21

1.6K 201 20
                                    

11 Juni 2010

"Namjoon-ah! Ayo makan!"

Namjoon lari terbirit-birit dari luar peternakan setelah memetik beberapa tomat yang tumbuh lumayan subur disana.

Hari ini, mereka lagi-lagi memakan ramen instan. Namjoon menemukannya beberapa hari lalu di box yang terletak di bak mobil. Awalnya, Namjoon mengira itu hanyalah box biasa, tetapi saat Namjoon membukanya, ia menemukan dua puluh bungkus mie instan ramen disana.

Yugyeom atau Sandeul pasti menyimpannya setelah mereka menjarah beberapa minimarket terbengkalai.

Suatu anugerah bagi mereka bisa memakan mie ramen ditengah tempat antah berantah ini.

Namjoon sempat bertanya pada Seokjin, sejauh apa ia telah mengendarai mobilnya. Seokjin tidak tahu. Ia hanya bilang waktu tempuh kemungkinan sekitar 40 menit pasca Seokjin meninggalkan tempat pengungsian yang telah hancur tersebut.

Seokjin mengalami stress yang cukup parah, ia dilanda perasaan bersalah yang terus membuncah di dalam dadanya, walaupun Namjoon sudah berkali-kali berkata pada Seokjin, bahwa itu sama sekali bukan salahnya. Semua diluar kendali Seokjin.

Tetapi selama itu pula, Seokjin tetap merawat Namjoon dengan sungguh telaten. Seokjin bahkan tidak pernah melewatkan satu detikpun jadwal Namjoon untuk meminum obat.

Padahal, Seokjin sendiri juga sedang sakit.

Kakinya berangsur membaik, dan lukanya sudah tidak mengeluarkan begitu banyak darah lagi. Walaupun kadang masih mengeluarkan nanah saat Seokjin membuka perbannya.

"Kenapa kau memandangku seperti itu?"

Namjoon mengedipkan matanya beberapa kali, "Tidak boleh?"

Seokjin mendesah, "Namjoon, kau sudah melihatku dua puluh empat jam dalam seminggu. Tak perlu memandangku seakan aku akan pergi meninggalkanmu di pagi buta"

Namjoon mengalihkan pandangannya, "Berapa sisa ramen yang kita punya?"

Tiba-tiba saja, wajah Seokjin berubah menjadi sendu, "Empat"

"Itu tidak akan cukup untuk besok...,"

"Aku tahu," Seokjin mendesis.

"Kita harus bergerak, Seokjin. Kita tidak akan mati konyol disini karena kelaparan"

Seokjin memandangi Namjoon yang hendak melahap ramennya itu.

"Aku lelah, Namjoon. Sangat lelah. Berapa kali kita harus bergerak seperti ini? Aku hanya..., lelah"

Namjoon meletakkan mangkuk plastik ramennya, lalu memandang Seokjin dengan sangat lekat, "Hei, cantikku. Kau selama ini sudah memberiku energi, sudah memberiku semangat untuk hidup. Bahkan saat kita menetap di hutan, aku sempat ingin mati saat itu juga,"

Namjoon kini mengusap tangan halus milik Seokjin, "Dan kau adalah penyebab aku masih bertahan hingga saat ini. Jika kau tidak ada, Seokjin, aku mungkin sudah terbang ke alam lain sejak detik aku melangkahkan kakiku keluar dari pekarangan di Sokcho"

Seokjin bergeming. Ia tahu Namjoon benar.

"Bisakah..," Seokjin mengibaskan tangannya, "Ah, sudahlah"

"Apa? Beritahu aku, Seokjin"

"Tidak"

Namjoon menyeringai, lalu memeluk Seokjin dengan setulus hatinya, "Kau mau dipeluk, kan?"

Seokjin mengangguk pelan di dalam pelukan Namjoon, membuat Namjoon mempererat pelukannya. Seokjinnya tidak boleh rapuh.

"Pikirkan Jimin, Seokjin. Ia pasti merindukanmu setengah mati"

PandemiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang