Part 52

2.3K 113 25
                                    

Se-simple itu saja aku sudah cukup merasa bahagia. Perasaan nyaman menyeruak memenuhi semua sisi di sanubari terdalam. Genggaman tangan Pak Sasongko menjelma seperti sebuah pelukan hangat penuh renjana. 

Mataku terpejam, menikmati apa yang bisa kunikmati saat ini. Sebuah moment tak biasa bersama pria yang kupuja sejak lama, walau hanya sebatas khayalan, tidak lebih.  Aksi sederhana ini tentu saja bukan interaksi seksual bermuatan gelegak nafsu, hanya genggaman tangan --- tetapi punya efek yang besar bagi hati dan jiwaku yang selama ini merasa sendiri. Memang beginilah kalau hati sudah terlibat, hal kecil bisa bermakna raksasa melebihi penampakannya. 

***

Telinga kananku kemudian menangkap suara tarik hembus nafas teratur. Aku menoleh, oh rupanya Pak Sasongko mulai tak kuasa menahan kantuk. Ia terlelap dengan kepala sedikit miring ke arahku. Ingin sekali kukecup bibir indah lelaki mature ini, tapi... aku masih berpikir panjang, meski kutau kedua lelaki di jok depan itu takkan protes atas apa yang kulakukan pada Pak Sasongko.

Aku betulkan posisi kepala Pak Sasongko. Sengaja kubiarkan ia bersandar penuh di pundakku. Ku-tak mau leher pria dewasaku ini sakit kala terjaga nanti. Hembusan nafas lembut yang keluar dari hidungnya bagai suara angin sepoi pegunungan di telingaku. Mampu mendamaikan overthinking yang sesekali muncul dalam kepala. Ditambah, aroma nafas Pak Sasongko yang terhirup indera penciumanku semakin menyempurnakan ketenteraman batin. Tuhan, aku tak ingin ini cepat berakhir...

Kami masih saling bergenggaman, walau jemari Pak Sasongko sudah tak bertenaga. Hanya tanganku saja yang masih menggenggam dengan kekuatan penuh sejak awal tadi. Aku seperti tak ingin kehilangan. Mataku mulai berair, larut dalam haru bahagia.

***

Aku baru tersadar kalau Helmy dari tadi sedang memutar Glenn Fredly - album Selamat Pagi Dunia di tape mobil - nyambung bluetooth dari akun Spotify premium-nya, dan track yang sedang terputar sekarang adalah Sekali Ini Saja. Mataku auto-becek, entah kenapa liriknya begitu perih untuk disimak. Aku pun tak paham kenapa sekarang, detik ini aku jadi melow begini. Jiwaku sesak terasa diaduk-aduk. Perasaan yang semula damai, kini terkontaminasi oleh alunan musik dan suara istimewa Glenn Fredly.

Aku tak tahan untuk tidak sesegukan.

Helmy menoleh dari spion tengah.

"Lo kenapa, Don??"

Aku tak kuasa menjawab, semakin perih kurasa hati ini.

Pak Sasongko terbangun gara-gara gaduh-ku.

"Hey... Don, what happened?" tamya Pak Sasongko dengan suara parau.

Aku masih belum mampu menjawab pertanyaan orang-orang di sekitarku ini. Tenggorokan terlalu berat untuk bersuara. Aku cuma bisa menggeleng. 

Pak Sasongko merangkul dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya menggenggam jemari kiriku, erat sekali. Air mata terbit semakin deras.

***

"Kita sudah sampai mana, Helmy?" tanya Pak Sasongko.

"Belum masuk Nagreg, Pak. Masih jauh..." respon Helmy singkat.

"Kalian sudah pada lapar belum? Cari tempat makan saja dulu Hel. Sekalian saya ingin kencing, sudah gak kuat, nih!"

"Baik, Pak!" 

Seolah semesta paham maunya isi mobil ini, dalam jarak tidak sampai 200 meter, di depan terlihat rumah makan besar ber-menu masakan Sunda yang memang terkenal di Garut sejak dulu.

"Mau di Saung Mang ****  itu aja, Pak?" tanya Helmy pada boss-nya.

"Boleh. Enak sambel dan babatnya di situ. Saya jadi lapar." jawab Pak Sasongko. 

Mendekati restoran itu, Helmy menyalakan lampu sen ke arah kiri memberi isyarat pada pengemudi di belakang, lalu dengan gesit membelokkan mobil masuk ke space kosong di pelataran depan rumah makan yang cuma cukup buat 2-3 mobil saja. Wajar lah tempat ini selalu penuh, tak hanya di jam makan, karena memang masakannya super enak ---bikin lupa diri ambil nasi---- dan semua sepakat.

***

"Kalian pesan saja sekalian cari meja lesehan yang di belakang, biar seger ngadep view sawah. Saya ke kamar kecil dulu." pinta Pak Sasongko.

"Saya ikut, Pak. Mau cuci muka." ujarku pelan.

Sungguh, aku tidak bermaksud modus mau nguntit Pak Sasongko ke kamar kecil. Aku benar-benar ingin membasuh wajah yang sempat tak karuan abis mewek tadi. Mata agak sembab, butuh percikan air gunung, mumpung masih di kota Garut yang airnya masih alami.

"Ayo Don, katanya mau ke kamar kecil juga. Kamu pernah makan di resto ini?"

"Belum, Pak."

"Cobain nanti babat goreng atau paru-nya. Sambelnya pilih yang terasi. Enaknya gak ada yang ngalahin. Moga bisa bikin kamu enakan!!" urai Pak Sasongko penuh perhatian.

Aku hanya mengangguk tanda mengiyakan, sambil tersenyum tipis.

Kami jalan bersebelahan. Perasaanku sudah terkontrol sekarang, tak serapuh waktu di mobil tadi. Kami tak lagi bersuara, aku sudah kehabisan ide berkata-kata. Pun Pak Sasongko, dia sudah amat sangat kebelet kencing. 

Beruntung sekali, toiletnya kosong, hanya ada satu lelaki paruh baya tengah buang air kecil di urinoir paling ujung. Pak Sasongko berjalan dan memilih tempat pipis di ujung satunya yang hampir bersebelahan dengan wastafel tempatku berdiri.

Aku fokus pada niat awalku untuk mencuci muka. Sejenak aku tatap pantulan bayangan yang ada dalam cermin. Tiba-tiba rasa perih kembali tersembul saat aku tatap tajam matanya. Terlihat jelas bagaimana merananya, kesepian dan kosongnya hati si pemilik mata itu. 

Air hangat kembali merembes melalui kedua kelopak mataku. Buru-buru aku basuh seluruh muka dengan tangkapan air kran di kedua telapak tangan. Aku ulangi beberapa kali hingga tak sadar Pak Sasongko sudah berdiri di belakangku.

"Kamu sepertinya tengah memikirkan sesuatu yang berat. Ayo ngobrol sama saya. Cerita apa yang kamu rasakan, Don! Gak perlu sungkan."

Tawaran pria ini membuat sisi emosionalku semakin membuncah. Kalau saja aku tak kendalikan, bisa pecah dan timbulkan keanehan di toilet ini. Aku cuma mampu menjawab lirih tawaran Pak Sasongko dengan suara bergetar.

"Iya, Pak..."

"Ayo sekarang kita makan." ajak Pak Sasongko sambil menepuk pundakku 2x.

Aku mengangguk lalu berbalik badan membuntuti Pak Sasongko yang sudah lebih dulu berjalan keluar toilet.

Belum sampai 10 langkah, Pak Sasongko berhenti dan menoleh ke belakang. Aku stop berjalan tepat di samping dia.

"Ada apa, Pak?"

Ia mendekatkan wajahnya ke telinga kiriku dan berbisik.

"Mulai sekarang jangan panggil saya Bapak!"

Gestur terkejutku tak bisa disembunyikan. Mataku setengah terbelalak dengan dahi berkerut.

"Kenapa Pa.... eh...." 

"Panggil saya Mas atau Abang... atau terserah enakmu apa."

"Ohh... o...ke..."

"Oya... bulan depan saya resmi cerai dengan istri!"

(SELESAI)


__________________________________________

Terima kasih banyak untuk yang sudah setia membaca cerita OUT OF TOWN INI. Saya banyak bertemu kawan baru di sini, dan senang bisa memberi sedikit hiburan di tengah kesibukan kalian masing-masing. Tapi jangan khawatir, kisah ini masih akan terus berlanjut di judul yang lain dengan konflik dan plot yang semakin tidak terduga.

Salam!

Out of TownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang