Suara tawa yang renyah terdengar dari sepasang kekasih yang sedang melempar canda di salah satu meja sebuah cafe. Suara tawa yang menggelegar itu kerap kali membuat orang lain memberikan atensi pada keduanya. Gadis dengan rambut sebahu sesekali terlihat menyeka sebuah cairan bening yang lolos dari ujung manik legamnya.
"Udah berhenti, kamu sampe nangis tuh."
"Kamu yang mulai."
Tawa kedua insan itu perlahan mereda. Meskipun masih tersisa sedikit kikikan dari sang gadis.
"Aku janji, bakal bikin kamu bahagia terus."
"Tapi sekarang aku nangis."
"Tangis bahagia, kan?"
Sang gadis pun kembali tersenyum sebelum kemudian melirik arloji yang melingkar di tangan mungilnya.
"Balik yuk? Waktu istirahatnya sudah hampir selesai." Gadis itu menyeruput habis minumannya kemudian berdiri dari duduknya. Begitupun dengan lelaki yang sedari tadi duduk berhadapan dengannya. Alasan kenapa gadis itu selalu tersenyum.
Akhirnya mereka berdua berjalan beriringan. Hanya butuh waktu lima menit untuk sampai di kantor. Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk kembali pada kesibukan masing-masing.
Kim Jisoo, gadis dengan surai hitam legam dan tubuh yang mungil itu memasuki ruang kerja miliknya. Duduk manis di depan komputernya, kembali pada rutinitas yang harus ia jalani setiap harinya.
Meja kerja yang berantakan, kertas bertebaran dimana-mana. Begitulah seorang Jisoo, selalu berantakan. Berbeda dengan sahabatnya, Park Yuna. Gadis yang meja kerjanya bersebelahan dengan Jisoo itu merupakan gadis yang pandai, tertib, dan selalu teratur. Meja kerjanya selalu rapi dan bersih.
"Tumben tepat waktu?" Tanya Yuna pada Jisoo. Karena biasanya setelah jam istirahat, Jisoo pasti terlambat beberapa menit. Tidak pernah tepat waktu.
Jisoo hanya membalas pertanyaan Yuna dengan cengiran. Berhasil membuat lawan bicaranya mendelik sinis.
Tiba-tiba telepon yang berada di meja Jisoo berdering. Berhasil membuat gadis dengan mata bulat itu terkejut kemudian mengangkat gagang telepon dengan tergesa. Raut wajahnya mendadak cemas. Sesekali dia menganggukan kepalanya, padahal seseorang diseberang telepon sana tidak akan tahu kalau dia melakukan hal itu.
Beberapa menit berlalu sebelum Jisoo menutup gagang teleponnya, ia sempat meminta maap terlebih dahulu.
Yuna yang sedari tadi mengamati tingkah laku sahabatnya itu lantas penasaran dengan apa yang terjadi. Dengan raut wajah yang keheranan, Yuna kemudian menggerakan kepalanya singkat. Dagunya terangkat kecil, seakan bertanya apa yang terjadi.
Jisoo menghembuskan napasnya kasar. Matanya mengerjap beberapa kali.
"Ibu Min.. penulis Gong menanyakan tentang sejauh mana progres pengecekan naskah novel miliknya.. dan aku belum selesai mengerjakannya." Ucap Jisoo yang diakhiri dengan kekehan ringan. Yuna hanya mendengus mendengar penuturan sahabatnya itu. Matanya mendelik malas. Jisoo selalu begitu, tidak teliti dan ceroboh. Dia terkadang lupa dengan deadline tugasnya.
Mereka bekerja di perusahaan percetakan terbesar di Seoul. Jisoo dan Yuna berada pada divisi editing. Tugasnya mencari, memperbaiki, dan menerbitkan naskah.
"Lalu bagaimana sekarang?"
"Aku harus membereskannya hari ini, lembur lagi—" Jisoo menghembuskan napasnya kasar sambil mengerucutkan bibir tipisnya itu.
"Mangkanya lain kali harus lebih teliti, jangan ceroboh. Bagaimana kalau tiba-tiba Ibu Min mengirim surat pengunduran diri untukmu?" Yuna mencoba menakut-nakuti Jisoo. Gadis itu sontak menggeleng cepat, menjawab pertanyaan dari Yuna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lost in lust [M]
Fanfiction[COMPLETED] Dalam hidupnya, baru kali ini Jungkook dihadapkan dengan pilihan yang sangat sulit. Perasaannya seolah diobrak abrik. Takdir dengan seenaknya menertawakan kehidupan seorang Jeon Jungkook.