Hari ini hari ketujuh, yaitu hari terakhir Bisma dirawat di rumah sakit. Selama seminggu itu juga, Resti tak pernah lewat datang untuk melihat perkembangan Bisma walau Bisma tak menghiraukan kehadirannya.
Selama tujuh hari itu juga, perempuan yang bernama Caramel itu selalu di samping Bisma dan melakukan hal hal yang romantis, seperti menyuapi Bisma saat makan, membantu Bisma minum obat, membantu Bisma keluar ke taman rumah sakit, mengobrol sampai lupa segalanya, mengupaskan buah untuk Bisma makan, dan masih banyak lagi.
Dan bodohnya, Restibmasih tetap menjenguk Bisma walau hatinya terasa sesak melihat Bisma dan Caramel.
Sampai saat ini juga, tak ada yang memberi tahu Resti siapa Caramel itu. Sekolah dimana perempuan itu, siapanya Bisma, ada hubungan apa dengan keluarga Bisma, mengapa Caramel memanggil orang tua Bisma dengan sebutan Mama dan Papa, dimana beberapa bulan terakhir perempuan itu berada. Dia siapa? Adeknya Bisma? Kakaknya Bisma? Sahabat Bisma? Atau ... pacar Bisma? Entahlah, Resti tak tahu.
Selama tujuh hari ini juga, Resti tak bertegur sapa dengan Bisma.
Bukan. Bukan tak bertegur sapa. Resti selalu membantu Bisma, menanyakan apakah sudah makan, sudah minum obat, apakah ada yang sakit atau perlu bantuan, tapi Bisma tak menjawabnya dengan baik. Ia selalu menjawab dengan ketus. Pasti ada saja kaitannya dengan si perempuan itu.
"Woy!"
"Aa—" Lamunan Resti buyar saat Bisma membentaknya.
"Lo ngapain di situ? Gue bilang, gue mau makan, malah ngelamun!" kata Bisma.
Resti berdiri dari sofa. Kapan Bisma menyuruhnya? Kenapa ia tak ingat? Ia tak mendengar atau memang Bisma tidak bicara padanya?
"Ck! Malah bengong lagi. Bener-bener lemot lo! Udah sana! jangan makan dari kantin sini, bikin sendiri di rumah!"
"Lo serius?" tanya Resti. Serius Bisma menyuruhnya memasak di rumah? Rumahnya Bisma atau apartemen?
Tak penting rumah atau apartemen, yang pasti dua-duanya jauh dari rumah sakit ini.
"Kenapa? nggak mau? Lo bilang, lo temen deket gue? Lo juga bilang sama Nyokap gue buat selalu bantu gue kan?" ketus Bisma sambil bermain game di handphone-nya.
Sungguh, Bisma sekarang bukanlah seperti Bisma yang ia kenal dulu. Mana? Dimana Bisma yang dulu? Yang selalu baik padanya, bersikap manis padanya. Mana Bisma yang seperti itu, mana? Ia rindu Bisma yang dulu.
Resti ingin menjauh dari Bisma karena lelaki itu seperti tidak menyukai dirinya, tetapi tidak bisa. Resti masih tetap kukuh untuk bertemu Bisma walau hatinya sakit karena ucapan dan juga perlakuan Bisma.
Di samping itu, Iren datang sambil membawa makanan di tangannya.
"Sayang ayok makan dulu. Udah siang lho ini, kamu pasti laper, bentar lagi kita pulang." Iren menaruh makanan Bisma di atas nakas dan mengambil piring untuk menaruh makanan itu.
"Enggak Ma, Bisma mau dimasakin Resti," jawab Bisma. Ia mematikan handphone-nya dan menatap Resti datar.
"Oh, kamu mau dimasakin Resti? Yaudah, sekalian kita pulang aja nanti ya. Kamu pulang ke rumah aja, jangan ke apartemen kamu," ucap Iren lembut.
"Bisma mau sekarang Ma. Masaknya di rumah, bukan apartemen. Bisma nanti juga pulang ke apartemen, bukan rumah."
Iren melihat Resti tak enak. Ucapan putranya ini mengapa jadi ketus dan tidak selembut dulu?
"Yaudah Tante. Aku masakin aja nggak apa-apa kok," kata Resti sambil tersenyum.
Ia mengambil tas selempangnya di sofa, padahal hari ini seharusnya ia sekolah. Tapi demi mengantar Bisma pulang ke rumah, ia rela membolos.
KAMU SEDANG MEMBACA
RESTI
Teen Fiction[REVISI] #1 Pengkhianat 11/10/2020 #1 Sosiopat 24/11/2020 #1 Dendam 04/10/2020 #1 Kesal 04/10/2020 #1 Emosi 04/10/2020 #1 Pengecut 24/11/2020 #2 Watty2020 22/12/2020 #25 Kejam 28/10/2020 #49 Psikopat 23/11/2020 #14 Persahabatan 26/11/2020 #49 Baper...