[13]. Bertemu Sahabat

1.9K 126 35
                                    

Happy Reading...

"Nara-," Sapa dua orang wanita dengan wajah terkejutnya.

"Fe-fely, Fanya." Nara juga sama terkejutnya, walau ia jelas sudah mengetahui bahwa Fely bekerja di perusahaan ini namun untuk Fanya ia tak mengetahui itu karena sudah cukup lama ia tak berhubungan kecuali baru-baru ini dan tak sempat ia menanyakan pekerjaan sahabatnya itu.

"Jadi yang di omongin karyawan sini beneran lo, astaga gue seneng kita bisa satu tempat kerjaan walau gue bingung gimana bisa lo ada disini." Fely tampak memeluk Nara dengan senang di susul Fanya yang juga tersenyum cerah.

"Udah dong, kalian gak malu apa kalo ada yang liat kalian kaya gini sama office girl."

"Apaan sih lo lebay banget, lo pikir kita sahabat apaan yang tega sama sahabat sendiri. Tersinggung ni gue." Cemberut Fely mendapat kekehan dari Nara. 

"Iya enggak-enggak, maaf." Nara tersenyum bahagia memiliki sahabat seperti mereka, "Aku gak tau kalo Fanya di sini juga, aku lupa terus mau tanya kamu kerja di mana." Lanjut Nara begitu mereka telah menyelesaikan pelukan rindu.

"Iya Na gue kerja di sini, belum lama banget sih." Ucap Fanya.

"Eh iya gue juga sampe lupa cerita ke lo kalo gue satu kerjaan sama Fanya." Cengir Fely, Nara terkekeh walau mereka sudah berkontak satu sama lain tapi mereka memang tak terlalu sering berkomunikasi terlebih Nara yang memang jarang bermain dengan ponselnya, yang ia tahu Fanya memang sudah kembali tinggal di Jakarta namun  setiap weekend biasanya wanita itu akan pulang ke Bandung. 

"Kalian ngapain akrab gitu sama office Girl?" Suara seseorang yang tiba-tiba terdengar membuat mereka menoleh pada sumber suara yang berjalan menuju wastafel.

"Dih apaan sih Ran repot banget, Nara ini sahabat kita." Dengus Fely tak suka.

"Kalian? Sahabatan sama dia? Kok mau sih sama babu." Ia tampak melirik jijik pada Nara.

"Rani, jaga mulut lo ya." Bentak Fanya.

"Kenapa? Kan emang kenyataannya gitu, kaya gak ada orang lain aja buat dijadiin teman yang layak." Ucapan Rani membuat Fely hendak menerjang wanita yang saat ini berdiri dengan angkuhnya, namun Nara dengan sigap menahan agar tak menimbulkan keributan. Nara menggeleng pada Fely seolah mengatakan bahwa ia baik-baik saja.

"Denger ya Rani, jangan merendahkan orang lain karena kita itu sama aja di sini sebagai babu, paham lo." Fely berusaha menahan geramnya, jika Nara tak menghalanginya sudah dipastikan Wanita itu akan dipenuhi cakaran Fely. 

"Tetep aja beda kasta." Rani tampak acuh memutar bola matanya malas.

"Rani!!! Mending sekarang lo pergi atau kelakuan lo gue aduin sama atasan." Geram Fanya.

"Oke-oke." Ucapnya berdecih tak suka sambil berlalu begitu saja. Nara menghela nafas lega, beruntung kejadian ini tak menimbulkan keributan karena masih di jam kerja sehingga toilet tampak sepi. Namun Nara baru menyadari bahwa suara wanita itu sama persis dengan wanita yang membicarakannya beberapa waktu lalu dengan teman-temannya.

"Ngapain sih lo pake ngehalang-halangi gue buat baku hantam sama dia Na, seharusnya lo juga tu lap aja tu muka nya pake alat pel yang lo pegang biar mulutnya gak seenaknya ngehina lo gitu." Cerocos Fely.

"Denger Fel, ini perusahaan besar kalian mau di pecat cuma gara-gara ngeributin hal kaya gini aja." Ucap Nara, walau dia istri pemilik perusahaan ini tak mungkin keributan ini tak menimbulkan masalah untuk kedua sahabatnya.

"Tapi dia yang salah Na." Sahut Fanya kesal.

"Apa atasan kalian berbaik hati denger penjelasan kalian yang hanya membela orang kaya aku." Mereka terdiam membuat Nara mengulas senyum tipis.

"Yaudah kalian balik kerja gih, aku mau lanjutin kerjaan ku juga. Kita masih bisa ngobrol banyak di luar kantor, makasih udah jadi sahabat yang selalu ada buat aku." Ucap Nara mendapat anggukan pasrah dari mereka.

"Lo harus cerita banyak ke kita." 

"Iya Fely." Jawab Nara terkekeh, mereka akhirnya memutuskan untuk kembali bekerja meninggalkan Nara yang diam merenung.

🌿🌿🌿

Akhir-akhir ini Nara tak bertemu Arga lagi, bahkan bocah itu tak kembali kerumah nya. Padahal Arga pada saat itu berulang kali mengatakan bahwa ia senang bermain dengan Nara bahkan berkeinginan untuk berkunjung kerumah Gavin setiap saat, namun nyata nya setelah hari itu, Nara tak mendengar kabarnya lagi.

Nara berfikir apakah mama nya tak mengijinkan Arga bertemu dengannya lagi ketika mengetahui bahwa dirinya adalah istri dari suami ataupun mantan suaminya. Padahal Nara sangat merindukan bocah menggemaskan itu atau justru Gavin yang tak mengijinkan anak nya dekat dengan dirinya mengingat laki-laki itu tak menyukai nya.

Dengan langkah lunglai nya ia keluar dari dapur, namun langkahnya berhenti begitu melihat Gavin yang saat ini sedang duduk di sofa ruang tamu dengan kesibukannya memandangi tab miliknya. Nara menimbang keinginannya untuk menanyakan Arga pada Gavin tapi ia juga takut kalau Gavin tak menyukai pertanyaan nya.

Begitu lama ia sibuk dengan pikirannya akhirnya ia memutuskan untuk menanyakan langsung dengan Gavin, ia melangkah mendekat dengan perasaan ragu dan takut 

"Mas." Cicit Nara takut-takut.

"Hmmm." Jawab Gavin tak mengalihkan tatapannya dari tab, tangannya lincah bergerak, entah apa yang laki-laki itu kerjakan kemungkinan tidak jauh-jauh dari pekerjaan.

"Arga kenapa gak keliatan ya mas, apa mama nya melarang Arga untuk bertemu dengan ku karena aku-," ucapan Nara terpotong begitu Gavin menoleh dengan tatapan tajamnya.

"Dia tidak sejahat yang kamu pikirkan." Bentak Gavin membuat Nara terlonjak kaget, lalu menunduk dengan perasaan takut.

"Ma-maaf mas aku gak bermaksud seperti itu, aku hanya rindu dengan Arga biasanya kami gak sengaja bertemu jadi aku terbiasa dengan dia dan setelah hari itu aku gak melihat Arga lagi." Ucap Nara. Gavin  tampak menghela nafas lalu melanjutkan aktivitas yang tertunda.

"Buat kan saya kopi."

"Eh-," Nara mendongak kaget, tumben sekali Gavin mau menyuruhnya apa lagi dengan nada yang biasa saja.

"Apa kamu tuli." Nara kembali terkejut terlalu larut memandangi laki-laki yang sedari tadi tak melihat ke arah nya, ia terlalu berangan tinggi nyata nya laki-laki itu masih sama. 

"I-iya mas aku buatkan, sebentar." Nara buru-buru beranjak menuju dapur untuk membuatkan Gavin kopi, bibirnya tak berhenti tersenyum karena baru pertama kali Gavin mau menyuruhnya seperti ini ketika dirumah, padahal setiap ia membuatkan sesuatu Gavin selalu menolaknya dengan kata-kata pedasnya, setidaknya kali ini ada sedikit bahagia walau masih dengan dingin nya sifat dan sikap nya yang sulit Nara runtuhkan. Nara harap masih ada kesempatan waktu untuk mengubah rumah tangganya menjadi benar benar bahagia. Ya, Nara harap begitu dan untuk saat ini ia harus cukup dengan perintah Gavin di rumah mereka. 

TBC

Lembaran kisah (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang