Aku menoleh ke arah datangnya suara
"Eh kamu San, aya naon? Masuk pagi?"
"Iya, Pak. Tadi subuh cuma tidur sebentar abis dari sini semalem. Itupun saya nginep di kosan temen. Pagi-pagi harus berangkat lagi ke sini."
"Cape atuh pasti. Eh, ada apa San? Kayak lagi mikir gitu?" tanyaku to the point.
"Sebenernya saya malu bilangnya. Saya mau minta tolong..."
"Minta tolong naon?" dahiku mengerenyit.
"Duh jadi gak enak, gimana ya Pak." jawab Sandi bertele-tele.
"Sok atuh bilang. Siga ka saha wae."
"Kalo boleh, saya mau pinjam uang, Pak!" lanjut Sandi pelan tanpa berani menatap ke arahku.
Aku tak langsung mengiyakan. Aku perhatikan dengan tajam plus heran wajah Sandi. Perasaan semalam dia baru dapet duit dariku dan Agus. Kenapa sekarang mau pinjem uang lagi?!
Sandi menunduk pasrah menunggu jawabanku.
"Butuh berapa? Sorry, emang buat apa?" aku penasaran.
"Saya mau pinjem 100 aja, Pak. Lagi perlu, punten pisan." jelasnya tanpa menjawab pertanyaanku yang kedua.
Aku merogoh dompet di saku celana lalu ku-cek lembaran uang yang tersisa. Masih ada empat lembar seratus ribuan, selembar lima puluh ribu, dua lembar duapuluh ribuan lecek dan sisanya receh duaribuan entah berapa.
Kuambil selembar uang kertas merah bergambar Sukarno Hatta lalu menyerahkannya pada Sandi.
"Nih San... sorry gak bisa ngasih lebih, sisanya buat ongkos pulang saya soalnya. Belum sempat ke ATM. Ambil aja gak usah dibalikkin."
"Aduh... jadi gak enak, Pak. Gak apa apa ini?"
"Gapapa. Kan kamu lagi butuh! Lagian kalo minjem, kapan lagi kita ketemu belom tau."
Wajah Sandi berubah sumringah.
"Nuhun Pak Donny." Sandi berterima kasih sembari memberi gestur seperti menyembah.
Aku tepuk pundaknya.
"Udah...udah, bisi mau lanjut kerja, sok atuh. Nanti ketauan boss kamu dimarahin."
Sandi memberikan tangannya ajakku bersalaman. Setelah itu ia buru-buru berlalu dan menghilang di balik pintu back-office hotel. Aku menarik nafas panjang dan mematung sejenak. Semacam ada rasa gak enak di dalam hati, tapi aku tak bisa melacak karena apa.
***
Seperti yang Agus bilang di WA tadi, pintu kamar tak dikunci, aku langsung meraih gagang pintu dan membukanya. Benar saja dugaanku tadi, Agus tidak ada di kamar, masih anteng mandi sepertinya.
"Gus, masih lama lo? Kita ditungguin si Helmy, dia mau nganter kita ke terminal Guntur!" teriakku dari depan pintu kamar mandi yang tak tertutup rapat.
Dari dalam, aku dengar suara cucuran shower. Tapi tak ada sahutan dari Agus.
"Gus??" aku panggil sekali lagi lebih lantang. Masih tak ada jawaban dari dalam.
Penasaran, pintu kamar mandi aku dorong dan kucondongkan badan ke arah depan, membiarkan kepalaku masuk sebatas leher untuk memeriksa keadaan di dalam. S
KAMU SEDANG MEMBACA
Out of Town
Romance🔞 Gara-gara traveling buat sekedar escape, semuanya terkuak. Kami sama-sama sudah menikah dan pernah menikah. Tapi 'kejadian itu' tak dapat dielakkan. Tidak hanya dengan rekan kantorku ini, muncul sosok lain yang tak pernah kuduga sebelumnya.