49. Bisma Dirawat Karena?

7.8K 424 3
                                    

Semua sudah menunggu di luar ruang UGD, menunggu dokter keluar dari ruangan terkutuk itu.

Resti duduk menunduk. Wajahnya ditutupi oleh rambutnya. Merasa pusing, ia memijat pelipisnya karena tidak tahu akan berbuat apa.

Ini semua salahnya. Kalau bukan karena dirinya, Bisma tidak akan masuk rumah sakit.

Nadia mengelus bahu Resti, berusaha menenangkan sang sahabat. "Re, Bisma nggak apa-apa. Lo percaya sama gue."

Resti menggeleng dan mengangkat kepalanya"Ini semua salah gue."

"Lo nggak salah, Re."

Air mata Resti kembali terjatuh. "Gue takut Bisma kenapa-napa, Nad."

Amel, Defrans, Alan, dan Satria datang menghampiri Resti. "Bisma baik-baik aja, kita tunggu dokter keluar ya" kata Alan.

Iren tiba tiba datang dengan tergesa-gesa. Di belakangnya ada seorang laki-laki tampan yang usianya seperti sudah berkepala tiga, sepertinya itu Pak Alex, seseorang yang dinanti-nantikan oleh semua orang.

"Bisma dimana?" tanyanya pada Resti dan yang lain. Resti tak mampu menjawab. Ia hanya diam saja di kursi.

"Bisma lagi ditanganin dokter Tante, di dalem" jawab Satria.

Ceklekkk!

Dokter keluar dari ruang UGD. Melihat itu, semuanya langsung berlari mendekati dokter.

"Dok, gimana keadaan anak saya? Nggak apa-apa kan, Dok?" tanya Iren cepat.

Dokter tersenyum. "Anak Ibu tidak apa-apa, tetapi anak Ibu akan mengalami koma. Sebenarnya tidak apa-apa, ini juga sekaligus mengistirahatkan pasien. Kemungkinan besar, besok anak Ibu sudah sadar dan kami akan membawa pasien keruang rawat" jelas dokter.

Beberapa Suster keluar dari ruangan sembari membawa tubuh lemah Bisma di atas brankar rumah sakit.

Kepala Bisma sudah di perban, dan tangannya juga sama diperban. Resti tak tahu bahwa tangan Bisma ternyata juga terluka. Yang ia tahu, hanya kepala Bisma yang mengeluarkan darah.

"Dok, tangan Bisma kenapa?" tanya Resti kepada dokter.

"Tangan pasien terkena sayatan yang cukup dalam di bagian atas nadinya, tapi untungnya tidak mengenai urat nadi. Baik, saya akan membawa pasien keruang rawat. Untuk keluarga tidak boleh masuk semua, hanya diperbolehkan satu persatu."

Dokter dan suster pergi menuju ruang rawat Bisma dan diikuti oleh mereka. Suster sudah duluan keluar dari ruang rawat Bisma dan terakhir disusul oleh dokter.

Dokter menutup kembali pintu ruangan Bisma dan menatap kerabat Bisma yang menunggu di luar.

"Seperti yang saya ucapkan tadi, kerabat hanya diperbolehkan masuk satu persatu untuk melihat keadaan pasien, karena pasien butuh istirahat yang tenang dan tidak boleh ribut. Kepala pasien akan terasa amat sakit jika mendengar kegaduhan. Jadi, mohon ketenangannya. Terimakasih, saya permisi." Dokter muda yang sering disapa Dokter Yanda itupun pergi.

Resti menghampiri Iren yang sedang duduk terlemas di dekapan Alex.

"Emm, Tante ...Tante masuk aja buat liat keadaan Bisma. Kata dokter satu-satu, nanti abis Tante baru Om," jelas Resti.

Iren mendongak dan berdiri. "Iya, Tante masuk dulu, ya." Iren berjalan gontai memasuki ruangan Bisma, sedangkan Resti duduk di pinggir Alex.

"Kamu.. pacarnya Bisma?" tanya Alex menatap Resti. Resti menggeleng cepat.

"Emm, bukan Om, saya temennya. Om ini Papanya Bisma?"

"Iya, kamu kok tahu, saya Papanya Bisma? Saya belum pernah ngeliat kamu lho."

"Emm ...Om, boleh nggak, kita ngomong di tempat lain? Di kantin misalnya? Saya mau ngomong juga sama Om."

Alex berpikir sebentar antara mau dan tidak mau. Ia juga tidak tahu gadis yang ada di depannya ini siapa.

"Bentar aja, kok Om. Setelah saya selesai ngomong sama Om, kita langsung balik lagi kesini."

***

Sekarang, Alex dan Resti sudah duduk di kursi kantin. Di depan mereka juga sudah ada teh, tapi tidak ada makanan karena niat mereka hanya mengobrol sebentar.

"Om maaf ya, kalo saya lancang. Emm ... Om jarang di rumah, ya?" tanya Resti hati-hati. Ia takut menyinggung perasaan Alex.

"Kamu tahu masalah keluarga saya?"Alex balik bertanya.

Resti terkejut. Ia kira, Alex akan marah. Ternyata di luar dugaan, Alex malah terlihat senang bahwa masalah keluarganya ada yang tahu. Aneh, bukan?

"Maaf om, saya nggak maksa Bisma buat cerita, dia sendiri yang mau."

"Haha, enggak. Saya malah senang ada yang tahu masalah ini."

"Ha!?"

"Jadi kamu mau ngomong apa? Ngomong aja om nggak akan marah sama kamu."

Resti menghela napas lega.Ia kira alex akan mengatakan bahwa dirinya tidak sopan, kurang ajar,atau apa pun itu.

"Om, saya mohon sama Om, Om pulang, ya, kerumah. Kasian Tante Iren sendirian. Bisma, kan tinggal di apartemen. Bukannya Bisma nggak mau tinggal di rumah, tapi dia nggak kuat liat Tante Iren yang terus-terusan berlaku seolah abangnya Bisma masih ada, bahkan Bisma selalu disbanding- bandingkan sama Raka. Bukan saya sok tahu atau ngajarin Om, tapi Tante Iren butuh Om, butuh dukungan dari Om."

Resti menghela napasnya "Seharusnya om ngasih tahu ke tante Iren pelan-pelan kalo abangnya Bisma udah ngga ada, bukan malah tinggalin Tante Iren. Itu malah bikin tante Iren makin halusinasi karena nggak ada keluarganya. Saya yakin kalo Tante Iren udah sembuh Bisma bakal balik pulang ke rumah, karena Bisma bener-bener nggak kuat om, liat Tante Iren kayak gitu. Bisma ngerasa seolah dirinya nggak ada arti sebagai anak."

Alex tersenyum dan mengusap kepala Resti. "Om seneng, akhirnya ada yang peduli sama keluarga Om. Om emang salah udah ninggalin Mamanya Bisma. Makasih ya, kamu udah ngasih tahu om ke jalan yang benar. Om jadi sadar sama kesalahan om selama ini."

"Oh iya Om, untuk masalah ini, saya yang salah Om. Karena saya, Bisma jadi masuk rumah sakit. Karena saya, anak Om jadi koma. Maaf Om, Om boleh marah ke saya, Saya terima, saya emang pantas dapatin itu. Dan untuk biaya rumah sakit, biar saya yang tanggung semuanya."

"Enggak-enggak, ini bukan salah kamu ataupun salah Bisma. Ini udah jalannya Allah. Di balik ini semua, pasti ada rencana Tuhan yang lebih baik. Jadi, kamu jangan merasa bersalah gitu, ya. Om nggak akan marah sama gadis secantik kamu."

Resti tersenyum, ternyata Alex tidak seburuk yang ia bayangkan. Kata orang-orang, Alex sangat dingin, tapi Resti lihat Alex bukanlah orang seperti itu.

Alex sangat baik dan asyik, bahkan ia bisa merasakan hawa pertemanan saat mengobrol tadi, bukan hawa dari seorang anak dan orang tua.

RESTI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang