25

5.2K 591 61
                                    

Pagi itu Bilal dikejutkan dengan Rakana yang meringis kesakitan sambil memegangi perutnya. Sejak kemarin sakit perutnya tidak mereda juga, kali ini bertambah parah dengan muntah-muntah. Amar yang paling suka kebersihan pun terus menerus membersihkan kamar. Dia tak mau berlama-lama kamarnya berbau muntahan.

"Lebih baik kita ke rumah sakit ya? Dokter pondok cuma ngasih kamu obat. Setidaknya kalau di rumah sakit kamu bisa diberikan obat lain?" ucap Bilal dengan mengurut-urut lebar Rakana.

"Hah ... gak, usah ," jawab Rakana disela-sama muntahannya.

"Kamu itu antara jahiliyah dan malas gak beda jauh. Kita itu mau kamu sembuh, yang sakitnya malah keras kepala banget," keluh Yasir.

"Sakit itu antara ujian dan azab. Bisa jadi ujian untuk kamu yang baru saja menemukan jalan Allah dan azab karena kamu banyak melakukan dosa," tambah Yasir.

"Kamu itu teman lagi sakit nyerocos mulu," tegur Amar. Ke empat temannya ini kini tengah mengelilingi Rakana yang masih meringkuk di kasur lipatnya. Badannya yang kurus tambah kurus akibat diare.

"Kesal aja, Lal! Kalau udah sakit begini apa yang dibanggakan dengan cinta? Hanya karena cinta semu, dia rela sakit begini. Bodoh namanya." Rakana terdiam dan menyandarkan punggungnya ke dinding di belakangnya. Perutnya masih saja berontak menjalar ke napasnya yang mulai terganggu. Memejamkan mata dengan kening mengkerut menandakan betapa sakit yang dia rasakan.

"Dari pada ngomel, lebih baik kamu p anggilkan Ustaz Taqy," saran Bilal yang kali ini membalur perut Rakana yang sedikit kembung.

"Gak usah, ntar juga sembuh sendiri, Lal," lirih Rakana yang masih memejamkan matanya. Dia menikmati sensasi hangat dari minyak kayu putih yang dibalurkan oleh Bilal.

"Ya sudah, jika tidak mau. Kamu istirahat  saja ." Bilal menyelimuti perut Rakana.

Ke empat temannya itu masih menatap prihatin pada Rakana. Kemarin malam dia sangat bersemangat sekali menceritakan soal Aisya kepada mereka. Menyatakan suka dan mengajaknya menikah. Terlebih mereka baru mengetahui jika Ustaz Taqy dan Yazid adalah saudara kandung dan Pak Kiai adalah orang tua keduanya. Pasalnya seluruh warga pondok tidak tahu menahu soal itu.

Mereka berempat bergantian menemani Rakana. Mereka tidak memungkin untuk meninggalkan kelas bersamaan. Rakana terbangun ketika pukul sepuluh pagi. Dia bisa melihat Fayyadh sedang membaca Alquran. Kali ini dia benar-benar merasa merepotkan. Harusnya dia tidak merepotkan begini.

"Yadh, lo masuk kelas saja. Gue udah gak apa-apa kok. Tinggal lemasnya aja." Kata Rakana yang kali ini mencoba untuk duduk tegak. Fayyadh yang melihat itu langsung bergegas membantu.

"Kalau saya ke kelas, kamu sendirian dan akan lebih merepotkan jika terjadi sesuatu sama kamu." Perkataan Fayyadh itu datar tetapi menyengat di hati.

"Cih, ngomongnya gitu banget. Iya deh, gue emang ngerepotin." Rakana menghela napas panjang. Perutnya memang terasa sakit jika diam saja begini.

"Yadh, gue mau masuk kelas," ucap Rakana dengan memohon. Fayyadh melebarkan matanya. Bisa-bisanya temannya ini ingin masuk kelas. Wajahnya saja masih pucat.

"Gue mohon,  gue harus hafalan." Fayyadh tidak berkomentar. Dia membantu Rakana mengganti pakaiannya dan bersiap pergi ke kelas.

🍀🍀🍀

Yazid melihat Fayyadh memapah Rakana. Dia memperhatikan dari lantai di mana kelasnya berada. Dia tidak tega melihat Rakana yang terlihat lemas dipaksakan jalan begitu. Hatinya tergerak untuk membantu, tetapi Fayyadh lebih dulu melakukan kewajiban sebagai teman. Dia kembali berjongkok di depan Rakana. Meminta Rakana untuk naik ke punggungnya.

Dear, Rakana ✔ (Cetak)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang