"Rakana!" teriakan Amar terdengar. Kali ini bocah tengil itu kembali membuat onar.
Setelah kemarin sakit, kini tubuhnya kembali sehat dan bisa melakukan onar lagi. Salah satunya kejadian barusan di kamar. Kebiasaan Rakana memakan cokelat setengah-setengah membuat Amar murka. Pasalnya sisa cokelatnya meleleh di kasur Amar yang sebelumnya dipinjami Rakana.
"Kejar gue kalau berani!" Rakana terus berlari menjauhi Amar yang mengejarnya dari belakang.
Mereka berdua berlari dari gedung C sampai perpustakaan, berbelok ke arah gedung B dan berakhir di gedung A yang merupakan kantor tempat staf pengajar berdiskusi.
Tawa Rakana dan jeritan Amar silih sahut menyahut, Ustaz Umar dan rekan-rekannya sampai terkejut mendengar teriakan Amar.
Di tempat duduknya, Ustaz Taqy tersenyum tipis melihat wajah Rakana kembali ceria meski sedikit pucat.
"Anak didik Ustaz Taqy tahun ini lumayan aktif ya, apalagi santri baru itu. Subhanallah, jahilnya sampai ubun-ubun," ucap Ustaz Umar. Ustaz Taqy hanya tersenyum menanggapi ucapan rekannya itu.
"Bukan jahilnya saja yang luar biasa, tugasnya juga berantakan. Saya paham, dunia santri masih baru baginya, justru tugas kita sebagai pengajar memberikan pengetahuan dan semangat buat para santri terlebih anak kota seperti Rakana."
Ustaz Taqy setuju dengan ucapan Ustaz Umar. Bagaimanapun tugas pengajar memang berat. Bukan hanya di dunia saja, tapi di akhirat pun akan di pertanggung jawabkan.
●DEAR, RAKANA●
Hari ini kelas Rakana terbilang sepi, tidak ada tingkah usil Rakana. Mereka sedang menyaksikan film dokumenter Umar bin Khatab. Film berdurasi satu jam itu sejak tadi berputar, menampilkan kisah Bilal bin Rabah.
"Filmnya gak ada yang lain apa?" keluh Rakana pada Bilal yang duduk dengan mata berkaca-kaca.
"Lah, ngapain lo berkaca-kaca gitu? Perih? Sini gue tiupin."
Rakana memajukan badannya ke depan Bilal. Dengan mulut yang siap meniup kedua mata Bilal. Nahas, nasib sial diterima Rakana. Sebuah keplakan mendarat mulut di kepalanya.
"Jangan ada yang bicara. Lihat filmnya," kata Ustaz Taqy. Rakana kesal namun, menuruti perintah Ustaz resek itu.
Dia duduk menghadap ke depan lagi. Layar putih di sana menampilkan bagaimana sosok budak berkulit hitam dari Habsyah sedang di siksa. Bilal bin Rabah merasakan penganiayaan orang-orang musyrik tanpa ampun. Dia terus disiksa di siang hari, ketika matahari di atas ubun-ubun di padang pasir.
Orang Quraisy yang paling banyak menyiksa Bilal bin Rabah adalah Umayyah bin Khalaf. Rakana tahu karena di film tersebut di sertakan nama. Meski tak mengerti apa yang mereka bicarakan di film, setidaknya dia bisa menebak apa yang sedang terjadi.
"Lal, kok gak ada salinan bahasanya? Mana gue ngerti yang mereka obrolin. Apa mereka sedang ngegibahin orang?" bisik Rakana.
Bilal tak menjawab, dia terlalu menghayati film sampai kedua matanya meneteskan air mata. Rakana yang merasa diperhatikan melihat kembali ke layar. Dia bisa melihat Bilal bin Rabah tengah dicambuk punggungnya, tetapi Bilal mengucapkan "Ahad ... ahad ...."
Mereka menyiksa Bilal bin Rabah agar memuji Latta dan 'Uzza, tetapi Bilal justru semakin memuji Allah dan Rasulnya. Tak hanya sampai di situ, Bilal bin Rabah diseret dengan tali melingkar di lehernya. Namun, penyiksaan itu tak melemahkan imannya.
"Lal, kayaknya itu nenek moyang lo, ya? Namanya samaan. Gak kreatif emang orang tua lo," bisik Rakana.
Bilal langsung memukul bahu Rakana keras. Dia menatap tajam teman satu bangkunya itu. Kedua tangannya dikepal dan gatal ingin memukul Rakana lagi. Tetapi dia tak bisa melakukannya. Dia memeluk Rakana dengan erat dan menangis.
"Diem aja kamu, gak paham bahasa Arab, gak punya hati nurani, gak peka, gak simpati, itu Bilal bin Rabah, dia sosok yang luar biasa di jamanya. Makanya gunain otak kamu, belajar yang bener." Rakana hanya diam ketika di ceramahi Bilal. Dia membiarkan sahabatnya itu menangis sepuasnya.
"Iya, maaf. Gue kan gak paham bahasa Arab, otak gue gak nyampe ke Arab. Nyampenya ke kelab malam," kata Rakana mencoba menenangkan sahabatnya.
"Dosa tahu!" Bilal melepaskan pelukannya dan membersihkan ingusnya dengan lengan baju seragamnya.
"Ingat Allah itu ...." ucapan Bilal terhenti ketika Rakana membekap mulut Bilal dengan lengannya.
"Jangan berisik, ntar gue diceremahin lagi," desis Rakana.
"Bilal, Rakana! Kalian berdua silahkan persentasikan film tadi dengan bahasa Arab." Bilal dan Rakana terdiam ketika Ustaz Taqy menghentikan pertengkaran keduanya.
●DEAR, RAKANA●
Halaman mesjid tepatnya di bawah pohon ceri, kelompok Rakana tengah berdiskusi soal film tadi. Bukannya apa-apa, Rakana penasaran saja. Kenapa Bilal sampai menangis tersedu-sedu? Bahkan saat persentasi tadi Bilal terlihat semangat jihad.
"Kamu itu emang ngeselin! Masa sama Bilal bin Rabah aja gak tahu? Selain Bilal, ada juga Mushab bin Umair yang terkenal kisahnya," ucap Bilal.
"Kamu beneran gak tahu?" tanya Yasir.
Ke empat temannya itu menatap Rakana penuh tanya. Masa dirinya yang sudah enam belas tahun tidak tahu apapun soal agamanya. Islam melahirkan para mujahid-mujahid luar biasa, bahkan sosok Al Fatih saja bisa menaklukan konstatinopel di usianya masih muda.
"Ya, emang gue gak tahu apa-apa," jawabnya dengan lirih.
"Serius? Wah, payah," cibir Yasir.
"Apa lo bilang?" Rakana meninggikan suaranya.
"Malu dong sama umur, udah gede tapi gak tahu apa-apa soal Islam. Jangan-jangan, lo Islam KTP aja ya?" Rakana kembali terdiam. Dia memang tak tahu apa-apa soal Islam apalagi para tokoh-tokoh yang berpengaruh.
"Jangan putus asa, kami akan bantu kamu belajar. Dan paham itu Islam. Makanya kalau ngaji dan Ustaz ngasih tahu materi jangan tidur." Amar yang bersuara dengan membersihkan telapak tangannya yang kotor.
"Waktunya setoran, yuk. Selamat ya, hapalan kamu udah ada perubahan. Naik tingkat dikit ke surah Al Falaq," kata Yasir yang mendapat respon luar biasa. Rakana kira mereka akan menertawakannya, tetapi ke empatnya menepuk bahunya memberikan semangat.
Di dalam mesjid Rakana dan teman-temannya berbaris ke belakang. Rakana duduk depan karena penghormatan oleh teman-temannya. Di hadapan Rakana kini sudah ada Pak Kiai Jabir. Selaku pimpinan ponpes yang selalu mengetes hapalan-hapalan para santri.
"Silahkan Rakana, Ta'awuz dulu."
Rakana mengambil napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Kedua matanya terpejam. Dirinya mencoba berkonsentrasi agar bacaanya tidak salah. Cukup surah Annas saja yang di ulang sampai tiga puluh kali, untuk kali ini dia tak mau.
Bukan apa-apa, semakin dia diulang terus menerus, selama itu juga Ustaz Taqy akan menemaninya menghapal. Belum lagi Yasir yang akan mengeluarkan hadist dan dalil lainnya yang akan menyudutkannya. Lelah, rasanya. Tetapi, dia tak mau menyerah sekarang. Dia ingin membuktikan jika dia bisa kepada Ayahnya. Dan membuat Ayahnya menyesal telah mengusirnya.
●DEAR, RAKANA●
Semua sahabat nabi itu mulia, tidak ada yang lebih antara yang satu dengan yang lainnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Rakana ✔ (Cetak)
SpiritualPergaulan bebas adalah pola hidup Rakana. Hidup tanpa beban dan bebas sebebasnya. Selalu membuat onar sampai di keluarkan dari sekolah. Tingkah Rakana tidak baik membuat Ayahnya kesal dan berurusan dengan pihak sekolah. Berakhir pengusiran Rakana da...