Satu bulan sepuluh hari, sudah berlalu. Hubungan Axel dan Faranisa juga berjalan baik-baik saja, tak ada masalah di antara mereka. Walau pasangan itu tak pernah kencan lagi di luar, kecuali di sekolah. Itu pun hanya di kantin, sesekali juga dilakukan di perpustakaan sambil membaca buku. Axel juga sudah disibukkan dengan pelajaran-pelajaran, mengenai dirinya yang akan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Michael dan Faranisa sudah sepakat tidak akan memberi tahu perihal ini kepada siapa saja, orang tuanya sekalipun. Jadwal periksa rutin selalu Faranisa lakukan, Michael yang selalu mengantarkannya ke rumah sakit. Obat-obat yang diberikan dokter juga selalu dimakannya, tepat waktu. Namun, keadaan tidak bertambah baik. Faranisa kerap kali pingsan, hampir setiap hari Faranisa merasa sakit di jantungnya. Faranisa sudah tiga hari tidak bersekolah, bahkan sekarang sudah akhir pekan. Tepatnya pagi di akhir pekan.
Faranisa berniat untuk membersihkan dirinya, langkah kaki Faranisa memilih untuk bercermin terlebih dulu. Faranisa berdiri di depan cermin kamar mandi, bibirnya memucat. Bahkan, warna merah muda di bibirnya sudah berubah menjadi putih pucat. Matanya sendu, kantung mata itu menghitam. Dirinya sudah menangis tiga hari berturut-turut.
Jelek banget sih, Far. Batin Faranisa
Namun detik berikutnya, sakit menyerang bagian belakang kepala Faranisa. Kepalanya sangat berat.
"Aah, sakit" keluh Faranisa sambil memegangi kepalanya dengan kuat
"Mamah.. Faranisa gak kuat, sakit banget"
Faranisa menunduk, darah menetes. Faranisa membulatkan matanya, mencoba melihat cermin lagi. Hidungnya mengeluarkan darah, sakit kepalanya bertambah parah. Kini muncul rasa sakit di jantung kecilnya
"Kak Michael!" seru Faranisa sekuat tenaganya
Namun, tak ada jawaban. Faranisa berusaha keluar dari kamar mandi, berjalan menuju pintu kamarnya dengan kedua tangan yang terus memegangi bagian kepala.
"Kak Michael" seru Faranisa, menggedor-gedor pintu kamarnya
"Iyaa, apa?"
Sakit kepala Faranisa tak tertahankan, jantungnya berdebar-debar dengan kencang. Buram, gelap. Faranisa tak melihat apa-apa.
Bruk! Faranisa pingsan.
Michael membuka pintu kamar Faranisa perlahan, matanya melebar saat melihat salah satu orang yang ia sayangi tergeletak dengan darah di tangannya.
"Fara!"
Michael berlari, terduduk di samping adik perempuannya, menepuk pipi Faranisa berkali-kali, tetapi tak ada reaksi yang diberikan oleh adik perempuannya. Michael membopong tubuh Faranisa.
"Sebentar Fara, lo harus kuat"
Michael berlari ke luar apartemen, satpam yang sempat melihat kejadian membantu dirinya. Michael mengegas mobilnya, dengan kecepatan penuh. Tak peduli, yang terpenting ia sampai di tempat tujuannya. Setelah tiba, Michael membawa Faranisa ke dalam rumah sakit tersebut. Beberapa suster mengambil alih Faranisa, membawa segera perempuan cantik itu dengan kasur roda rumah sakit.
"Maaf sebaiknya tenang di sini, Anda tidak boleh diperbolehkan masuk ruangan" tegas salah seorang perawat
Pintu ruangan Unit Gawat Darurat tertutup, Michael mengepalkan tangannya.
"Agh! Harusnya gue bilang soal ini ke mereka!"
Michael tak tahan, tangannya mengepal kuat, meninju dinding rumah sakit.
"Kenapa harus lo sih Far yang ngalamin ini?!"
Michael mengacak rambut lebatnya dengan kasar, menyandarkan kepalanya ke dinding rumah sakit, menetralkan nafasnya lalu terduduk. Michael sangat menyayangi adik perempuannya, oleh karenanya Michael bersikap seperti itu. Ia sudah tak tahan dengan drama ini. Apa kalian bisa merasakan posisi Michael? Saat orang yang sangat kita sayangi, dalam keadaan tak berdaya. Saat orang yang kita sayangi harus melawan penyakit dalam dirinya. Bagaimana rasanya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Unexpected Cold Heart
Romance"Don't judge a book by the cover, and don't judge a book by the first page." Axel, lelaki yang memiliki wajah di atas rata-rata, tinggi semampai, periang, dan baik hati. Tetapi, semua itu menjadi berubah dikarenakan masa lalu percintaan yang kelam...