Aku tidak langsung mengiyakan permintaan Agus meski kepala sudah dipenuhi hasrat yang hampir membuncah. Aku hanya membalikkan badan hingga akhirnya berhadap-hadapan. Rangkulan tidak kulepaskan. Kali ini, aku memeluk tubuh Agus dengan lebih leuasa, menempelkan semua yang bisa ditempelkan tanpa ada sekat lagi.
Kedua organ reproduksi kami sama-sama mengeras & beradu satu sama lain. Dengan lembut aku gesek-gesekkan rambut pubik lebatku di leher zakar Agus yang tegak berdiri menghadap ke atas. Ia meringis keenakan.
Bibir Agus memang sejak lama telah membuatku horny. Bentuknya tak tipis - tidak juga tebal, dengan warna kemerahan alami. Berpadu dengan face-hair yang tumbuh indah di wajahnya, dipastikan mampu menarik setiap mata perempuan dan pria penyuka lelaki, tidak terkecuali aku.
Aku lumat bibir indah Agus dengan nafas memburu terdorong birahi. Aku julurkan lidah ke bagian dalam bibir dan mulut Agus. Boss-ku ini menyambut gesit. Ia balas menghisap lidahku penuh nafsu. Aku hisap lidah, liur dan bibir Agus lebih kencang lagi sambil memiringkan sedikit kepala ke arah kanan. Lidah kami 'bertempur' sengit. Sementara kedua tanganku mulai turun meraba nipples Agus yang sudah ikut terangsang.
Agus kembali meringis...
"Arghh...!" tiba-tiba ia memundurkan kepala dan melepaskan ciumanku.
Aku menatapnya dan bertanya melalui sorotan mataku.
"Kita kan mau cari makan, Don!"
Aku iyakan dengan mengangguk sambil tersenyum. Sebelum kutarik lagi celanaku ke atas, aku sempatkan lebih dulu memeluk tubuh Agus untuk kesekian kalinya. Ku tepuk lembut punggungnya beberapa kali dan Agus balas menepuk punggungku.
"Ya Tuhan... aku bahagia. Detik ini, menit ini, saat ini. Terima kasih!" ucapku refleks di lubuk hati terdalam.
Tetapi ada kontradiksi di dalam pikiranku, apakah aku layak 'melibatkan' sosok Tuhan dalam kegiatan maksiatku? Apakah syukurku ini akan diterima-Nya? Bukankah menurut 'pembawa kabar', aktifitas semacam ini dilaknat Sang Pencipta?
Overthinking-ku kumat... and then I got anxiety...
***
"Malah ngelamun... yok Don, cari makan...!" ucap Agus membuyarkan fokusku.
"Eh... iya Gus, ayo!" aku menjawab agak kikuk sambil menarik ke atas celana boxer-ku yang posisinya sudah terjatuh nutupin mata kaki bersama celana pendek. Aku berganti celana panjang yang tergantung di lemari, jeans belel kesayangan bekas pakai kemarin.
Rupanya tadi aku melamun sangat dalam, hingga tak sadar sekarang Agus sudah berpakaian, lengkap dengan sweater orange bertuliskan Pu** and Be**, brand sejuta umat yang kini banyak dikoleksi orang.
"Ready?"
"Ayok...! Ke mana kita, Gus?"
"Ke kota, naik angkot sekali depan hotel!"
"Masih ada jam segini?"
"Ya... kalo nggak ada, pake GowCar... gak sampe 5 kilo, kok! Udah gw cek maps-nya."
Sesampainya di pinggir jalan depan hotel, kami terdiam beberapa saat, berharap masih ada angkutan-kota lewat. Meski khawatir sudah gak ada karena arloji di tangan kiriku jarumnya sudah menunjuk ke angka 8 lewat 50.
"Kita tunggu dulu bentar, 5 menitan!" ucap Agus dengan penuh harap.
"Iya..." jawabku pendek.
Tidak sampai 3 menit, datanglah angkot yang kami mau. Sang sopir membunyikan klakson beberapa meter sebelum lewat di depan kami sebagai isyarat/tawaran apakah kami mau naik mobilnya...
"Alun-alun, Kang?" tanya Agus pada sopir angkot itu.
"Sumuhun, Pak. Terakhir ieu...!"
Tak mau buang waktu, kami langsung naik. Rupanya di dalam ada seorang lelaki usia kira-kira 45 tahun yang duduk mepet ke belakang. Perawakan pria itu gempal dan brewokan. Saat kami naik, ia menoleh ke arah aku dan Agus. Begitu beradu tatap, pria setengah baya itu melemparkan senyum. Aku respon dengan sedikit anggukan.
"Alun-alun nya, Kang!" ujar Agus lagi ke sang sopir memastikan tak ingin kelewatan turun.
"Mangga, Pak. Sakedap deui dugi!"
Hmmm... aku tak yakin dengan kata sakedap yang diucapkan si akang sopir itu. Aku sudah paham kebiasaan orang desa atau kota kecil dalam menunjukkan jalan, tipikalnya selalu begitu, bilang dekat padahal masih jauh.
***
Tumben jalanan kota Garut malam ini lebih ramai dari yang kuperkirakan. Udara dingin menusuk tulang tidak menyurutkan niat mereka yang ingin bermalam minggu di udara terbuka kota dodol ini, termasuk aku dan Agus.
Mata kami tak lepas memperhatikan ke luar jendela, sedikit takjub dengan keadaan Garut saat ini, berkembang pesat hampir menyusul kota besar dalam hal fasilitas dan tempat nongkrong. Beberapa coffee-shop kekinian aku lihat di kiri kanan jalan dengan jarak tak terlalu berjauhan.
"Edan... rame juga Garut ya!" ucap Agus dengan mata tetap tertuju ke luar kaca mobil.
"Iya, banyak spot nongkrong ABG. Udah kayak kota gede aja!"
"BTW Don, gw belom bilang ya... Ntar malem si Sandi gw suruh dateng ke hotel!"
"Lah? Mau ngapain?"
"Tadi waktu kita di pemandian gw iseng-iseng nanya, apa dia kenal terapis massage yang enak!"
"Bukannya kita sempet ada yang nawarin? Inget gak, teteh-teteh menor itu?" tanyaku.
"Dih, males... gw maunya bapak-bapak atau minimal akang-akang lah!"
"Kenapa emang?"
"Biar nyantai lah Don, risih gw kalo diraba-raba bondon!"
"Hahahaha!" tawa kami pecah.
Si gempal menoleh pada kami, mungkin heran mendengar kami ngakak tiba-tiba.
"Terus si Sandi mau bawa orang, gitu?" sambungku penasaran.
"Heu euh! Ngomongnya sih begitu."
Setelah itu hening tak ada percakapan lagi di antara kami. Otakku sekarang sibuk berkhayal atas apa yang Agus utarakan tadi. Terselip keinginan nakal untuk menghabiskan malam ini bersama Agus, si Sandi dan... arghhh... terapis yang bakal dateng nanti.
***
"Tos dugi, Pak! Alun-alun..." tiba-tiba si akang sopir bersuara lantang sambil menengok ke belakang.
"Oh, sampe ya, Kang?" respon Agus sambil bersiap-siap turun.
Ia menyerahkan selembar uang sepuluh ribu yang digenggamnya dari tadi pada Kang Sopir.
"Angsulanna mah candak we, Kang!" ujar Agus.
Setelah aku turun dan menginjak bumi, tak diduga, lalaki gempal itu ikut turun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Out of Town
Romance🔞 Gara-gara traveling buat sekedar escape, semuanya terkuak. Kami sama-sama sudah menikah dan pernah menikah. Tapi 'kejadian itu' tak dapat dielakkan. Tidak hanya dengan rekan kantorku ini, muncul sosok lain yang tak pernah kuduga sebelumnya.