jadwal gue kayak gimana. Tapi jangan ngarep gue nurut sama lo." Rakana menunjuk-nunjuk dada Ustaz Taqy dengan jari telunjuknya.
Rakana beranjak dari ruangan Ustaz Taqy dengan menendang pintu. Dia gak suka jika hidupnya diatur oleh orang lain. Ini hidupnya, ini tubuhnya, kenapa orang lain yang sibuk mengurusi dirinya? Ayahnya saja tak peduli.
Rakana terus saja berjalan menuju kamarnya, dia tak peduli jika dia tak masuk kelas dan kembali ditegur. Otaknya panas, dadanya sesak penuh emosi, dan kedua tangan dikepal erat. Jika begini, dia merindukan vodka.
"Rakana! Masuk mesjid." Suara Ustaz Umar terdengar. Dia tak peduli, sekeras apapun Ustaz Umar memanggil dirinya, dia tekadkan tidak akan menoleh.
"Siapa nih? Ahh, rasanya Allah menakdirkan pertemuan kita, pecundang." Rakana yang sedang emosi pun tak tahan lagi. Dia berikan pukulan di rahang Yazid.
"Bajingan! Mulut lo harus diberi pelajaran!" Rakana yang terbakar emosi langsung menghajar Yazid begitu saja.
Hal yang tak terduga, Yazid membalas pukulan Rakana. Dia memukul perut Rakana, menendang dan menahan tangannya. Tatapan keduanya bertemu. Yazid bisa melihat kedua mata Rakana yang memerah karena emosi.
"Preman kota masuk pesantren hanya bisa mencoreng nama pesantren. Bikin malu, kalau saya jadi kamu, saya akan gunakan otak saya untuk berpikir dengan baik." Yazid mengeplak kepala Rakana dengan baik.
"Sebagai senior yang baik, saya ingatkan. Gunakan usiamu dengan belajar. Perbanyak Ilmu. Hidup itu butuh ilmu. Hidup kamu kayak gini karena kamu tidak punya ilmu untuk hidup."
Rakana terdiam, entah kenapa ucapan Yazid serasa tak asing. Telinganya mulai berdengung ketika bayangan samar memenuhi otaknya.
"Ish ...," desis Rakana sambil menutup kedua matanya erat. Tubuhnya mendadak lemas dan ambruk begitu saja. Untunglah Yazid menyadari apa yang terjadi. Dengan sigap dia menahan tubuh Rakana agar tak membentur lantai yang dingin.
"Hei, jangan becanda! Rakana!" Yazid menepuk-nepuk pipi Rakana perlahan.
Sejenak Yazid terpaku dengan wajah Rakana yang serasa tak asing baginya. Rasanya dia pernah bertemu dengan Rakana, entah dimana. Bukankah manusia mempunyai sembilan orang yang mirip di dunia ini.
Rakana masih meringis, kedua matanya menatap Yazid dengan sayu. Kenapa rasanya nyaman sekali? Kenapa tepukan Yazid begitu menenangkan?
"Kak ...." kata terakhir yang Rakana ucapkan sebelum tenggelam dalam kegelapan.
Yazid terpaku, suara Rakana yang lirih menikam jantungnya. Ada gelanyar aneh yang tiba-tiba merasuki hatinya. Otaknya mendadak kosong, oksigen yang dihirupnya terasa menyekik paru-parunya. Sebenarnya apa yang terjadi?
"Astagfirullah, kenapa?" Ustaz Taqy langsung berjongkok memeriksa keadaan santrinya. Rakana sudah tak sadarkan diri dengan keringat dingin memenuhi wajah dan badannya.
"Zid? Kenapa menangis?" tanya Ustaz Taqy saat melihat Yazid meneteskan air matanya. Tak ada isakkan, tapi air mata itu tak bisa dikendalikan.
"Kamu, baik-baik aja kan? Saya mau bawa Rakana ke UKS. Apa mau sekalian diobati?" Yazid menggelengkan kepalanya. Dia hanya bisa diam saat Ustaz Taqy menggendong Rakana dengan cepat.
"Kenapa ini terasa sakit?" gumam Yazid sambil memeras dadanya.
●DEAR, RAKANA●
Ustaz Taqy telihat khawatir melihat kondisi Rakana. Senakal-nakalnya dia, Ustaz Taqy menyayanginya sama seperti santri lain. Dokter pondok tengah memeriksa kondisi Rakana yang mengkhawatirkan.
"Gimana, Dok?" tanya Ustaz Taqy yang tak bisa diam.
"Apa dia belum makan?" tanya balik dokter.
"Sepertinya belum. Dia mengeluh sakit perut karena belum makan. Apa ada hal yang serius?"
Dokter muda itu hanya tersenyum tipis. Dia kembali memeriksa Rakana yang menurutnya terlalu kurus, santri seusianya tidak ada yang sekurus dia kecuali sudah turunan dari orang tuanya.
"Sepertinya pola makan dia sangat buruk. Saya berikan obat penambah darah dan vitamin. Ustaz, bisa perhatikan pola makannya."
Ustaz Taqy menatap prihatin, dia tahu Rakana orang yang punya segalanya. Namun, sayang. Tidak ada yang memperhatikan pola makannya. Ustaz Taqy tiba-tiba teringat seseorang dalam hidupnya. Adiknya, bocah yang berbadan gemuk yang hobinya makan. Setiap hari Adiknya akan makan beberapa kali bahkan beberapa cemilan yang menambah lemak di badannya.
"Jadi ingat Adek. Gimana kabarnya?" gumam Ustaz Taqy dengan tersenyum.
"Kak ...." Ustaz Taqy terdiam saat Rakana bergumam lirih. Dia mendekatkan telinganya ke depan mulut Rakana.
"Ayah, Raka ... sakit," lirih Rakana. Ustaz Taqy tersenyum pedih. Dia yakin, santrinya ini pasti merindukan sang Ayah. Bagaimanapun dirinya tahu jika Rakana diusir dari rumah karena ke nakalannya.
"Untung lagi sakit, jadi gak bisa marah-marahkan?"
"Ustaz, ini obatnya. Mohon maaf, vitaminnya habis. Besok saya mengambil dulu di apotek." Ustaz Taqy terkejut dan langsung menegakkan badannya lagi.
"Baik. Syukron Dokter," jawab Ustaz Taqy menemani Rakana sambil membaca alquran dan tertidur.
●DEAR,RAKANA●
Allah Ta'ala berfirman dalam surah Al Mujadalah ayat :11
"Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat."

KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Rakana ✔ (Cetak)
EspiritualPergaulan bebas adalah pola hidup Rakana. Hidup tanpa beban dan bebas sebebasnya. Selalu membuat onar sampai di keluarkan dari sekolah. Tingkah Rakana tidak baik membuat Ayahnya kesal dan berurusan dengan pihak sekolah. Berakhir pengusiran Rakana da...