16

4.8K 560 25
                                    

Rakana terdiam di anak tangga mesjid. Kedua tangannya menggenggam Alquran kecil yang diberikan Ustaz Taqy. Hapalan kesekian kalinya sudah terbiasa bagi para santri termasuk Rakana. Hanya saja, kali ini dia merasakan sensasinya berbeda. Dia merasa ada seseorang mengikutinya sejak kemarin. Seolah-olah, dirinya target seperti di drama-drama korea.

Rakana masuk kedalam mesjid, dia duduk di barisan paling belakang. Selain merasa diikuti, dia juga teringat kejadian tadi pagi. Di saat semuanya tertidur, Rakana pergi ke toilet dan membuang air besar. Setelah itu membuatnya bergidik ngeri sendiri, bulu kuduknya langsung berdiri tanpa komando.

Rakana tersentak ketika seseorang memanggil namanya. Kini saatnya untuk setor hapalan. Nasib, dia selalu berada dibarisan belakang. Dengan sabar dia menunggu, sepi juga tidak ada ke empat temannya yang lebih dulu setor hapalan.

Hawa dingin semakin terasa, perutnya tak bisa diajak kompromi lagi. Sejak melihat wajah Pak Kiai, perutnya langsung memberikan sinyal kontraksi yang sangat mengganggu.

Di hadapan Kiai, Rakana memejamkan kedua matanya. Perutnya kini terasa mulas. Kedua tangannya sudah berkeringat dingin.

"Ta'awuz," perintah Pak Kiai.

Rakana mulai gelisah, dia sudah tak enak duduk lebih lama lagi. Akhirnya suara keras terdengar bersamaan wajah sumringah Rakana.

"Alhamdulillah, nikmatnya." Rakana tersenyum manis. Tidak untuk santri di sekitar Rakana. Mereka menutup hidung dan mengibas-ngibaskan bau yang tak kasat mata.

"Maaf, kelepasan," kata Rakana dengan menggaruk-garuk kepalanya.

Pak Kiai hanya menghela napas panjang. Ingin rasanya menjewer telinga santri paling usilnya ini, tapi tidak enak jika dilihat oleh semua santri lain.

"Kamu wudu lagi, baru setoran hapalan." Suara Pak Kiai terdengar tegas sekali. Tanpa bantahan, Rakana berlari keluar mesjid dan menuju pojok kiri mesjid. Tempat toilet berada.

Baru hilang keresahannya setelah mengeluarkan semua isi perutnya. Rakana bisa tersenyum lebar, hasratnya telah usai. Kaki kanannya baru saja akan beranjak, perutnya tiba-tiba kembali bergejolak.

"Ah! Sial banget, sih," kesal Rakana.

Dia masuk kembali dengan kaki kirinya, dan menuntaskan urusannya yang belum usai. Seingatnya, tadi pagi dia memakan sisa potongan cokelat yang diberikan Ustaz Taqy. Saat semuanya salat subuh di mesjid, Rakana memakan cokelatnya di kamar seorang diri. Tanpa mengucapkan bismillah, dia langsung melahap satu potong cokelat.

Sialnya, kini dirinya mulai merasakan akibatnya. Entah teguran karena tak salat subuh atau karena dirinya salah makan. Tak ada beda, yang jelas itu sudah kodratullah.

Cermin di depannya seolah mengejek Rakana. Bagaimana tidak? wajah Rakana sudah dibanjiri keringat, kulitnya sudah terlihat pucat dan tubuhnya terasa lemas. Cairan di tubuhnya seolah dikuras habis.

"Akh!" Rakana memejamkan matanya ketika perutnya kembali melilit. Nasib buruk menimpanya, dia terjatuh di depan cermin. Dia masih sadar, apa daya suaranya tertahan ketika rasa sakit menyiksa perutnya.

"Ma ... Ma ...."

Rakana meringkuk seperti janin di perut Ibunya. Jika sakit begini, rasa rindu tak terbendung untuk Mamanya. Rasa yang tak bisa tersampaikan secara langsung sungguh menyakitkan. Samar-samar, teriakan seorang terdengar.

"Astaghfirullah, Rakana!"

Rakana bisa merasakan tubuhnya diguncangkan secara paksa. Kepalanya saja ikut pening akibat guncangannya.

"Kak," lirih Rakana. Dia menatap wajah seseorang yang menahan tubuhnya. Rasa nyaman dan hangat yang dulu dia rasakan kini mulai timbul kembali. Dan akhirnya, kesadarannya terenggut juga.

Dear, Rakana ✔ (Cetak)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang