Begitu mendekati lift, kulihat ada petugas room service yang hendak masuk.
"Mas, tunggu!" teriakku.
Mumpung ada dia, lebih baik kumanfaatkan untuk bareng ke atas sekalian. Perutku sakitnya sudah hilang. Aku rasa ini juga berkat makanan yang kupilih barusan. Tak apalah aku ditertawakan Agus dan Helmy. Yang penting aku sudah mengikuti protokol kesehatan dalam menghadapi perut mulas. Sebenarnya aku mengkhawatirkan Agus yang tadi tidak menjaga menu makanannya. Kalau ia sampai mulas di jalan bisa repot juga. Tapi nggak apa-apalah. Kalau naik mobil pribadi sih gampang. Tinggal berhenti di tempat yang dimau. Mudah-mudahan mood Pak Sasongko tidak turun drastis terhadapku sehingga ia masih berkenan mengajak kami untuk balik bersama ke Bandung.
Aku senang aku bisa mengatasi mulasku ini. Kurasa yang keluar barusan adalah akhir dari penderitaan perut yang melilit. Semoga saja begitu. Yang menjadi masalah sekarang adalah kotoran yang menempel di celana dalam ini. Kalau mulas doang, nggak perlu repot-repot buat naik ke atas segala. Aku tinggal mengeksekusi di toilet terdekat.
Begitu mendengar teriakanku, petugas itu menahan langkahnya masuk ke dalam lift. Ia sengaja menunggu dan membiarkanku masuk terlebih dahulu.
"Lantai berapa, Pak?" tanyanya ramah begitu kami sudah di dalam lift.
Aku menyebutkan lantai kamar Pak Sasongko berada. Melihat petugas room service ini, aku jadi teringat Arman. Apalagi seragam yang dipakainya persis dengan yang dipakai Arman. Postur tubunya yang tinggi juga mirip dengan Arman. Hanya saja, dalam pandangan subjektifku, Arman terlihat lebih terawat. Kulit putih bersihnya tidak ada tandingan buat lelaki seumurannya.
Lift berhenti di lantai tiga. Lelaki itu keluar lift sambil pamit sekadarnya kepadaku. Aku mengucapkan terima kasih kepadanya. Lift kembali naik dan berhenti di lantai lima. Buru-buru aku keluar dan langsung menuju kamar 508. Suasana lorong kamar sepi. Tak ada satu sosok manusia pun yang lewat. Entah kalau makhluk yang bukan manusia. Sial, kenapa aku malah teringat kejadian horor di hotel tempat Arman bekerja itu?
(Tentang Arman dapat dibaca pada cerita DadSvr berjudul Tidak Boleh Telanjang di Sini).
Langkahku tiba di depan kamar Pak Sasongko. Aku jadi berpikiran sedang apakah kedua gadun itu sekarang? Apakah mereka sedang berbuat yang tidak senonoh?Coba saja aku bisa membuka pintu ini dari luar, pasti aku bisa melihat apa yang terjadi di balik pintu kamar 508 ini sekarang. Kalau aku mengetuk lalu pintu dibukakan, sudah pasti aku tidak bisa melihat pemandangan yang barangkali disembunyikan.
Tak ada pilihan lain. Kuketuk pintu kamar sambil memanggil nama Pak Dadang. Anehnya, tidak ada sahutan balasan dan juga tidak ada bunyi langkah yang mendekat.Jangan-jangan Pak Dadang sudah kabur karena Pak Sasongko tertidur? pikirku.Atau apa mereka sedang bertempur di atas ranjang sehingga tidak menyadari ada ketukan pintu?Pikiranku mulai macam-macam. Andai saja pintu ini bisa terbuka tanpa dibukakan dari dalam, aku akan sangat berterima kasih sekali. Tapi bagaimana caranya? Memangnya bisa?
Kembali kuketuk pintu keras-keras. Kini nama Pak Sasongko ikut kupanggil, kali saja ia ketiduran dan benaran ditinggal Pak Dadang.Tapi lagi-lagi usahaku gagal. Tak mungkin pergi kemana-mana karena celana dalamku dipenuhi noda, kuputuskan duduk di depan pintu. Capek juga ternyata menggedor pintu yang tebal ini.Beberapa menit duduk di lorong, seorang petugas room service melewatiku. Lebih baik aku mencoba peruntungan, kali saja petugas ini dapat membantu, pikirku.
"Mas, tunggu! Bisa bantu saya?" teriakku sebelum lelaki itu bertambah jauh.
Petugas itu menghentikan langkahnya. Ia berbalik badan dan menoleh ke arahku. Aku melihat wajah yang tidak asing. Malahan baru saja melintas di benakku beberapa saat lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Out of Town
Romance🔞 Gara-gara traveling buat sekedar escape, semuanya terkuak. Kami sama-sama sudah menikah dan pernah menikah. Tapi 'kejadian itu' tak dapat dielakkan. Tidak hanya dengan rekan kantorku ini, muncul sosok lain yang tak pernah kuduga sebelumnya.