10

5.6K 556 56
                                    

Kini Rakana sudah mulai terbiasa melakukan jadwal padat di pondok. Sesekali ada kalanya hawa malas menghampiri, rasanya dia ingin sekali merebahkan punggungnya sejenak dari aktifitas yang menuntut badannya. Bangun pukul dua dini hari menjadi rutinitasnya, tidur siang hanya sepuluh menit dan kembali bertemu waktu tidur itu pukul sepuluh malam.

Dengan mata mengantuk, Rakana memperhatikan Ustaz Umar sedang menerangkan mata pelajaran bahasa Arab. Sulit iya, karena banyak sekali kosa kata yang harus dihapalkannya.

"Yanhadhu alinsaanu bimaa 'andahu min fikri 'anil alhayaati, walkauni, wal insaani wa'ani 'alaa qotihaa jamii'ihaa bimaa qobla alhayaati addunyaa wa maa ba'dahaa," ucap Ustaz taqy dengan lantang. Kedua matanya menatap setiap santrinya dengan serius.

"Itu kalimat pertama, coba apa artinya? Silahkan acungkan tangan?"

Bahasa Arab memang pelajaran yang sulit jika kita tidak mengerti artinya. Belum lagi orang yang kita ajak bicara. Itu juga berbeda antara laki-laki dan perempuan.

"Rakana, yarja qira'ati altarjama," kata Ustaz Umar saat melihat Rakana mulai terkantuk-kantuk di bangkunya.

"Ma al ustaz?" tanya Rakana dengan mata mengantuk.

"Baca terjemahan kalimat tadi. Kamu itu kebiasaan, di saat jam pelajaran mengantuk. Silahkan cuci muka." Ustaz Umar memerintahnya dengan tegas. Bagaimanapun dia tidak mau jika santrinya tidak fokus. Karena akan berakibat fatal jika di dalam kelas tidak fokus sekali maka di jam-jam selanjutnya pun akan tidak berkesinambungan.

Rakana menuruti perintah Ustaz Umar. Kamar mandinya lumayan jauh ada di belakang kelas. Setidaknya dia bisa berlama-lama di kamar mandi karena alasan jaraknya yang jauh. Setidaknya mendinginkan otak di kamar mandi lima menit saja tidak jadi masalah.

Langkahnya berjalan cepat, ingin segera sampai ke kamar mandi yang ada di belokan di depannya. Entah takdir Allah yang mana lagi yang harus menimpa Rakana, secara tak sengaja dirinya bertabrakan dengan santri lagi. Lebih parahnya santri itu sampai terjatuh dan alquran yang di bawanya sedikit kotor.

"Ups, maaf," ucap Rakana. Dirasa tak perlu di perpanjang urusan. Dia pergi dari sana.

"Mau kemana? Bukannya minta maaf yang betul, ini malah pergi begitu saja?" Perkataan santri itu terdengar jelas mengejeknya. Rakana yang mudah emosi jelas sudah mulai terbawa hawa panas di dadanya.

Rakana berjalan dan berhenti tepat di depan santri yang masih duduk. Di lihat dari wajahnya seperti tidak asing. Wajahnya mirip seseorang yang dikenalnya, tapi dimana?

"Maaf, saya bantu kamu," ucap Rakana sambil menjulurkan tangannya. Dengan senyuman manis yang dibuat-buatnya.

Santri itu menyambut uluran tangan Rakana. Pegangannya erat sekali, Rakana kembali terdiam saat rasa aneh menyerang hatinya. Detak jantungnya berdetak tak karuan bahkan jika didengarkan bisa terdengar sampai keluar.

"Aw!" Santri itu mengaduh kembali ketika Rakana dengan sengaja melepaskan pegangannya. Dia tersenyum culas dengan posisi jongkok.

"Ngapain gue yang minta maaf. Toh, lo yang salah!" Santri itu diam saja sambil melihat name tag yang ada di dada kanan jas almamater pondok.

"Rakana Zidam," geram santri dengan penuh penekanan.

"Ya, gak usah berbisiklah. Teriak aja. Emang kok nama gue khas. Gak ada yang lain." Bangga Rakana. Dia berdiri begitupun dengan santri di depannya. Tinggi mereka sama bahkan kedua mata itu saling memancarkan api tak kasat mata.

Dear, Rakana ✔ (Cetak)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang