Chapter 41 [A]

514 84 47
                                    

Pagi ini menjadi pagi yang sulit bagi Areum. Ia sepanjang malam kurang tidur. Mata membengkak, atau mungkin kepalanya juga begitu karena mereka lelah digunakan tanpa istirahat. Matahari belum muncul namun ia sudah lebih dari tiga kali pergi ke kamar mandi karena mual. 

Meski kepalanya berputar dan perutnya terus saja tidak bisa diatur, gadis itu keluar kamar pagi-pagi. Daripada tidur, ia mesti membuatkan sarapan. Sekarang di rumah itu ada kedua orang tua mereka. Ia tidak boleh bermalas-malasan dan membuat mereka kelaparan.

Ketika Areum keluar kamar, ia dikejutkan dengan betapa sibuknya kedua orang tua mereka pagi ini. Gadis itu hanya bisa membeku melihat koper yang digereknya kemarin pagi sudah berada di luar kamar kembali. Sang ayah dan ibu sudah berpakaian rapi bahkan sepagi ini.

"Ibu? Hendak pergi ke mana?"

"Kenapa kau bangun siang, Areum? Jam berapa ini? Seharusnya anak perempuan tidak bangun selambat ini." omel sang ibu sambil menunjuk pada jam tangannya. 

Seketika Areum merasa malu, "maaf, Ibu. Apa kalian akan pergi lagi?"

"Ada urusan mendadak di Milan. Kami pulang tidak sesuai jadwal dan sekarang kami harus pergi lagi."

"Tapi..."

"Bukankah semua sudah selesai? Pria itu tidak akan datang lagi bersama orang tuanya. Pertemuan cukup satu kali saja. Percuma mengundangnya berkali-kali karena kami tidak suka dengannya."

"Bukankah..."

"Pernikahan biar kakakmu yang mengurusnya. Dia yang menginginkan kalian menikah, bukan? Kami terlalu sibuk untuk memikirkan hal itu."

Wajah Areum tenggelam di antara rambut-rambutnya yang tergerai. Perasaan seperti ini memang sangat menyakitkan. Namun ia tidak bisa memberikan perlawanan apapun.

"Kalau begitu aku akan buatkan sarapan sebelum kalian berangkat,"

"Tidak perlu. Kami akan sarapan di bandara saja. Kau tolong bawakan koper ini saja."

"Baik, bu."

Baru satu detik Areum hendak membantu, niatnya bahkan baru saja lepas dari lidah, tiba-tiba morning sick-nya kembali mengganggu. Ia mual, hendak muntah. Tak sempat lagi ia berlari untuk sembunyi, ia hanya bisa berjongkok menahan mual dan menyembunyikan sosok terburuknya dari kedua orang tuanya.

Mereka tidak berkata apapun, apalagi bergerak untuk membantu. Areum terduduk memegang kepalanya yang lagi-lagi pusing karena mual. Sebisa mungkin ia mendapatkan keseimbangannya segera, ia tak ingin membuat kedua orang tuanya kesal. Dengan banyak usaha ia mencoba untuk berdiri kembali, bertahan pada gagang koper agar bisa sanggup mengangkat tubuhnya yang terasa lemas.

"Kau ini,"

Plak

Areum terjatuh ke lantai setelah tubuh lemahnya tak sanggup lagi berdiri. Ia memegangi pipinya yang berdenyut, bekas tapak tangan terlihat di kulit pipinya yang putih bersih. Ia mencoba menahan tangis sebisa mungkin, menyembunyikan rasa sakit sekuat tenaga untuk mengangkat kepala dan memandang orang yang sudah meninggalkan bekas kemerahan di wajahnya.

"I've been holding myself not to do this since last night. Damn, my palm hurts." sang ayah berkacak pinggang, enggan memberikan bantuan apalagi belas kasihan. "Kau pantas mendapatkan itu. Mengandung anak haram dan mencemarkan nama baik keluarga, you're lucky cause i cannot be here any longer."

Areum menenggelamkan wajahnya kembali, ia merasa sangat malu. Pipinya berdenyut keras akibat tamparan sang ayah. Ia telah membuat kesalahan yang besar dan tidak akan ada maaf yang pantas diterimanya. Bahkan ketika ia ditinggalkan di sana sendiri, gadis itu masih tak sanggup mengangkat wajahnya. Dia malu pada dirinya sendiri. Dirinya berlumuran dosa dan membuat banyak orang kecewa. Pada titik ini ia hampir putus asa. Semua kekacauan ini tidak pernah akan ada habisnya.

[2] SISTER'S PROBLEMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang