34

1.4K 116 14
                                    

" larilah Marisa." Harold memegang lengan gadis berambut merah itu dengan kuat.

Suaranya yang rendah membuat gadis itu sedikit takut. Tak pernah ia mendengar nada mengancam dari Harold sebelumnya.

Adik iparnya itu selalu bernada lembut dan riang padanya. Cengkraman tangannya yang begitu kuat membuat Marissa kesakitan.

" kau menyakitiku, Harold." Marissa meringis kesakitan membuat Harold melepaskan genggamannya.

"maafkan aku." Ucapnya lirih.

Ia memandang lengan Marissa yang memerah akibat cengkramannya. Ia sendiri terkejut dengan yang perbuatannya. Dikuasai frustrasi dan amarah.

"maafkan aku Marissa.. aku.."

" Harold aku tahu akan kekhawatiranmu. Tapi ini adalah urusanku. aku tahu akan konsekuensi dari perbuatanku." Marissa memandangnya lurus membuat Harold semakin frustrasi untuk menyadarkannya.

Harold berdecak, "Charlie tidak mencintaimu, kau tahu itu kan?"

"aku tahu." Jawabnya.

"dan kau masih ingin bersamanya?" tanyanya dengan nada frustrasi. "Kau hanya akan hancur Marissa! Kau tidak berarti untuknya. Dia tidak pantas untukmu, kau tahu ... dia sama sekali tidak pantas..."

"siapa yang pantas kalau begitu?" potong Marissa. Harold terdiam menatap Marissa cukup lama. Isi kepalanya berkali kali menggemakan namanya.

Aku

Aku

Tapi bibir Harold terasa kaku dan tak bisa mengeluarkan suara sedikitpun.

"tidak ada satu orangpun yang tahu apa yang terbaik untukku, selain diriku sendiri." ujar Marissa sembari menghela nafas. "kita sudah pernah membicarakan ini, dan hasilnya tetap sama Harold~ Kau adalah teman terbaikku, kuharap kau bisa mengerti."

Marissa melangkah menjauh meninggalkan Harold. Harold hanya bisa memandang punggung mungil itu. Punggung mungil yang sepertinya tak akan sanggup menghadapi dunia yang kejam.

"kau masih mencintainya?!" teriak Harold.

Marissa memutar tubuhnya menghadap Harold dan tersenyum. "selalu. Tak pernah sedikitpun ia memudar selama ini, walaupun benci itu juga tumbuh bersamanya."

Harold terbangun dari mimpinya. Airmatanya jatuh. Wajah tersenyum Marissa yang menyedihkan membayanginya.

Hatinya terasa sakit seperti tercabik cabik. Gadis itu telah pergi yang ia sisakan hanya penyesalan untuk Harold.

Andaikan ia lebih keras menyadarkan Marissa. Andaikan ia lebih berani mengutarakan perasaannya. Marissa mungkin masih ada disisnya. Tersenyum dan tertawa.

Andaikan...

*****

"orang orang Josh sudah mengkonfirmasi, kalau Mr. morris mulai terlihat disekitar lingkungan apartemennya. Jack juga mulai mendapat teror dari nomor acak yang kami duga adalah dia."

Diego duduk di sofa kantor Charlie menghadap Tatiana yang duduk dengan kikuk mendengar laporan Diego. Sedangkan Taylor mendengar dari balik meja kerjanya.

" nomor acak?" tanya Tatiana. Diego mengangguk.

"sepertinya dia membuat panggilan dari telepon umum." Jawab Taylor sambil memikirkan sesuatu. "adakah cara untuk kita memancingnya? Ia bersembunyi dengan sangat baik, kalau tidak kita pancing kita tak akan pernah bisa menangkapnya."

"apakah kita harus se-ekstrim itu? Maksudku, bukankah kita bisa berbicara dengannya secara baik baik. Masalah foto kita bisa mengklarifikasinya, kesalahannya hanya itukan?" tanyanya ragu ketika melihat raut wajah Diego yang berubah.

Sang Nouveau [Dawson Tales]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang