Part 38

1.9K 78 13
                                    


Buru-buru aku membantu Helmy memapah tubuh Pak Sasongko ke tempat tidur. Agus yang juga tanggap dengan keadaan, segera mengambil tas Pak Sasongko lalu merapatkan pintu yang setengah terbuka. 

Kulihat Helmy memerah mukanya. Sepertinya Aa itu merupakan panggilan yang hanya ia gunakan ketika sedang berdua saja dengan Pak Sasongko.Namun, tidak ada yang peduli dengan perkara lidah Helmy yang keseleo itu.Pak Sasongko lebih mementingkan urusan badannya daripada mendengar secara cermat panggilan yang digunakan Helmy kepadanya.Sedangkan Agus, masa bodoh dengan apa yang diucapkan Helmy. Mendengar juga tidak karena ia berdiri agak jauh dari ambang pintu. 

"Proyek anjing kurap! Untung tadi saya melihat ada lembar check fiktif yang terjatuh dari buku pejabat hotel yang ikut sarapan tadi. Ketika perut melilit, saya pergunakan kesempatan itu buat kabur," ujar Pak Sasongko sambil bersandar ke kepala tempat tidur. 

Aku membantu melepas kaos kaki dan sepatu Pak Sasongko. 

"Ambilin minum, Hel," perintahku pada Helmy. 

"Sekarang sakitnya masih, Pak?" tanyaku sambil memijat kaki Pak Sasongku buat mencari perhatian. 

"Masih, Don. Sekalian obatnya, Helmy! Sepertinya saya masih harus ke toilet lagi." 

"Ini saja, Pak," ucapku buru-buru sambil mengeluarkan dua butir obat yang diberikan Helmy tadi. 

Obat itu sudah kubungkus dengan plastik bening yang biasa kugunakan untuk menyimpan obat. 

"Kamu sakit perut juga, Don? Kenapa?" tanya Pak Sasongko dengan wajah heran. 

"Perut saya dan Agus juga melilit tadi Pak. Sepertinya ada yang tidak beres dengan makanan di hotel." 

"Keparat, benar-benar keparat itu hotel," marah Pak Sasongko makin menjadi-jadi. 

Helmy datang membawa segelas air putih dan aku segera menyambutnya dengan mengulurkan tangan kanan.Kulihat ekspresi wajah Helmy yang kurang senang melihatku mengganggu tugasnya. Tanpa berkata apa-apa, Helmy menyerahkan gelas berisi air hangat kepadaku. 

"Helmy, batalkan seluruh agenda kita di sini. Kita harus balik ke Bandung. Saya merasa sesuatu yang buruk akan terjadi jika kita tidak segera angkat kaki." 

"Baik, Pak," ujar Helmy lalu melangkah ke meja kerja. Ia segera menghidupkan laptop. 

"Minum dulu ya, Pak," ujarku sambil mengangsurkan obat dan air putih berbarengan. 

"Terima kasih, Don. Saya kalau sudah sakit perut begini, efeknya kemana-mana. Sampai masuk angin dan mual-mual segala."Pak Sasongko lalu menelan obat dan minum beberapa teguk. 

"Saya kemarin sempat pijat, Pak. Direkomendasiin sama petugas hotel itu. Bagus pijatannya. Bikin badan ringan dan segar lagi. Bapak mau coba barangkali?" tawarku. 

Pak Sasongko tampak berpikir sejenak. 

"Sebenarnya saya tidak mau lagi berhubungan dengan apa pun dari hotel itu, Don. Tapi karena kamu yang menawarkan, saya mau coba. Lama nggak datangnya? Soalnya kalau perut saya bisa diajak kompromi, rencananya mau balik ke Bandung siang ini juga." 

Sejenak aku tertegun mendengar ucapan Pak Sasongko terutama pada bagian, karena kamu yang menawarkan.Berarti kalau bukan aku yang menawarkan pijatan, Pak Sasongko tak bakal sembarangan saja mau menerima? 

"Saya coba hubungi orangnya dulu, ya, Pak," jawabku sambil mengeluarkan ponsel. 

Pak Sasongko mengangguk.Begitu menelepon nomor Pak Dadang, ternyata langsung diangkat pada panggilan pertama. 

Out of TownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang