Part 39

1.8K 88 9
                                    


Andai saja aku tidak pura-pura lugu menjawab pertanyan Pak Sasongko tadi, mungkin sekarang aku sudah menjawab, sekalian kita mandi bareng saja, Pak. Saya pasrah mau bapak apain.Namun, tentu saja itu tidak kulakukan. Bisa rusak citraku seketika di mata Pak Sasongko. 

"Bisa, Pak. Apa yang bisa saya lakukan?" jawabku dengan lugas. 

"Tolong sirami badan saya sekalian sabuni. Saya masih belum bisa berdiri lama-lama. Di kolong bawah westafel ada jongkokan. Bawa kemari biar saya duduk di situ." 

Dengan patuh, kulakukan perintah Pak Sasongko.Setelah tubuh telanjang Pak Sasongko duduk di atas jongkokan, kuarahkan shower ke kepala terlebih dahulu.Kuusap perlahan-lahan kepala bulat Pak Sasongko. Rambutnya lebat, dengan campuran warna hitam dan silver yang bikin iri. 

Berlanjut ke bagian wajah, kubasahi lambat-lambat rahang Pak Sasongko. Jangan sampai air memasuki mata, hidung, mulut, dan telinganya. Kuraba kumis Pak Sasongko. Kupastikan kumisnya itu basah semua sebelum lanjut membasahi leher ke bawah.Aku jadi berandai-andai bagaimana kalau Pak Sasongko sampai mencium selangkanganku dengan kumisnya itu. Pasti aku akan mendesah tak karuan karena geli-geli keenakan. 

Kelar bagian kepala dan wajah, aku turun ke bagian badan. Aku siram bagian dada dan berlanjut ke perut, pinggang, selangkangan, paha, betis, lalu turun ke kaki.Semuanya berjalan normal dan tidak ada masalah. Melihatku sibuk bekerja, Pak Sasongko diam saja dan tidak mau mengganggu.Aku pindah ke bagian belakang tubuh Pak Sasongko. Kugunakan tangan untuk mengusap punggung Pak Sasongko agar air membasahi tubuhnya secara merata.Begitu badan Pak Sasongko yang telanjang bulat sudah basah kuyup, aku bersiap untuk mengambil sabun. 

"Disabuni sekarang, Pak?" tanyaku memastikan. 

"Iya, Don. Pakai spons, ya. Biar badan saya bersih." 

Segera kutumpahkan sabun cair ke atas spons dan mulai menggosok badan Pak Sasongko.Awalnya tak ada masalah ketika menyabuni tubuh belakang Pak Sasasongko, karena aku hanya menyabuni punggung sampai sebatas pinggang.Tapi, begitu pindah ke depan dan menyabuni ketiak Pak Sasongko yang dipenuhi bulu, sesuatu dalam diriku mulai bergejolak. 

Ketika sabunan berlanjut ke puting dada Pak Sasongko yang kenyal, pertahananku perlahan-lahan mulai ambyar. Keinginan untuk mencicipi dua puting itu meronta-ronta di kepala.Begitu tanganku turun ke bagian perut yang tidak begitu buncit, perlahan-lahan kejantananku kini mulai naik. 

Edan, bagaimana kalau nanti sabunanku semakin turun? Bisa-bisa burungku ini ngaceng maksimal dan aku hanya bisa membiarkannya horny begitu saja.Tapi untunglah aku memakai celana jeans sehingga seperti apa pun keadaan benda perkasaku di dalam sana, tetap tidak akanmenarik perhatian. Yang penting sekarang ini adalah menutupi kenyataan bahwa aku begitu sangat bergairah dengan tubuh bugil Pak Sasongko. 

Memasuki daerah bawah pinggang, bukannya berdiri agar mempermudah aku menyabuninya, Pak Sasongko malah mengangkangkan kaki. Tentu saja ini membuatku semakin tidak kuat. 

"Bisa, kan, Don, menyabuni pangkal paha saya?" pertanyaan Pak Sasongko memecah keheningan yang tercipta. 

"Bisa, Pak," jawabku dengan cuek. 

Sebisanya aku mencoba mengesankan bahwa pemandangan Pak Sasongko yang sedang membuka paha ini bukanlah sesuatu yang perlu ditanggapi secara berlebihan.Segera tanganku menyelinap ke lipatan pangkal paha Pak Sasongko lalu menuju junior yang perlahan-lahan mulai bangun.Kusabuni bulu kelamin Pak Sasongko dengan teliti. 

Karena tebal, aku memiliki kesempatan lebih lama menggosok daerah ini.Pak Sasongko tak merasa terganggu dengan tanganku yang agak lama bekerja pada bagian rahasianya. 

Out of TownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang