-Alicia-
Di hadapanku hanya terlihat dinding dengan sebuah lukisan siluet seorang gadis di bawah sinar rembulan.
Pertama kalinya kulihat lukisan itu dan aku merasa yakin kalau tempat ini akan menjadi tempat favoritku. Ingin rasanya bisa masuk ke gambar tersebut lalu bertanya pada siluet si gadis,
'Apa kau senang berada dalam kanvas ini?'
Jika itu memang terjadi, aku benar-benar ingin menggantikan posisinya. Menjadi sebuah siluet yang hanya dipandang. Tidak lebih.
Aku mengembuskan napas panjang sejenak. Berharap dengan tindakanku barusan, bisa mengurangi beban dalam diri walau sedikit. Ini pasti tidak terjadi. Mungkin aku masih berada dalam mimpi dan belum terbangun. Atau aku sudah terbangun, tapi melamunkan suatu hal yang terasa nyata sehingga aku tidak menyadari bahwa itu ilusi semata.
Kudengar, pengunjung di sekeliling menikmati makan malam bersama orang yang mereka sayang juga mereka begitu dekat. Berbincang tentang segala hal dan tertawa bersama. Bunyi denting piranti makan di sela obrolan terasa begitu menghangatkan suasana, di samping rasa dingin yang menyergap hatiku.
Aku berharap suatu saat bisa mengalami kebersamaan itu dengan ayah. Makan berdua dan membicarakan pengalaman seharian di sekolah padanya. Sudah lama sekali hal tersebut terjadi. Entah kapan tepatnya terakhir aku mengobrol seru dengan beliau.
Sebuah bulir bening tiba-tiba saja mengalir di pipi. Rasa rindu tak tertahankan menyergapku. Rindu pada ibu. Rindu pada ayah. Rindu pada sahabat-sahabatku. Bagaimana kabar mereka? Apa mereka masih mengingatku? Apa mereka masih memikirkanku? Apa mereka masih peduli padaku?
Aku mendengkus. Kurasa tidak. Mereka tidak ingat. Mereka tidak peduli. Mereka tidak tahu apa yang sedang kurasakan dan sudah terjadi padaku. Sepertinya, mereka memang tidak perlu tahu.
"Pelayan!" suara seorang pemuda terdengar memanggil dari arah meja di belakangku.
Deg!
Rasanya seperti simfoni kematian dalam sebuah lagu lembut. Aku menelan ludah lalu meminum cokelat panasku banyak-banyak untuk menghangatkan jantung yang tiba-tiba saja mengeras. Dingin. Beku.
Aku meraba-raba tengkuk, mencari tudung jaket, dan kukenakan. Kulihat bayangannya dari kaca pigura lukisan di hadapanku. Jelas. Sangat jelas. Seringai itu membuat jantungku berdegup begitu kencang.
Aku merogoh saku, mengeluarkan uang, dan kuletakkan di meja. Bangkit secepatnya kemudian buru-buru keluar dari café. Tak ingin menoleh walau hanya sepersekian detik.
_______
-Jared-
Seperti biasa, bila Tristan memenangkan perlombaan surfing mengalahkan jagoanku, dia akan meminta untuk ditraktir makan. Lokasinya pun tetap di sana. Di mana lagi kalau bukan café favoritnya, La Deluxe café. Entah sejak kapan kebiasaan ini terjadi, yang jelas aku sudah mengemudikan mobil untuk menjemputnya dari apartemen. Terhitung setengah jam berlalu dan sebentar lagi akan berbelok di pelataran parkir café tersebut.
"Makan apa ya, hari ini?" Tristan membuka seat belt dan keluar saat mobilku sudah berderet di lahan parkir.
Aku mengikutinya memasuki teras café yang tak pernah sepi pengunjung. Selain makanannya enak, menunya bervariasi, juga suasananya era 80-an. Mengenang jaman George Michael, Queen, David Bowie, dan lainnya.
Untuk diketahui bersama, Tristan sangat menggemari lagu-lagu George Michael. Dia memiliki sisi sentimentil di samping penampilannya yang terkesan bad boy.
Kriring!
Bel pintu café berbunyi saat kami mendorongnya. Terpampang pemandangan meja-meja bundar yang hampir penuh. Kami melihat berkeliling, ada satu meja kosong agak menjorok di sudut. Aku mencolek bahu Tristan yang pandangannya masih menelisik meja-meja di sebelah dalam, dekat meja bar.
"Kita duduk di sebelah sana saja." Tunjukku.
Wajahnya yang semula agak suram, langsung berbinar setelah mendapati meja yang kumaksud. Kami pun melangkah ke sana dan duduk dengan nyaman.
"Pelayan!" panggilnya pada salah satu karyawan laki-laki yang sedang membawakan buku menu.
Aku membiarkannya memesan makanan sementara tatapanku kembali mengamati sekeliling. Orang-orang sibuk berbincang dan makan. Alunan musik bervolume rendah menjadi backsound kegiatan café malam ini.
Pandanganku terus memperhatikan hingga terpaku pada sosok gadis berambut panjang yang duduk tepat beradu punggung dengan Tristan. Dia begitu gelisah. Tangannya pun meraih hoodie dari punggung jaket dan segera mengenakannya. Terburu-buru menyesap minumannya yang masih berasap. Kemudian merogoh saku jaket, meletakkan uang di meja, dan beranjak keluar café.
"Hmmm?" aku hanya menautkan alis melihat gelagatnya yang mencurigakan.
Bersambung...
Hai guys... berjumpa lagi dengan aku. 😽Bagaimana kabarnya? Semoga sehat selalu dan berbahagia di mana pun kalian berada.
Mungkin sebagian pemirsa yang sudah mengikuti lapak ini sejak awal, pasti sudah tahu kalau aku dulu pernah upload kisah Alicia sampai tamat. Namun karena terjadi beberapa kali perubahan judul dan sampul, maka pada akhirnya aku putuskan untuk menggunakan judul dan cover yang sekarang. Semoga suka dan memuaskan. 😅
Dan... di cerita kali ini gayanya terjemahan begitu ya. Sebab nama karakternya keminggris, terus temanya juga kehidupan ala-ala luar negeri. 😁
Tepatnya di mana? Aku juga nggak paham karena latar settingnya aku bikin kotanya mirip-mirip Miami tapi ditambah imajinasi sendiri. 😁
Aku juga menggunakan 2 pov, yaitu dari sisi Alicia dan Jared. Sudah aku beri penanda di awal section. Semoga tidak bingung.
Oke... akan bagaimanakah cerita ini bersambit?
Bersambut kamsudnya 😅
Mari silakan dinikmati...
Selamat menyimak dan selamat membaca 😁🤗 uploadnya tidak akan lama-lama karena memang sudah pernah mejeng sebelumnya. Hanya terjadi perbaikan sedikit tanpa mengubah alur cerita.
Thank you 🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
TRAVELOGUE
ChickLitAku Alicia. Seorang gadis yang memilih untuk tak terlibat akan apapun. Namun, kenyataan berkata sebaliknya. Mengapa aku bisa seperti ini? Kalian tak akan mengerti sebelum mengetahui kisahku. (Alicia, 17 tahun) Aku Jared. Pemuda yang semula begitu...