17

1.5K 178 19
                                    

Sandeul menarik pergelangan tangan Seokjin cukup kuat hingga Seokjin mengerang kesakitan. Ia menariknya keluar tenda, dan melempar pergelangan tangan Seokjin.

"Sandeul!"

"Sudah kukatan padamu jangan terlalu dekat dengan Namjoon, flu-mu bisa semakin parah"

"Aku percaya dengan tubuhku dan aku tidak peduli, Sandeul!"

Seokjin hendak masuk lagi, tetapi Sandeul lagi-lagi menahannya, "Seokjin! Kau boleh percaya pada tubuhmu, cantik. Tetapi tubuh juga memiliki batasan tersendiri. Mereka akan lelah jika bekerja tiap hari untuk menelan virus-virus tersebut. Sama seperti manusia"

Seokjin memandang Sandeul sejenak, lalu mendengus.

"Terserah. Aku akan tetap mengunjunginya beberapa kali"

Sandeul mendesah keras, mengacak rambutnya, "Kau sangat keras kepala, ya?" Sandeul menyeringai, "Baiklah. Aku tidak akan melarangmu, cantik. Tetapi kau harus diam disini selama aku memeriksa Namjoon"

Seokjin mengangkat satu alisnya, "Bukan masalah. Oh, dan satu lagi. Jangan panggil aku cantik"

Sandeul terkekeh, "Kau memang cantik, Seokjin"

Seokjin menggelengkan kepalanya dengan keras, "Aku tahu. Aku hanya tidak ingin Namjoon emosi dan berakhir memukul rahang bawahmu. Dia tidak akan bisa dikontrol jika sudah emosi"

"Sandeul mengerucutkan bibirnya, "Oh, begitukah?" Sandeul mengangguk-angguk, "Aku bisa melawannya"

Seokjin menggeram kesal, "Demi Tuhan!" Lalu menghentak-hentakkan kakinya di tanah, "Terserah kau saja. Aku sudah memberimu peringatan. Urusi masalahmu dengan Namjoon sendiri. Aku lelah"

Lalu, Seokjin berderap meninggalkan Sandeul yang masih berada diluar tenda.

Namjoon tentu bisa mendengar semua obrolan itu, karena tenda hanya dipisahkan oleh beberapa helai kain. Ia cukup merasa puas Seokjin memujinya di depan Sandeul. Tentu, kekasihnya memang yang terbaik. Tanpa sadar, Namjoon tersenyum tipis dan wajahnya memerah.

Sandeul masuk sambil mengalungkan stetoskop di lehernya.

"Halo lagi" sapa pemuda itu.

Namjoon memutar bola matanya, "Sejujurnya, aku tidak butuh diperiksa"

"Seujujurnya, kau butuh, Namjoon"

Sandeul mendekati Namjoon, lalu memasang masker dan sarung tangannya, "Kau orang ceroboh yang tidak bisa membaca tubuhmu sendiri," Sandeul mengedikkan bahunya, "Seokjin adalah orang yang hebat. Dia cukup telaten merawatmu hingga kalian berpisah, dan kau berubah menjadi mayat hidup"

"Cukup. Jangan membicarakan kekasihku lagi"

Sandeul menempelkan stetoskop itu pada dada Namjoon, membuatnya sedikit mengernyit karena besi stetoskop yang dingin, "Oke, oke. Maaf. Tapi Seokjin memang sangat cantik. Aku baru saja ingin menciumnya kemarin, tetapi melihat ekspresinya yang begitu khawatir saat kau datang, aku bisa menangkapnya saat itu juga bahwa kau adalah 'sesuatu' baginya"

Amarah dalam diri Namjoon semakin bergejolak. Mencium? Apa dia bercanda?!

"Mari aku luruskan," Namjoon menghirup napasnya, lalu menghembuskannya keras-keras, "Kau ingin memancing amarahku, 'kan?"

Sandeul terkekeh, "Tidak, tidak, Namjoon. Aku hanya mencoba jujur"

Sandeul menarik stetoskopnya, lalu bersenandung, "Kau sudah membaik, karena sudah tidur cukup lama. Energimu pasti telah kembali. Tapi aku sarankan jangan terlalu dekat dengan Seokjin, Namjoon. Aku memberitahu ini karena mengkhawatirkan manusia cantik yang keras kepala tersebut," Sandeul mengetukkan telunjuknya di dahi Namjoon, "Aku tau kau pasti juga khawatir padanya. Jadi, untuk sementara ini, jangan terlalu dekat dengannya, atau kesehatannya bisa memburuk"

PandemiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang