Chapter 58

471 58 7
                                    

Jadi, pria itu benar-benar bertahan. Dia masih duduk di tempat yang sama, ditemani segelas kopi yang disuguhkan terlambat. Namun ia sedikit terabaikan. Si anak lelaki juga masih di sana, bermain bersama mobilnya. Anak itu asik sendiri, terkadang terlalu bersemangat sehingga ia tak sadar ia bisa membangunkan adik kecilnya yang sedang tidur. Satu-satunya orang dewasa sedang berada di dapur untuk menyediakan makan siang, melanjutkan pekerjaan yang terhenti sementara.

Pria itu mulai merasa ia perlu bicara. Dia tidak suka dengan suasana terlalu senyap dan kehadirannya tidak terasa. Satu-satunya teman bicara adalah anak itu. Ah, ia kurang percaya diri karena tidak punya pengalaman banyak dengan anak kecil. Keponakannya saja tidak akur dengannya, apalagi dengan anak yang punya keterkaitan besar dengan masa lalu traumatisnya. Tetapi bukan seorang Kim Mingyu jika dirinya kalah oleh bocah.

"Namamu ... Hyunjae?"

Anak itu menatapnya tanpa menjawab. Dia sepertinya mengiyakan pertanyaan itu. Hanya tidak terlihat ia melakukannya. 

"Kau ... sekolah?"

"Ne, kelas 1."

"Tidak pergi sekolah hari ini?"

Anak itu menggeleng, "hari ini sekolah libur."

"Benar juga. Ini akhir pekan." Realisasi yang lambat membuat liurnya kering, pria itu menyeruput kopinya sedikit. Tetapi ia juga cepat membuat pertanyaan baru yang menurutnya sangat menjurus. "Tapi ayahmu bekerja di akhir pekan. Kebanyakan orang biasanya libur di akhir pekan. Ayahmu tidak ya?"

"Ada yang harus dia lakukan. Sebentar lagi dia pulang."

"Begitu, ya?" 

Entah apa gunanya menyindir seorang anak yang tidak tau apapun. Pria itu harusnya menyindir ibunya. Tetapi tak apa, ia berharap sang anak akan mengulang pertanyaan itu nanti pada ayahnya. 

"Ajussi ... teman ibu?"

Anak itu bertanya lebih dulu, dia sepertinya tertarik untuk bicara. Ah, pria itu mulai mendapatkan rasa percaya diri. Bagaimana pun juga, dia memang terlihat seperti seorang pria gagah yang patut dijadikan panutan.

"Iya."

"Apa ajussi teman ayah juga?"

"Aku teman ibumu."

"Apa ajussi benar-benar teman ibu?"

"Iya. Mengapa kau ragu?"

"Aneh. Ibu tidak pernah punya teman laki-laki."

"Kami berteman sebelum kau lahir, karena itu kau tidak mengenalku. Mengapa? Kau tidak suka kalau ibumu punya teman laki-laki? Kau posesif juga, ya?"

"Posesif itu apa?"

Pria itu berdecih dalam hati, salahnya bicara dengan anak-anak. "Bukan apa-apa."

Mereka berakhir tidak bicara lagi. Si anak memilih untuk pergi ke dapur, meninggalkan mainannya bersama si bayi yang sedang tertidur. Pria itu hanya bisa melihat dari ruang depan, punggung Areum yang sedang memasak untuk makan siang. 

Sejujurnya ia ingin berbicara lebih lama. Ia belum puas hanya bicara sebentar dengan Areum. Masih banyak hal yang perlu mereka bahas. Tetapi ia juga merasa tidak nyaman untuk tinggal di sana. Jika ia hanya duduk diam menunggu seperti ini, ia tidak senang. Ada banyak hal yang sebenarnya harus ia lakukan, dan mesti ditinggalkannya demi bisa bertemu dengan Areum. Diam seperti ini saja tidak akan membantu.

Ia berinisiatif. Lebih baik pergi dan mencari waktu lain daripada ia harus dengan canggung makan siang bersama Areum dan anaknya. 

Baru saja ia hendak beranjak, ia mendengar suara mobil memasuki halaman. Suara itu terlalu bagus untuk sebuah mobil murah, ia mengenali suara mesin mewah. Itu sudah pasti Jeon Wonwoo. Sudah terlambat baginya untuk menghindar. 

[2] SISTER'S PROBLEMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang