"Kakak?" lirih Rakana. Dia teringat ucapan Ustaz Taqy tadi pagi. Saat bertemu Michael, dia bilang jika dia kakaknya Rakana. Bolehkah Rakana tersenyum?. Siang hari di bawah pohon ceri sudah menjadi kebiasaan kelompok Rakana. Seperti biasa sambil menunggu setor hapalan, mereka berlima berkumpul di bawah pohon ceri.
Suara mengaji antara ke empat tempatnya membuat Rakana mengantuk. Dia sudah berhasil menghapalkan dua surat sekaligus, tentu dengan bimbingan Ustaz Taqy dan teman-temannya. Terutama Yasir, dia akan marah-marah dan meminta Bilal untuk menghukum Rakana jika dia tak mengaji.
"Ngelamun?" Rakana menggelengkan kepalanya. Dia masih menikmati langit biru di atas sana.
"Kalau mati? Apa langsung naik ke langit?" tanya Rakana dengan pelan. Ke empat temannya langsung menatap ke arah Rakana. Tak jarang sih, si bocah usil ini menanyakan soal kematian.
Terlebih setelah kelas praktik mengurus jenazah. Pikiran Rakana melayang jauh, dia baru menyadari begitu pentingnya mengurus jenazah. Dia baru tahu, jika memandikan dan mengkafani harus keluarga. Dianjurkan keluarga inti, bagaimanapun aurat mayat tidak boleh diperlihatkan kepada hal layak ramai.
Adapun yang memakai jasa orang lain, pasti ada alasannya. Bisa saja keluarganya tak bisa? Tidak tahu ilmunya? Dan berbagai alasan syar'i. Hatinya sedih jika suatu saat dia meninggal nanti hanya Ayahnya saja yang memandikan, karena hanya Ayahnya saja keluarga satu-satunya yang dia miliki.
"Yeh, ngelamun lagi. Hapalan!" sentak Bilal dengan menepuk bahu Rakana.
"Iya-iya," lirih Rakana. Dia bangun dari posisi rebahannya, duduk bersila dan membuka Alquran. Membaca Ta'awuz dan mulai membaca ayat satu persatu. Hari ini dirinya menghapalkan surah Al Lahab dan An Nasr. Ke dua surat yang berdekatan. Setelah gejolak api barulah pertolongan. Ke duanya artinya bersinambungan.
"Rakana! Ada telepon." Ustaz Umar memanggil Rakana. Dia sudah tahu dari siapa. Karena seminggu ini rajin sekali menghubunginya. Padahal dulu, tidak pernah menghubunginya sesering itu.
"Bilang aja, gue lagi hapalan!" teriak Rakana tak mau kalah dari suara Ustaz Umar.
"Kasihan orang tuamu, cobalah bicara sebentar saja," bujuk Ustaz Umar.
Hari sial bagi Rakana, ke empat temannya pun mendukung perkataan Ustaz Umar. Terlebih Yasir yang mengomentarinya dengan hadis dan sunah. Telinganya bisa-bisa menjadi korban lagi.
Dengan langkah lesu, Rakana memakai sepatunya dan mulai mengikuti Ustaz Umar. Suasana kantor hari itu sepi, hanya beberapa Ustaz yang ada di sana. Ustaz Umar menyerahkan ganggang telepon kepada Rakana. Dengan ragu Rakana mengambilnya dan meletakkan di daun telinga kirinya.
"Hmm, di sini Rakana Zidam. Anaknya Pak Yazid yang terhormat, kalau lupa," kata Rakana sembari duduk di atas meja milik Ustaz Umar. Sang punya meja hanya melotot tanpa arti, Rakana tidak akan mempan dengan pelototan.
"Ngapain sih? Ayah udah ngusir aku! Ngapain telepon-telepon segala? Kangen buat ngajakin berantem!" geram Rakana.
Dia bisa mendengar suara Ayahnya diseberang sana. Tak kalah bernada tinggi juga. Perlu diingatkah jika anak itu akan mencontoh orang tuanya? Tak salah jika Rakana bersikap seperti itu karena Ayahnya yang mengajarkannya.
"Pergi aja! biasanya juga gak izin. Mau kemanapun Ayah pergi, silahkan!" Rakana menyimpan kembali ganggang telepon dengan kasar. Dia masih misuh-misuh tak jelas.
"Ustaz, kalau ada lagi telepon dari Ayah bilang aja, Rakana sibuk!" kata Rakana yang kali ini turun dari meja Ustaz Umar.
"Bocah tak ada akhlak, orang tua kok dibentak-bentak." Ustaz Umar hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
Untung saja, Rakana tidak mendengar apa yang diucapkan oleh Ustaznya ini. Jika sampai dia mendengar, pastilah keributan akan terjadi lagi. Rakana terlanjur kesal, dia misuh-misuh tidak jelas sepanjang koridor sampai bertabrakan lagi dengan seniornya.
"Apes!" gumam Rakana yang terdengar juga oleh Yazid.
"Apa kamu bilang?" Yazid yang tidak jatuh langsung mencengkeram kerah seragam pondok yang dikenakan Rakana.
Rakana tersenyum culas, jelas sekali tatapannya mengejek sosok Yazid. Terlebih nama mereka sama, Yazid, Yazid dan Yazid. Kenapa? Otaknya tak berfungsi dengan baik jika menyangkut sang Ayah. Kenapa Ayahnya selalu mementingkan uang? Kenapa selalu dirinya yang kalah saing dengan para pemegang saham? Kenapa? Kenapa?
"Gue lagi kesal, butuh pelampiasan!" seru Rakana dengan cepat menepis kedua tangan Yazid. Tanpa aba-aba langsung memukul rahang Yazid. Tentu saja Yazid tidak diam saja. Dia membalas pukulan Rakana.
Keduanya menimbulkan keributan, Yazid sudah terbawa emosi bahkan tanpa henti memukuli Rakana. Sebaliknya, Rakana membiarkan tubuhnya disakiti, dia terlalu lelah hidup tanpa perhatian, sekalinya perhatian di saat dirinya diusir dari rumah. Rasanya, Rakana ingin kembali berkunjung ke kelab malam dan mengahabiskan beberapa sekon vodka.
"Rakana!" teriak Bilal. Mereka langsung membelah kerumunan yang mengelili dua santri yamg bertikai.
Fayyadh langsung memeriksa Rakana yang sudah mendapatkan luka di bibir kiri dan lebam-lebam dirahang kirinya. Badan kurus itu masih meringkuk di atas rumput taman yang terdekat dengan lorong tadi.
"Astagfirullah, Yazid dan Rakana ikut saya!" tegas Ustaz Taqy. Dia dipanggil seorang santri yang melihat santrinya berkelahi.
Yazid terengah-engah dan baru saja tersadar dengan apa yang dia lakukan. Keadaan Rakana yang terluka membuatnya tersadar jika dia telah melakukan kesalahan. Rakana, Anak itu dibantu Fayyadh dan Amar untuk berdiri. Dia meringis ketika otot-ototnya terada ditarik paksa.
Mereka berdua diceramahi Ustaz Taqy. Ditanya penyebab mereka bertikai sampai berdarah-darah. Yazid duduk terdiam, dia tidak berani menatap wajah Ustaznya ini. Berbanding terbalik dengan Rakana. Dia hanya malas bicara panjang lebar. Yang dia butuhkan hanya kasur lipatnya.
"Gak usah di perpanjang. Gue yang salah, gue yang minta dia buat mukulin gue. Jadi gak usah ceramah lagi." Rakana berdiri perlahan, meringis ketika otot perutnya tertarik sedikit.
Rakana memilih pergi bersama teman-temannya yang sudah menunggu di depan pintu. Ada raut khawatir dari ke empatnya. Dengan sigap, Fayyadh berjongkok. Rakana hanya tersenyum lebar meski bibirnya terluka. Fayyadh, teman sejati yang tak banyak bicara namun, dibuktikan dengan tindakan. Berbeda dengan ke empatnya yang selalu mengoceh mengingatkannya.
"Ah, untungnya badan gue ringan, ya," canda Rakana yang sudah berada di punggung Fayyadh.
"Heran, ngapain juga ada orang kayak kamu, bodoh kok dipelihara," kesal Yasir.
Rakana tidak menjawab, dia merebahkan kepalanya di punggung Fayyadh. Menyamankan posisi badannya yang mulai berontak. Rasa sakitnya mulai terasa dibandingkan tadi. Pukulan Yazid memang luar biasa, benar kata orang jika marah itu temannya setan. Tubuh kita dikendalikan oleh amarah.
"Amar, kamu minta air panas ke kantin. Yasir, ambil obat di UKS, Fayyadh tolong buka bajunya Rakana." perintah Bilal.
Herannya, semuanya langsung menurut tanpa membantah. Meski Bilal menyebalkan, wibawa dia sebagai pemimpin kamar tidak salah. Rakana yang mendengar keributan teman-temannya hanya bisa tersenyum dalam hati. Dia berjanji tidak akan mengkhianati persahabatan mereka yang terjalin atas nama Allah.
🍀🍀🍀
Maafkeun, terlambat. Apa daya sakit gigi minta diperhatikan😅😅😅
Terima kasih komen dan votenya, maafkan belum bisa balas komenannya. Pasti saya balas😊😊

KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Rakana ✔ (Cetak)
SpirituellesPergaulan bebas adalah pola hidup Rakana. Hidup tanpa beban dan bebas sebebasnya. Selalu membuat onar sampai di keluarkan dari sekolah. Tingkah Rakana tidak baik membuat Ayahnya kesal dan berurusan dengan pihak sekolah. Berakhir pengusiran Rakana da...